Hampir seluruh masyarakat baik kaum well-educated maupun awam menganggap bahwa mahasiswa pastilah jenis manusia yang pola pikirnya lebih berkualitas ketimbang mereka yang hanya tamatan SMA. Dengan demikian, mendapat gelar “Mahasiswa” saja sejatinya sudah merupakan suatu tanggung jawab besar bagi pundak sang penyandang. Tapi sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan: tak sedikit mahasiswa yang berkuliah sebatas agar bisa memiliki foto wisuda, memperoleh ijazah, meraih gelar kebanggaan, dan selesai – yang untuk selanjutnya gelar tersebut sekadar digunakan sebagai objek pemuas gengsi supaya terlihat intelek di mata warga sekitar serta keluarga.
Akibatnya mampu disaksikan, banyak muncul fenomena lulusan sarjana yang cukup puas dengan status menganggur setelahnya. “Menganggur” yang saya maksud di sini tentunya menganggur dalam makna sesungguhnya, yaitu sama sekali tak paham harus melakukan apa dan bagaimana melangsungkan hidup di alam lepas.
Jika dikalkulasikan, tampak dibutuhkan total harga yang sama sekali tidak murah untuk dapat mengecap bangku perkuliahan selama – katakanlah empat tahun. Biaya yang mahal tersebut tak akan jadi memberatkan apabila ilmu yang telah disampaikan selama masa perkuliahan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh para mahasiswanya. Namun bagaimana jadinya ketika pelajar yang disebut mahasiswa itu enggan mengeksplorasi apa yang sudah mereka terima selama empat tahun tercatat? Jelas selain membuang-buang waktu, mahasiswa yang seperti tidak berniat menimba ilmu tersebut akan sangat merugikan orangtua mereka secara finansial, mengingat pihak yang sering menanggung mahar semesteran mayoritas mahasiswa adalah masih kalangan orangtua.
Mahasiswa Idealis Harus Menulis
Hendaknya sesudah memutuskan untuk menjadi bagian dari lingkup perkuliahan sebagai seorang mahasiswa, jadilah sekalian mahasiswa yang idealis – alih-alih datang duduk diam lalu pulang membawa pikiran kosong, atau malah segera puas dengan predikat tukang titip absen.
Menjadi mahasiswa bermental idealis tak akan membuat rugi, justru sebaliknya, sangat banyak kegunaan serta dampak positif yang bakal sanggup dipetik. Dalam konteks semacam ini, menulis merupakan salah satu kegiatan mujarab yang bisa dilakukan agar idealisme seorang mahasiswa makin kuat terpupuk dalam jiwa. Tapi, mengapa harus menulis?
Seorang penulis pastilah seorang pembelajar yang baik. Katakanlah agar mampu menulis satu buah artikel, sang penulis harus membaca minimal tiga eksemplar buku dengan jenis berbeda terlebih dahulu untuk memperkuat gagasan yang ada di dalam pikiran serta tulisannya. Maka, kegiatan menulis tidak pernah terlepas dari yang namanya membaca. Dari situ pengetahuan sang penulis tentu akan semakin bertambah. Jadi dapat disimpulkan bahwa mahasiswa yang menulis, selain bisa memberi manfaat bagi sesama melalui isi tulisannya yang mencerahkan, juga akan bertambah-tambah wawasan yang ia raih setiap harinya sebagai bekal mengarungi luas samudera kehidupan.
Menulis untuk Media Massa
Bukan perkara mudah untuk ‘menembuskan’ karya tulis di media-media massa seperti koran, majalah, surat kabar, serta portal online. Selalu ada seleksi ketat yang membuat tidak semua tulisan bisa dimuat. Di situlah, mental idealis seorang mahasiswa yang ingin gagasan-gagasan briliannya dibaca oleh masyarakat luas diuji.
Mencari referensi sebanyak mungkin melalui buku bacaan, pengalaman hidup, seminar, serta kegiatan intelektual lainnya tentu akan dilaksanakan agar tulisan yang dihasilkan oleh mahasiswa tersebut lebih berbobot nilainya di mata para calon pembaca. Dengan begitu, ambisi supaya tulisan sanggup dimuat di media massa sangat bermanfaat guna meningkatkan ilmu pengetahuan serta soft skill mahasiswa.
Sedangkan nilai positif yang bisa dipetik ketika tulisan seorang mahasiswa berhasil dimuat di media massa tentu saja tidak sedikit. Mulai dari mendapat honor guna meringankan beban orangtua membayar uang semesteran kuliah, menoreh nilai plus di mata dosen, tulisannya mampu disimak khalayak ramai, meraih prestise tertentu di mata banyak orang, memperoleh bermacam tawaran untuk mengajar materi kepenulisan di berbagai tempat, bahkan bisa pula diangkat sebagai guru honorer meski belum lulus dari bangku perkuliahan, serta masih banyak lagi manfaat menulis terkhusus bagi mahasiswa yang jika saya sebutkan semuanya mungkin akan sangat menghabiskan banyak ruang.
Mahasiswa adalah seorang intelektual. Kemudian taraf intelektualitas seorang mahasiswa sering diukur dari seberapa banyak ilmu yang ia punya, seberapa pandai ia memanfaatkan pengetahuan yang sudah digenggam, serta seberapa berguna ia bagi negeri tempatnya lahir dan berpijak. Oleh sebab itu, terlepas dari seperti apa pun jenis tulisannya, mahasiswa wajib menulis. Yang demikian supaya terpatri jiwa idealis dalam benak segenap mahasiswa untuk mampu mengubah status suatu bangsa menjadi lebih maju dan beradab.(*)
Lianna Putri Sri Musniawati, penulis lepas asal Semarang kelahiran 1998. Karyanya berupa cernak, opini, artikel berita, dan puisi tersiar di berbagai media massa baik online maupun cetak. Beberapa karya sastranya juga termaktub dalam antologi-antologi buku bersama. Penulis dapat disapa melalui IG: @lianna_psm, Facebook: Lianna Putri S M, atau email: liannaputri12@gmail.com