Republik Indonesia akan berusia 79 tahun. Banyak pasang mata merayakannya. Mulai dari menghelat lomba, hingga doa bersama di balai desa. Air muka nan cukup gembira itu, kemudian sang waktu memaksanya untuk menilik masa silam di sela hiruk-pikuknya walaupun hanya sekelibat.
Tujuh puluh sembilan tahun, bila manusia menyandangnya, digambarakan sebagai manusia yang berusia lanjut. Ia rapuh, renta dan tak bertenaga. Namun, republik ingin terus hidup seribu tahun lagi atau bahkan melampauinya. Keberjalanannya yang tercatat itu menghasilkan sebuah sejarah. Sejarah akan masa silam anak bangsa yang memilih nasibnya sendiri. Adalah Republik Indonesia yang disokong oleh tafsir sejarah yang anak bangsa telah memilihnya.
Iksaka Banu bisa dibilang begitu jenuin kala menyuguhkan sudut pandang lain menyoal sejarah Indonesia. Ia menggambarkannya melalui ceritera pendek. Termaktub dalam buku Semua Untuk Hindia (KPG, 2014) tersirat tiga belas cerpen dengan ketebalan 154 halaman. Pembaca diajak untuk menelisik pemeran utama dari pihak Belanda di atas tanah jajahan.
Cerita pendek itu menggambarkan perspektif lain. Tokoh aku seorang Belanda menilik perjuangan anak bangsa yang ingin hengkang dari cengkreman kolonialisme. Aku yang Belanda, kadang kala mendua, ketika hati nuraninya mengajaknya untuk mengakui, bahwa penindasan dan penjajahan itu tak boleh menetap di negeri manapun, termasuk Hindia Belanda.
Penulis sejarah memang harus lekat dengan sebuah data. Data tersebut berfungsi untuk membuktikan bagaimana cerita pendek yang digubahnya memiliki kredibilitas dari referensi mulai dari penokohan hingga alur ceritanya. Iksaka Banu telah menuliskannya. Para pembaca diajak terkesiap kala galibnya menilik Belanda yang berperan sebagai antagonis dalam kepenulisan sejarah kita.
Misal saja di cerpen keenam yang judul cerpennya dipilih sebagai judul buku. Adalah Semua untuk Hindia. Cerpen yang padat akan data itu, mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana Belanda yang masih memiliki kemanusiaan, batinnya tercabik-cabik kala harus mengikuti nafsu Gubernurnya Jendralnya Van Heutsz yang haus akan kuasa.
“Tak ada hal baik dari perang. Perang merusak segalanya. Termasuk kesetiaan dan kasih sayang.” (Hlm.64). Latar tempat di Bali sekitaran perang Puputan (1906), di mana Bali yang elok dan indah digempur habis oleh pasukan Belanda. Tokoh Aku beberapa kali perutnya mengejang kala serangan demi serangan membikin Bali lenyap dalam kekacauan.
Tokoh Aku dalam cerita batinnya tercabik-cabik. Kekasihnya seorang putri dari Puri Kesiman alhasil lenyap dalam kekalutan. Pikirannya terus mengingat bagaimana hitam pekat rambutnya dan gigi putih yang amat menawan ditambah senyumannya yang beberapa kali membayang-bayangi, mengajaknya untuk mendorong para tentara meletakan senjatanya.
Cerpen itu membikin pembaca tercabik secara psikologis. Perlawanan rakyat Bali yang tak takut mati itu, membikin beberapa tentara –termasuk tokoh Aku gentar. Tokoh Aku bernama Pieter Broosoft (Pimpinan De Locomotief (1845-1921) dan tokoh Politik Etis bersama Conrad Van Deventer), Iksaka Banu menggambarkan tokoh Aku, dengan air muka layu atas tindakan gubernur Jendral Belanda Van Heutz (1904-1909) yang gila akan kuasa.
Dalam cerita tersebut Pieter Brooshooft mendapatkan perlakuan buruk dari tentara Belanda. Ia dituduh sebagai telik sandi dan kelompok yang berkhianat kepada Van Heutz. “Berhentilah menulis hal-hal buruk tentang kami, Nak. Aku dan tentaraku tahu persis apa yang sedang kami lakukan. Semua untuk Hindia. Hanya untuk Hindia. Bagaimana denganmu?” Tukas Tentara yang memaksa Pieter Broosoft menjawabnya. Namun, Pieter Brooshooft hanya terdiam melihat kebengisan yang telah terjadi.
Pieter Brooshooft seorang wartawan De Locomotief. Mulanya, De Locomotief merupakan produk dari politik etis untuk mengangkat martabat inlanders dalam sektor pendidikan. De Locomotief tak hanya mengajak kita untuk mengingat Pieter Brooshooft, namun Paulus Adrianus Daum. Mafhum, namanya tak sementereng Eduard Douwes Dekker yang membikin Max Haveelaar pada medio 1860.
Daum yang bekerja sebagai wartawan De Locomotief cukup aktif membikin novel. Novelnya banyak menyuluh mengenai perlawan terhadap kolonialisme. P.A Daum dalam bukunya Ups and Downs of Life in The Indies (Periplus Edition, 1999), tersirat cukup detil beserta novelnya yang menggambarkan realitas masyarakat pribumi yang sering kali menerima derita dari para majikannya.
Hindia Belanda cukup keras dalam menanggapi kritik. Syahdan, Eduard Douwes Dekker menggunakan Multatulli, sedangkan P.A Daum menggunakan nama pena Maurits untuk menulis novelnya antara lain; From Sugar to Tobbaco (1885), How He Became a Councillor of The Indies (1888), The Van Der Lindens (1889), Guna-Guna (1887), Indies People in Holland (1890), Ups and Downs of Life (1892), Aboe Bakar (1893).
Daum yang ultra progresif dalam menuliskan novel perlawanan, tak berumur panjang. Pada medio 1885 ia kudu mendekap dalam penjara. Lantaran novel pertamanya From Sugar to Tobbaco yang mengkritik cukup tajam bagaimana para kuli dan buruh yang menderita ditambah pembagian strukutur kelas di dalam kekuasaan kolonial yang membikin Daum dijebloskan ke penjara. Kemudian Malaria menggerogoti tubuhnya. Waktu tak memberikan kesembuha, alhasil memaksanya untuk menghembuskan nafas pada 14 September 1898.
“Sayang dana pemerintah terkuras karena perang. Aceh, Tapanuli, Bone, sekarang, Bali.” (Hlm. 66). Iksaka Banu menulis cerpen sejarah yang basah akan data sejarah. Ia menggambarkan sebuah klise mengenai penjaja dan kuasa di tanah Nusantara selama tiga setengah abad.
Menyoal lamanya penjajahan Belanda di Indonesia menuai banyak perdebatan. G.J Resink menganggap penjajahan Belanda selama 350 tahun adalah Mitos. Sedangkan Seodjatmoko dengan segala kebijaksanaanya, menyuluh bahwa revolusi 1945 merupakan titik penting republik yang telah hengkang dari agrarisch feodal. Iksaka Banu berhasil dalam menuliskan novel sejarahnya itu. Melalui cerita pendek yang tersirat kita semakin tahu, bahwa perjuangan untuk merdeka dan memilih nasib sendiri memiliki resiko dan pengorbanan besar. Syahdan, masih banyak etape yang harus dilalui republik untuk hidup seribu tahun lagi. Adalah mengenali sejarahnya sendiri. Sekian.
M Ghaniey Al Rasyid, Esais dan Arsiparis yang Tinggal di Kota Surakarta, Jawa Tengah