Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cernak · 3 Nov 2024 22:18 WIB ·

Sandal Kia Hilang


 Ilustrasi: Rahmat Hidayat Perbesar

Ilustrasi: Rahmat Hidayat

Hari Sabtu sekolah libur. Salman memanfaatkannya untuk pergi menemani Papa memancing di Sleko. Sejak jam setengah enam pagi mereka sudah berangkat, membawa bekal nasi rames yang dibeli oleh Mama di warung Bu Lastri. Kia, adiknya Salman, memilih tidak ikut. Karena ia sudah janjian dengan Nayla, teman sekelasnya, akan bermain bersama.
Setelah berbenah kamar, menyapu lantai dan pekarangan, Kia pun mandi lalu sarapan. Tepat pukul sembilan, Kia pamit pada Mama hendak ke rumah Nayla di gang sebelah. Ketika hendak memakai sandal, Kia baru menyadari sesuatu.
“Mama! Sandal Kia mana? Kok, nggak ada di teras?” teriaknya heboh. Ia membungkuk serta menjenguk kolong meja dan kursi bambu. Siapa tahu sandalnya ada di situ.
“Ma, bantuin, dong!”
Akhirnya Mama muncul dari dapur. “Ya ampun Kia, jangan teriak-teriak, dong. Coba diingat-ingat terakhir kali pakai, kamu taruh di mana?”
Kia bersungut-sungut. “Kemarin sore sepulang ngaji Kia tinggal di dekat kursi aja, kok.”
“Yakin? Sudah coba cari di rak sepatu?” saran Mama. “Siapa tahu Papa atau kakakmu memindahkannya.”
Ucapan Mama terasa masuk akal. Kia lalu menuju rak sepatu di samping mesin cuci. Ia memeriksa deretan sepatu dan sandal di situ. Namun sandal jepit pink motif polkadot miliknya tetap tidak terlihat. Kia berpaling pada mamanya. “Nggak ada juga, Ma.”
“Hmm, ya, sudah. Sementara pakai sandal lain dulu. Nanti kalau Salman pulang, coba tanyakan. Sekarang Mama mau lanjut masak, ya,” saran Mama.
Kia menurut meskipun berat hati. Ia mengambil sandalnya yang lain dari rak. Sandal ungu ini modelnya mirip selop, kurang nyaman dipakai main sehari-hari. Berbeda dengan sandal polkadotnya yang saat ini lenyap entah kemana.

***

Menjelang tengah hari Papa dan Salman pulang. Salman membawa dua joran serta kaleng kecil berisi umpan. Sedangkan Papa menenteng sebuah ember berukuran sedang. Raut wajah mereka berseri-seri, sebab bisa dibilang acara memancing mereka sukses. Papa berhasil mendapat lima ekor ikan sebesar telapak tangannya.
“Wah, Alhamdulillah! Lumayan juga dapatnya, ya, Pa,” sambut Mama senang.
“Iya, Ma. Padahal kata beberapa pemancing lain, di Sleko sekarang susah dapat ikan,” balas Papa. “Cuma tadi Papa sempat pindah tempat dua kali. Ya, kan, Sal?”
“Betul, Ma. Soalnya tadi ada kapal pengangkut batu bara yang baru datang. Akibatnya airnya beriak, jadi Papa ngajak geser ke tempat yang lebih tenang,” jelas Salman antusias.
“Nanti ikannya Mama goreng saja, ya? Buat tambahan lauk,” putus Mama.
Sleko adalah dermaga penyeberangan yang terletak di kelurahan Tambakreja. Di sini tempat orang-orang yang ingin menyeberang dari Cilacap ke kecamatan Kampung Laut, maupun sebaliknya. Oh iya, Kampung Laut adalah nama sekumpulan pulau yang terletak di Segara Anakan. Di Sleko juga terdapat kapal wisata malam, tempat bongkar muat batubara, dan sering digunakan warga sekitar untuk memancing.
Kia yang baru pulang dari rumah Nayla langsung menghampiri Papa dan kakaknya. “Papa dan Mas Salman mindahin sandal polkadotku nggak?”
“Nggak. Biasanya, kan, di teras?” sahut Salman.
“Iya, kemarin sore juga kutaruh dekat kursi. Tapi tadi pagi nggak ada!”
“Oh ya? Atau mungkin disembunyikan seseorang?” Papa ikut menawarkan kemungkinan lain.
Kia tidak kepikiran hal itu, padahal kalau dipikir-pikir hal itu mungkin saja terjadi. Rumah mereka tidak memiliki pagar depan, siapa saja bisa duduk di teras depan. Selain itu, beberapa anak di sekitar rumah ada yang suka jahil menyembunyikan sandal.
“Oh, iya! Ini pasti kerjaannya Revi!” seru Kia yakin.
Revi teman sepermainan Kia, tetapi mereka sering tidak akur. Kalau sudah ribut biasanya Kia dan Revi akan saling menjahili sampai bosan sendiri, baru berbaikan kembali. Tiga hari yang lalu mereka bertengkar gara-gara rebutan giliran main lompat tali, dan belum berbaikan. Makanya Kia yakin, hilangnya sandal tersebut berhubungan dengan Revi.
Mama memotong pembicaraan mereka. “Sudah dulu rembugannya. Makan siang sudah siap di meja, tuh.”
“Iya, Ma,” balas Salman patuh. “Kia, lepas asar kita ke rumah Revi untuk memastikan dugaanmu. Setuju?” katanya pada sang adik.
Kia mengangguk, “Oke, Mas.”

***

Sesuai kesepakatan, selepas sholat asar Salman dan Kia pamit pada orangtua mereka. Dua bersaudara itu berjalan beriringan menuju rumah Revi, yang berada di lain blok. Sore hari yang cerah, beberapa kali mereka saling menyapa dengan kawan-kawan yang berpapasan di jalan.
Tak lama kemudian sampailah mereka di muka rumah Revi. Kondisi rumah bercat biru itu sepi. Pintu dan jendelanya tertutup rapat. Lampu di teras menyala meskipun hari masih terang. Salman dan Kia saling berpandangan.
“Cari Revi, ya, Kia?” tanya Bu Arwen, tetangga sebelah rumah yang sedang menyiram tanamannya.
“Iya, Bu,” jawab Kia. “Kok, sepi, ya?”
“Soalnya Revi dan keluarganya sedang pergi ke Tegal. Mereka berangkat habis magrib, tiga hari yang lalu,” jelas Bu Arwen ramah.
Habis magrib tiga hari yang lalu? Itu berarti tak lama setelah Revi dan Kia bertengkar. Lunglailah pundak Kia. Ia telah salah sangka pada Revi, yang ternyata tak ada hubungannya dengan kehilangan sandal yang dialaminya.
“Terima kasih infonya, Bu,” sahut Salman. “Kami permisi.”
Salman merangkul bahu adiknya. Ia lalu menghibur Kia yang sedih. Sampai di dekat pos ronda langkah mereka memelan. Seorang perempuan tua berambut awut-awutan sedang asyik bicara sendiri di situ. Di sebelahnya ada buntalan kain kumal, dan sekarung sampah. Perempuan tua itu terkenal sebagai si As.
“Mas Salman, i-itu yang sedang dipakai si As, kan, sandalku!” tunjuk Kia terkejut.
“Hah? Kamu yakin, Kia?” balas Salman tak kalah kaget.
“Iya! Aku hapal banget! Ta-tapi kenapa bisa dipakai si As?” Kia berdiri kebingungan. Sandalnya tentu saja terlalu kecil untuk si As, tapi perempuan kurang waras itu mana peduli.
Salman berpikir keras. Kemudian ia ingat, si As punya kebiasaan mengambil barang milik orang lain. Meskipun barang itu ada di teras rumah dan bukannya berada di jalan atau tempat sampah, asalkan si As suka pasti akan diambil.
Tiba-tiba si As menyadari kehadiran Salman dan Kia. Matanya memelotot galak pada mereka. Ia tak suka ditonton, karena mengira Salman dan Kia ingin mengambil barang-barangnya. Kini si As mengacung-acungkan tinjunya. Salman dan Kia mengkeret ketakutan.
“Lariii!” Salman kabur lebih dulu.
“Mas Salman, tungguuu!” Kia cepat menyusul lari. Biarlah sandalnya tak kembali, besok ia akan meminta dibelikan gantinya pada Papa.(*)

Cilacap, 1506-210120

Gita FU, pembaca buku yang suka menulis. Tulisannya telah tersiar di sejumlah media cetak dan online. Karya solonya adalah  kumpulan cerita anak “Pekerjaan Rahasia” (JWriting Soul Publishing, Agustus 2018).

Artikel ini telah dibaca 18 kali

Baca Lainnya

Mukena Pemberian Ibu

24 November 2024 - 01:34 WIB

Ilustrasi: Rahmat Hidayat

Andai Probolinggo Jadi Ibukota

17 November 2024 - 21:19 WIB

Adi dan Panggilan Salat

13 November 2024 - 20:41 WIB

Tigatelu via iStock

Jangan Malas Olahraga

3 November 2024 - 22:34 WIB

Kazemir Malevich, Sportsmen, via WikiArt.org
Trending di Cernak