Suatu Malam di Rumah Merah
saat tidak punya uang
banyak yang teringat untuk dibeli
ketika sudah memegangnya
malah membeli apa yang tidak terpikirkan;
aku kerap hilang pukul sepuluh malam
menginap di rumah merah
milik seorang cino blasteran surabaya
aku kata, ini uang buat apa
kalau disimpan jadi tahi
ia bilang, sini kupegang
tanganku penenun sutra mongolia
kujahit tubuhmu dengan beludu merah saga
padang, 2023
Antologi Belasungkawa
telah sama-sama kita patahkan sayap
agar tak terbang terlalu tinggi
dalam kisah-kisah seterusnya
kita hanya sepasang pejalan
yang sengaja menanggalkan kepak
desau kecipak awan
dan desir angin membelah
setelahnya, mungkin saja di tahun yang murung
kau memandangku nampak janggal
dan aku melihatmu serupa remuk di dalam
kita sama-sama merasakan masa berkabung masing-masing
tidak ada yang kita pagut selain harap
dan pada musim-musim berikutnya
barangkali, atau mungkin saja
para penyair menuliskan kemurungan itu
sebagian lagi menertawakannya
“oh, itu harubiru yang tak ada apa-apanya dan tak pantas dibaca,
hanya akan mencetaks ebuah antologi belasungkawa”
/padang, 2024
Arif P. Putra, lahir di Surantih, Pantai Barat Sumatra. Buku tunggalnya yang telah terbit “Suara Limbubu” (JBS, Yogyakarta 2018) dan sebuah novel “Binga” (Purata Publishing, 2019). Karya-karyanya pernah dimuat beberapa media, seperti Suara Merdeka, Haluan, Solopos, Rakyat Sultra, Minggu Pagi, Tempo, Kompas.id, Bacapetra dan lainnya. Sekarang berkegiatan di komunitas Serikat Marewai, website marewai.com.