Judul : Bahasa Melayu Indis
Penulis : John Hoffman
Penerjemah : Fatih Abdulbari
Penerbit : Diomedia
Cetak : 2022
Tebal : 132 halaman
ISBN : 978 623 5518 35 0
Di hadapan kita, “hidangan” berjudul Bahasa Melayu Indis garapan John Hoffman. Kita diajak membaca sejarah bahasa dan memberi perhatian atas peran tokoh dan institusi. Sejarah juga terbaca melalui terbitan surat kabar dan buku, dari masa ke masa.
Halaman demi halaman, kita membaca persaingan dan nasib bahasa-bahasa digunakan di Nusantara selama ratusan tahun. Kita diingatkan terjadi gerakan berbahasa dan sesalan. Para pejabat Belanda kebingungan saat membuat kebijakan dalam pengajaran dan penggunaan bahasa Belanda untuk pelbagai kepentingan. Di Nusantara, sekian bahasa mulai digunakan dengan pesona dan dampak politik, perdagangan, dakwah, sastra, dan lain-lain.
Berlatar abad XVII, orang-orang Belanda mengaku kecewa dan mengumbar sesalan dengan ketiadaan bujukan serius agar bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pergaulan. Bahasa itu susah bersaing dengan bahasa Melayu telah mendapat “mufakat” dalam pelbagai peristiwa di Nusantara. “Penyesalan makin bertambah pada awal abad XVIII, ketika muncul kontroversi yang berlangsung selama 60 tahun mengenai bahasa Melayu-Tinggi atau Melayu-Rendah yang harus dijadikan bahasa dalam khotbah atau penyebaran agama serta standar bagi Alkitab di Hindia,” tulis John Hoffman.
Sejarah bahasa Melayu berkaitan dengan beragam bahasa. Di tulisan John Hoffman, kita menemukan nasib bahasa-bahasa lazim pasang-surut. Politik dan perdagangan dianggap paling berpengaruh. Bahasa pun ditentukan tata cara berdakwah. Di buku berjudul Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-Bahasa Nusantara (2006) susunan JL Swellengrebel, kita mengingat ikhtiar besar dalam penggunaan bahasa Belanda dan pemajuan dakwah menggunakan bahasa-bahasa lokal. Kebijakan menerjemahkan Alkitab memicu sokongan pula dalam pemajuan bahasa Melayu. Bahasa itu turut bertumbuh dalam dakwah selain cepat tergunakan dalam perdagangan, sastra, pers, dan gerakan politik.
Leijdecker melakukan penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu. Semula, hasil terjemahan mendapat pujian. Sekian pihak perlahan mengetahui ada kekurangan dan kesalahan dalam kaidah-kaidah bahasa Melayu. Pada 1845, Gubernur Jenderal Van Imhoff merestui penerbitan kamus untuk menjelaskan kata-katas asing terdapan dalam terjemahan Leijdecker. Perkara itu memicu anjuran agar dilakukan usaha mendidik bumiputra agar memiliki pengetahuan mendalam mengenai bahasa Melayu. Anjuran saat ada tingkatan atau pembedaan mutu dalam penggunaan bahasa Melayu.
Bahasa itu masalah pelik dalam ajakan agar orang-orang di Nusantara beriman. Di dokumen dan catata sejarah, bahasa Melayu di arus sebaran agama memberi dampak-dampak besar. John Hoffman mengingatkan bahwa penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu oleh Leijdecker memberi berlimpah manfaat setelah debat-debat berkepanjangan. Terjemahan mengiringi usaha membuat tata bahasa dan standarisasi bahasa Melayu berlatar abad XVIII.
Pada akhir abad XIX, pemerintah kolonial Belanda agak serba salah dalam kebijakan bahasa untuk administrasi-kolonial, pendidikan-pengajaran, dan tata sosial-kultural. Pengajuan bahasa Melayu dan Jawa memungkinkan sambutan hangat dari bumiputra berbarengan dengan benih-benih perubahan atau “kemadjoean”. Kalangan terpelajar ingin mengerti dunia “baroe” dan “madjoe” dengan bahasa Belanda, tak cukup cuma dengan bahasa Melayu dan Jawa. Pengalaman berbahasa dan situasi politik memicu perbedaan kadar dampak bahasa-bahasa digunakan di tanah jajahan.
Kebingungan dan kecanggungan berbahasa berlangsung lama. John Hoffman menjelaskan: “Ketakutan Belanda akan konsekuensi langsung dari ketidakmampuan mereka untuk mempengaruhi komunikasi antara pejabat Belanda dengan orang Jawa, serta keputusan Belanda melihat penggunaan bahasa mereka sendiri oleh orang-orang Jawa terdidik, cenderung memaksa semua pihak untuk memakai bahasa Melayu.” Pilihan setelah dilema-dilema berkaitan politik dan pendidikan.
Pada awal abad XX, bahasa Melayu bergerak dan bermekaran. Bahasa itu turut mengubah nasib tanah jajahan. Penggunaan dalam pendidikan-pengajaran, pers, perbukuan, dan pergerakan politik kebangsaan memberi derajat berbeda dari masa-masa terdahulu. Bahasa itu perlahan menentukan sejarah, bersebaran ke segala penjuru. Di buku berjudul Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (2018) susunan Harimurti Kridalaksana, terbaca penggalan sejarah: “… penyebaran itu dilakukan justru bukan oleh orang Melayu, melainkan oleh pelbagai suku lain, seperti orang Jawa, Madura, Batak, Bali yang telah menerimanya sebagai bahasa sendiri.”
John Hoffman menganggap tata cara itu mengesahkan bahasa Melayu sebagai “pemersatu” identitas beragam etnis di Nusantara. Pesona dan pengaruh bahasa Melayu makin menguat dalam kapitalisme cetak. Percetakan dan penerbitan bacaan menggerakkan bahasa Melayu untuk mengalami “pemodernan” dan berkekuatan politik-kultural di hadapan pemerintah kolonial Belanda. Bahasa itu turut membentuk gagasan-imajinasi nasionalisme. Bahasa bisa melawan kolonialisme. Bahasa itu terus bertumbuh meski pengabaian dan peremehan terjadi saat kaum elite terpelajar dan keluarga-keluarga terhormat di Hindia Belanda masih terpesona bahasa Belanda. Pertumbuhan bahasa Melayu menemukan babak mendebarkan pada masa 1920-an, hadir di penentuan sastra dan agenda-agenda politik nasionalisme. Begitu.(*)