
Ilustrasion by The New Yorker; Source Photograph by Paik Dahuim
Di tengah ‘hiruk-pikuk’ problem dunia yang makin gaduh, kira-kira seberapa pentingkah isu kesehatan mental menarik dan layak diperbincangkan?
Begitulah pertanyaan yang terlintas dalam benak saya usai membaca Vegetarian karya Han Kang, perempuan penulis Asia, peraih Nobel Sastra 2024. Sebab, tak hanya itu, saya pun teringat Norwegian Wood, karya Murakami, penulis yang sejak beberapa tahun terakhir digadang-gadang akan meraih penghargaan Nobel, namun akhirnya berhasil tersingkir oleh penulis perempuan asal Korea Selatan ini.
“Ah, paling ceritanya orang yang pengen diet.”
Begitulah komentar pendek saya beberapa tahun lalu saat pertama kali membaca judul novel Vegetarian di Toko Buku Terpilih, toko buku milik kakak saya yang tokonya kebetulan bersebelahan dengan kamar saya. Bahkan, meski saya membaca pujian-pujian di cover belakang buku, tak ada keinginan yang menggugah buat saya untuk segera membacanya. Hingga pada 10 Oktober malam kemarin, saat media mengabarkan bahwa Hang Kang lah pemenang Nobel Sastra tahun ini. Wow, Han Kang telah berhasil mengalahkan Murakami, batin saya dalam hati, meski saya sama sekali tak kecewa. Justru, malam itu saya bertekad untuk segera membaca Vegetarian. Maka, benar saja, esoknya saya segera membeli novelnya di toko buku Kakak. Meski agak sedikit rempong dengan aktivitas rumah tangga, pada jam 9 pagi saya pun mulai membacanya dan berhasil menyelesaikannya pada sekitar pukul 19:22 malam, usai shalat isya’.
***
Saat membaca bagian awal paragraf novelnya, saya sudah yakin kalau buku ini bagus. Jalinan bahasa yang indah, mengalir dan mampu mengerutkan kening pembaca bahkan makin ‘greget’ lagi saat tiba di halaman 11, ini membuat saya tak ingin segera berhenti untuk membuat jeda. Sungguh, di bagian awal novel dengan judul Vegetarian ini, penulis telah berhasil menciptakan tokoh yang ‘hidup’ dan mengajak pembaca merasakan emosi yang tebal. Anehnya, pada bagian awal ini, saya masih belum bisa menebak kalau ternyata ini novel beraroma health mental issues.
Di bagian kedua novel yang berjudul Tanda Lahir Kebiruan, penulis membuat alur di luar dugaan yang cukup membuat pembaca tercengang, meski di bagian ini sebaiknya hanya boleh dibaca oleh mereka yang berusia 21+.
Menyusul bagian akhir dari novel ini dengan judul Pohon Kembang Api, saya akhirnya yakin bahwa novel ini tak hanya berbicara soal Vegetarian; namun, kisah seorang perempuan pengidap skizofrenia yang menolak makan daging karena mimpi-mimpi buruknya yang begitu gelap dan mencekam. Aha, ini benar-benar cerita yang tak umum terjadi. Dengan gaya bahasanya yang indah namun lebih ‘padat’ daripada gaya Murakami bercerita, Han Kang tak kalah memukaunya dalam menyusun bahasa, diksi dan metafora. Malah, dengan jumlah halaman yang tergolong tipis, mungkin ada pembaca yang justru lebih menikmati dan menyukai seperti ini.
Di bagian bab akhir juga, penulis berhasil mendeskripsikan kepedihan hidup, takdir yang tak dapat disangkal, serta luka batin yang mendalam. Dalam adegan ini pula, saya tiba-tiba teringat tokoh Naoko (dalam buku Norwegian Wood karya Murakami) ketika berada di tempat rehabilitasi, yang mana, Han Kang dan Murakami berhasil membuat pembaca terbawa emosi, bahkan mungkin menangis.
Menariknya lagi, penulis bercerita dengan memakai 3 macam POV yang berbeda (sudut pandang suami Young Hye, sudut pandang kakak iparnya serta sudut pandang kakak kandungnya; In Hye), yang mana menurut pengakuan Han Kang sendiri; ini adalah cara yang paling efektif dalam membangun karakter tokoh utama, Kim Young Hye.
Lepas dari itu, pembaca boleh menafsirkan dengan bebas, kira-kira apa yang ingin disampaikan oleh penulis lewat novel beraroma kesehatan mental ini. Buat kamu yang menyukai sastra, novel ini wajib dibaca! (*)
Khadijah Abbas, penikmat sastra.