Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cerpen · 3 Nov 2024 20:57 WIB ·

Sepasang (Mungkin) Kekasih di Kafe


 Paul Gauguin, Night Cafe, Arles via WikiArt.org Perbesar

Paul Gauguin, Night Cafe, Arles via WikiArt.org

Lelaki itu membenarkan posisi duduknya. Perempuan di hadapannya tampak gelisah menanti sebuah kepastian yang tak kunjung terbit dari lelaki itu; wajahnya murung, mungkin juga kesal.

Sudah satu jam mereka berdua duduk di kafe yang mulai sepi karena ditinggalkan pelanggan. Dulu, tak semalam pun kafe itu terlihat sepi pengunjung. Setiap pengunjung meninggalkan kafe, pengunjung yang lain akan segera menggantikan.

Kafe itu sememang tidak berubah sejak 10 tahun lalu saat buka pertama kali. Menu yang ditawarkan serta dekorasi yang ditampilkan, tak satu pun yang mengalami perubahan. Bahkan karyawan yang bertugas melayani para tamu, pun tidak berubah. Bukankah perubahan adalah sebuah keniscayaan? Jangan-jangan itu yang menyebabkan kafe itu menjadi sepi.

“Aku mencintai kamu,” kata lelaki itu meluncur begitu saja menghentikan hening yang sudah mulai terasa tidak asyik. Kayaknya, kalimat serupa sudah lelaki itu ucapkan beberapa kali. Sehingga membuat si perempuan tidak begitu antusias menanggapi.

Kesal pada respon si perempuan, lelaki itu membakar sebatang rokok, kemudian menyedot jus mangga di hadapannya. Ia memang selalu memesan jus mangga bila berkunjung ke kafe itu: baik saat sendiri, atau sedang berdua dengan si perempuan.

“Apa buktinya?” tiba-tiba si perempuan nyeletuk membalas ungkapan cinta lelaki itu. Mungkin si perempuan ingin memastikan kebenaran ungkapan lelaki itu, atau mungkin si perempuan sedang menguji keseriusan lelaki itu.

Lelaki itu tampak berpikir; sepertinya tidak menduga masih ditanya perihal bukti. Meskipun sudah sering ditanya begitu, tetap saja—serupa lelaki pada umumnya—menjawab pertanyaan semacam itu tentu tidak mudah. Kalau salah menjawab atau jawaban bernada pamrih, pastilah menimbulkan pertanyaan lanjutan—mungkin juga berujung perdebatan yang sia-sia. Namun setelah berpikir dan menimbang risiko, lelaki itu pun menjawab pertanyaan si perempuan.

“Aku bebaskan kamu untuk tidak mencintaiku. Itu lah buktinya.”

“Bukti apa pula itu? Jawaban kamu absurd!”

“Loh, justru bukti yang kamu minta itu yang absurd!” jawab lelaki itu menyerang.

Suasana mendadak hening.

Hanya hitungan detik, gantian si perempuan yang membakar rokok.

“Kamu tidak mencintai aku! Kamu hanya mengutak-atik kata, seolah-olah itu jawaban yang tepat,” balas si perempuan menyerang.

“Justru aku kehilangan kata-kata untuk membuktikan cintaku padamu. Mengapa kamu selalu bertanya soal bukti?” tangkis lelaki itu.

“Memang ada tanda yang lebih sahih selain pembuktian?” desak si perempuan tak mau mundur.

“Kamu itu ingin bukti apa tanda?” lelaki itu mencoba bermain kata-kata.

“Bukti itu tanda kamu mencintai aku!”

“Ribet! Kamu terlalu formal.”

Suasana kembali hening.

Mungkin mereka sedang saling bertanya dalam pikiran. Mungkin juga sedang berusaha menghalau ego masing-masing.

¤ ¤ ¤

Pada pertemuan sebelumnya—masih di kafe yang sama—lelaki itu dan si perempuan sempat menyabung umpatan serta makian. Untungnya, kafe tak ada pengunjung selain mereka. Pelayan kafe tidak ada yang berani menengahi. Macamnya mereka segan, atau mungkin juga mereka tidak peduli.

“Ini bukan kali pertama kamu tidur dengan dia. Kamu pernah tidak memikirkan perasaanku?”

“Kamu sendiri pernah tidak memikirkan perasaanku? 10 tahun kita jalan, kamu selalu saja meragukan cintaku. Berulang kali kuajukan keinginan untuk menikahimu, berulang kali pula kamu menolak ajakkanku dengan alasan kamu masih ragu pada cintaku!”

“Salah sendiri, kenapa kamu tidak bisa buat aku percaya.”

“Salahku? Gila! 10 tahun berlalu semua karena salahku? Kalau begitu, kenapa kamu masih bertahan sampai saat ini?”

“Aku masih percaya kamu suatu saat nanti akan berhasil membuatku percaya.”

“Kalau ternyata saat itu tidak kunjung datang, dan kita menua?”

“Itu risiko.”

“Risiko?”

“Ya, risikoku mencintaimu!”

“Risiko kamu? Maksud kamu aku tidak punya risiko? Kalau begitu, kenapa perbuatanku tidak kamu anggap bagian dari risiko kamu mencintaiku?”

“Itu dua hal yang berbeda!”

“Tidak konsisten!”

¤ ¤ ¤

“Kamu tidak mencintaiku!”

“Baik, apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya.”

“Haruskah aku beritahu?”

“Ya, beritahulah!

“Cari sendirilah!”

“Hei, ini sudah tahun ke 16 kita jalan. Dan kamu masih memintaku mencari tahu? Hubungan macam apa ini? Jujur, rasa-rasanya aku sudah tidak kuat lagi mencari tahu bagaimana cara membuat kamu percaya. Aku pikir… kita putus saja!”

“Ini sudah tahun ke 16 kata kamu, bukan? Entah sudah berapa kali kamu minta putus, tapi kita masih jalan juga kok. Kamu tidak punya cari lain apa, selain minta putus?”

“Tidak! Kali ini aku serius!”

“Yang lalu juga kamu katakan begitu.”

“Tidak!”

“Apanya yang tidak?”

“Tidak benar kalau aku kali ini tidak serius!”

“O, jadi kamu serius?

“Ya!”

“Loh, ya atau tidak? Kamu membingungkan.”

“Kita putus! Putus!”

Mereka berdua hening.

Lelaki itu dan si perempuan membakar rokok. Pelayan kafe sibuk melayani pengunjung yang beberapa bulan terakhir kembali ramai. Setiap pengunjung meninggalkan kafe, pengunjung yang lain akan segera menggantikan. Sambung-menyambung; tak putus-putus.

Menu yang ditawarkan serta dekorasi yang ditampilkan kafe itu, semua mengalami perubahan yang cukup drastis. Karyawan yang bertugas melayani para tamu, juga berubah. Bukankah perubahan adalah sebuah keniscayaan? Jangan-jangan perubahan itu yang menyebabkan kafe itu menjadi ramai kembali.

“Aku mencintai kamu!”

“Apa buktinya?”

Cut! Ulang! Kembali ke awal saja, emosinya lebih dapat,” kata si sutradara sambil meminta para kru mengubah setting dekorasi kafe kembali sepi dari pengunjung.(*)

Akasia 11CT

ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan ada yang ditolak. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.

Artikel ini telah dibaca 115 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ssst!

1 December 2024 - 06:22 WIB

WikiArt.org

Hal-hal yang Baik

1 December 2024 - 05:24 WIB

Peliknya Kehidupan Saya

1 December 2024 - 05:16 WIB

WikiArt.org

Harta Karun Pulau Senja

24 November 2024 - 14:13 WIB

Roy Lichtenstein, Figures with Sunset via WikiArt.org

Mengusir Syekh dari Kampung

24 November 2024 - 01:53 WIB

Frida Kahlo, via WikiArt.org

Kupon Undian Umroh

17 November 2024 - 20:33 WIB

Islam, 1965 - Carla Accardi, via WikiArt.org
Trending di Cerpen