MERUPAKAN sesuatu yang biasa saja jika di sini disebutkan bahwa apa yang dibaca oleh seseorang akan banyak berpengaruh terhadap pemikiran dan gaya seseorang bagaimana menunjukkan eksistensinya. Dalam proses kreatif hal ini disebut dengan peniruan, pengidentikan, dan bukan sesuatu hal yang tabu. Ada beberapa penulis kawakan yang kemudian menjadi semacam ikon dan dijadikan model bagi penulis muda untuk membangun karakteristik di dunia kepenulisan. Sekali lagi, hal seperti ini merupakan sesuatu yang dibolehkan. Mencontoh kepada yang sudah. Kepada yang elok dan baik. Dan dalam prosesnya, tentu harus ada kreatifitas bagaimana menggali potensi diri sendiri, menjadi diri sendiri.
Enampuluh tujuh (67) buah puisi pilihan dalam buku puisi Tuhan tidak Tidur atas Doa Hamba-Nya yang Begadang setidaknya dapat kita jadikan pembenaran dari pernyataan di atas. Dalam buku puisi yang berkemungkinan dipersembahkan untuk Ibunya itu (kita bisa membaca persembahan demikian pada halaman awal buku), Maulidan Rahman Siregar yang menulis puisi-puisi tersebut tentunya sudah melakukan berbagai percobaan dalam mencari bentuk dan model pengungkapan lewat pengalaman puitik dan juga dari buku bacaan yang banyak. Buku puisi ini sendiri terbit pada Februari 2018 di Padang oleh ERKA Publishing.
Pengidentifikasian kepada sebuah puisi tidak dapat dilakukan sambil lalu saja, misalnya dari proses mendengar saja. Agar kita dapat memahami maksud puisi yang dilahirkan Penyair, kita membutuhkan pengorbanan untuk tabah membaca berulangkali, menelisik kata per kata, diksi yang dibangun, larik per larik hingga bait per bait. Sebagai produk kesusasteraan sebagaimana halnya prosa, puisi tetap saja menjadi wahana merekam kenyataan dari sudut pandang sastrawan. Fungsinya untuk memberikan pencerahan kepada pembaca barangkali juga bisa mengubah pandangan seseorang terhadap kehidupan. Dalam puisi, pembaca bisa menjumpai pengalaman ataupun apa yang dirasa, didengar dan diendapkan dalam alam bawah sadar. Terkadang, pembaca kemudian menganggap puisi (ataupun prosa) layak mewakili sebagai simbol dirinya di tengah derai dahsyatnya kehidupan yang dijalani ini. Dan, 67 buah puisi Maulidan Rahman Siregar dalam buku Tuhan tidak Tidur atas Doa Hamba-Nya yang Begadang telah mencoba menjadi hal tersebut.
Mari kita simak beberapa puisi, pertama puisi berjudul Bebek (halaman 1). Puisi ini disusun dalam 3 bait bergaya penyangkalan. Aku mencintaimu dan waktu selalu berhenti/ketika kau, dengan senyum indah serta lesung bulat pada pipi,/melintas, menghinggap pagi, pagi yang keliru, sebab/ rupanya hari masih malam, masih gelap// Lihat bagaimana larik-larik tersebut dijalin kelindan demi menunjukkan betapa aku liris yang mencintai dalam diam tapi diam yang blingsatan tak karuan, salah tingkah hingga tak sadar bahwa pagi menurutnya ternyata adalah malam belaka. Bait pertama sajak ini menggambarkan cinta yang mengaduk nalar si aku liris seperti halnya seseorang yang jatuh cinta pertama kali. Bait kedua menegaskan kepada kita betapa payahnya mencintai itu. Sial lampu mati/ Tapi kau bertahan hidup, bercahaya, terang kilau bahaya/ Bagaimana memulai tidur, jika bayangmu tak kunjung selesai,/ tak mau hilang. Sajak Bebek yang diletakkan pada halaman pertama buku ini menjadi bacaan yang asyik, mendapati bahwa cinta bukan perkara main-main. Disimpan dalam hati bikin meriang, bila diungkapkan takut membuat sakit. Puisi ini dipersembahkan kepada seseorang bernama Hesti Sartika.
Hesti Sartika atau Hesti saja agaknya menjadi semacam alasan bagi Maulidan Rahman Siregar untuk menulis puisi. Pembaca dapat membuat daftar puisi dengan subjek Hesti termaktub dalam buku ini. Apakah Hesti hanya sosok khayali belaka atau memang sosok nyata yang cukup penting bagi penyair hingga mewarnai puisi-puisinya? Bisa iya dan bisa pula tidak. Lagi pula, ada puisi berjudul Hesti Bisu, Tuli dan Buta (halaman 8) begini: Aku mencintaimu dan,/ waktu tak pernah berhenti/ Jarak selalu sembunyi// Kau boleh santai-santai,/ misalnya, memilih puisi mana yang jelek, / dan mana yang hampir jelek,/ dan puisi mana yang wah,/ kok ini puisi?Jelas kita menemukan ketidak konsistenan cara mencintai seseorang dalam hal ini. Di lain kesempatan, waktu terasa berhenti dan pada kesempatan lain waktu tak pernah berhenti. Sinetron-sinetron masih bagus-bagus/ acara musik kan banyak telanjang,/ banyak yang tegang./ Memperhatikan titi mangsa kedua puisi di atas, dapat kita simpulkan saja bahwa dibutuhkan waktu setidaknya satu tahun untuk memutuskan bagaimana cara mencintai seorang perempuan agar menghasilkan rasa senyaman mungkin. Agar Aku akan selalu ingin keren di hadapanmu! Sebagian besar puisi yang 67 buah itu banyak mengungkapkan persoalan cinta, sesuatu hal yang biasa terjadi bagi penyair yang muda usia. Tentu tidak melulu dipersembahkan kepada sosok Hesti adanya.
Ada lagi kita temukan puisi kali ini bertema gembira bertajuk Bini Muda Cantik (halaman 41). Baik pengungkapan maupun pengucapan biasa saja. Benar-benar ungkapan yang dapat dijumpai sehari-hari. Ia makan bakso dan kuahnya tak akan untukmu/ Ia melihat sate dan abangnya tak akan jadi pacarmu/ Ia naik angkot, dikursi depan,/ dan dompetnya aman terjaga// Ia memesan ojek, dan tak perlu pakai bayar/ Ia… Ia… dan sekali lagi Ia.. Puisi ini termasuk berhasil memberi kita imajinasi akan seseorang (barangkali sosok bini muda cantik) berikut dengan polah dan kuasanya eh berkahnya bagi suami. Sajak ini ditutup dengan larik bagaikan ramalan masa depan berikut ini, Kau akan melihat cahaya bila ia lari dari rumah!
Membaca perlahan puisi-puisi yang ditulis Maulidan Rahman Siregar ini membuat kita berpikir pula jika ia sebetulnya dengan seenaknya menulis puisi dan sialnya kita merasa kok iya betul pula, kok iya benar memang. Kita mungkin sial bahwa kita mengangguk di hadapan puisi (kadang konyol!) dalam buku ini.
Puisi berjudul Tanda Seru (halaman 43) yang berbicara tentang dunia yang menurut si Penyair lahir dari tanda seru, Ke Rumah Sakit (halaman 45) puisi yang mengalihrupa pisau menjadi puisi dan puisi rupanya adalah pisau. Mana yang membunuh ataupun terbunuh merupakan hasil dari sudut pandang seorang saksi (penyaksi), seorang bidan paling montok dengan hak pemegang rahasia secara absolut dikembalikan kepada Tuhan (Tuhan yang disebut-sebut dengan awalan huruf besar).
Puisi berjudul Abang Sopir Angkot (halaman 78) merupakan puisi yang bagus baik dari segi metafora, bunyi dan persajakan. Begitu pula dengan puisi Kata Penyair Itu (halaman 79). Kedua puisi ini cukup mewakili beberapa puisi dalam buku ini sebagai puisi yang ditulis dengan tenang, direnungkan dan tidak ditulis dengan terburu-buru.
Dua puisi tersebut boleh dikatakan sebagai pencapaian Maulidan Rahman Siregar secara puitik. Sebagai buah proses untuk menjadi penyair yang diperhitungkan.
Sebagai penutup tulisan ini, kita simak puisi Pada Sebuah Kuburan, Saat Kau di Dalamnya (Halaman 82) begini, Bila saja waktu tak selalu berputar searah/ Aku pasti belum sampai pada masa ini,/ masa di mana perutmu harus mengeluarkan anak,/ di mana kontrakan rumah sederhana beserta cicilannya/ tak mampu mendatangkan senyuman,/ memeluk anganmu yang butuh mobil dan/ perabot-perabot rumah tangga yang lux.// Puisi ini cukup panjang dan mengingat tempat, kita langsung saja menuju larik yang menukik sehingga menurut pembacaan saya harus dihadirkan dalam tulisan ini. Kau diam-diam tua pula dalam kenangan,/ kata cinta berhasil menembus kematian/ Menjadikan kau tiada,/ menjadi tubuh yang tak harus hadir selamanya//
Maulidan Rahman Siregar tentunya tak akan berhenti menulis puisi. Ada banyak hal yang harus terus diungkapkannya. Ada banyak doa di balik rok pendek dan sempit, ujarnya pada sebuah kesempatan.
Teruslah begadang, Cok. Tuhan tidak Tidur atas Doa Hamba-Nya yang Begadang.[]
Padang, Desember 2018
Denni Meilizon, Pembaca buku, menulis puisi dan penyuka kopi. Buku puisinya Hidangan Pembuka terbit 2021. Ketua komunitas Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat. Tinggal di Simpang Empat Pasaman Barat, Sumatra Barat.