Judul buku : Binga
Penulis : Arif Purnama Putra
Penerbit : Purata Publishing
Cetakan : Pertama, Oktober 2019
Tebal : vii + 104 halaman
ISBN : 978-623-90544-7-2
Perihal hidup memang tidak akan ada kata berhenti dan luput dari masalah. Di manapun kita berada. Ke manapun kita mencoba sembunyi, masalah terus akan menghampiri tanpa permisi. Sealah-olah masalah tersebut bagai hantu yang terus menakut-nakuti manusia. Barangkali benar, bahwa masalah itu sudah ada sebelumnya manusia ini terlahir ke dunia ini.
Hidup di kampung juga dihampiri masalah. Di kota pun sama begitu. Masalah terkadang timbul dari hal-hal sepele, seperti tetangga yang terkadang tidak senang dengan kesuksesan orang lain. Cemburu sosial melihat tetangga sukses. Dan parahnya juga, apabila tetangga hidup malarat juga jadi bahan omongan. Tidak pernah habis-habisnya diheboh-hebohkan kepada tetangga sebelah dan sebelahnya lagi. Heboh.
Orang di kampung itu tidak senang dengan suami Mak Labia. Suami Mak Labia di gosipkan memelihara makhluk gaib. Orang-orang menjauhi keluarga Mak Labia. Namun sampai saat ini belum terbukti bahwa suami Mak Labia orang yang tidak baik. Kesehariannya suami Mak Labia sering membantu mengobati orang sakit. Dari luar kota pun orang-orang berdatangan untuk memohon pertolongan agar diobati. Tapi tetangganya saja tidak begitu senang dengan keluarga Mak Labia. Terkadang hidup selalu melihat sisi buruk dari orang lain, tanpa meninjau sisi baiknya terlebih dulu (hlm. 7).
Jika kehidupan di kampung tidaklah menyenangkan, orang Minang akan mencari tanah rantau untuk mempertaruhkan hidupnya. Kehebatan perantauan Minang sudah tersohor ke mana-mana. Di mana ada lokasi untuk berdagang, di sana ada orang Minang.
Karena hidup di kampung tidak menentu, anak Mak Labia yang pertama pergi merantau ke kota Padang. Ia bekerja sebagai pelayan di kapal nelayan. Ia bertugas melayani awak kapal ketika melaut. Yang penting pekerjaan halal tidaklah mengapa begitulah arti kerasnya perantauan baginya. Walau caci maki dari atasan sudah manjadi menu keseharian. Bentakan dan bahasa yang tidak menyenangkan. Namun apalah daya hidup harus terus diperjuangkan (hal. 8).
Pada masa sekarang aroma mistis masih saja dianut oleh beberapa orang. Melakukan ritual yang selalu dilakukan di malam Jum’at. Pada malam itu suami Mak Labiah akan khusuk marapalkan mantranya. “marilimau. Putarlah, putar tali di rama-rama. Rama si kumbang janti. Pulanglah dagang yang melalang.” Mak Labiah harus terus terjaga malam itu untuk menjaga suaminya di dalam kamar agar bisa terus memantau keadaan suaminya.
Malam Jum’at selalu ada pertempuran para jawara. Pertempuran yang sangat sengit, begitu kata suami Mak Labiah. Gasing Tangkurak segera dimainkan oleh suami Mak Labia. Mak Labiah dilarang menyentuh suaminya sebelum mulut suaminya tersebut mengeluarkan darah. Memang ritual yang sangat mistis sekali. Dan ini benar adanya masih dipercaya sampai saat ini di daerah-daerah tertentu di Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat (hal. 6)
Gasing yang digunakan terbuat dari kepala bayi atau kepala jawara yang meninggal saat pertarungan. Kegiatan sakral bernama Gasing Tangkurak ini masih tumbuh subur di Nagari Aur Duri Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Walau orang yang masih menerima garis keturunan ilmu gaib itu tidaklah menonjolkan dirinya di masyarakat. Jika di lapau atau kedai kopi tidaklah mau Ia membahas yang berhubungan dengan Gasing Tangkurak. Namun hanya kepada orang-orang tertentulah Ia mau membeberkan rahasia itu. Dan bercerita banyak hal tentang Gasing Tangkurak.
Gasing Tangkurak ini sesungguhnya tidaklah sekedar ritual jahat saja. Sebenarnya banyak ritual baik yang bisa dilakukan, seperti mengobat orang sakit: tasapo. Misalnya juga mengobati orang yang demam panas, dan pengobatan serupa lainnya. Tapi sampai saat ini ritual Gasing Tangkurak masih dianggap hal negatif bagi pandangan orang banyak. Mungkin ini salah satu alasan orang-orang yang masih memiliki ilmu gaib ini tidak menampakkan diri di tengah-tengah masyarakat. Seolah-olah tidak lagi ada garis keturunan yang memiliki atau mewarisi keahlian Gasing Tangkurak.
Antara kepercayaan-kepercayaan orang dulu dengan ajaran agama Islam ada garis merah yang tidak bisa dipertemukan. Seolah-olah ada jurang pemutus di antara keduanya. Mungkin saja ilmu sihir ini sudah beredar di tengah-tengah masyarakat jauh sebelum Islam berkembang di tanah Minang. Bisa saja ini kepercayaan-kepercayaan bawaan agama Hindu Budha yang pernah berjaya pada masanya.
Tidak terlepas dari itu, dewasa ini tidaklah bisa benar-benar meninggalkan kepercayaan-kepercayaan mistis tempo dulu. Namun ini adalah sebagai pembelajaran untuk kita semua bahwasannya ada rongga di mana kepercayaan kepada hati nurani atas sikap yang kita pilih. Mengambil keputusan membenarkan segala apa yang menurut diri pribadi itu benar. Tanpa harus merusak dan menyakiti sesama, seiman, ataupun setanah air, Indonesia kita ini.
Katerangan:
tasapo: penyakit diganggu oleh makhluk halus serupa jin yang menyapa manusia.
Redovan Jamil, lahir Padang Benai salah satu kampung kecil di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Ia adalah salah satu penggiat literasi pedalaman. Terpilih menjadi Penggiat Literasi 2019 dan diundang Residensi Penggiat Literasi di Yogyakarta. Tergabung di antologi “Epitaf Kota Hujan”, Temu Penyair Asia Tenggara 2018, “Jejak Cinta di Bumi Raflesia”, Festival Sastra Bengkulu 2018, dan “Kunanti di Kampar”, 2018 dan “The Best Father & Mother”, 2018. Abun-abun yang Abrak (2018), “Dari Jauh ke Pasar Jongkok” (2019), dan “Kenangan Tanpa Judul” (2019). Karya dan tulisannya tersebar dibeberapa media lokal dan nasional serta online.