Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cerpen · 29 Sep 2024 03:01 WIB ·

Tiga Lelaki Bejat


 WikiArt.org Perbesar

WikiArt.org

Selesai kerja bakti lalu mendapat jatah makan siang, aku istirahat sendiri di selasar sel. Para napi khusus kasus pembunuhan memang ditempatkan tersendiri. Jika sedang waktunya istirahat, jarang sekali ada napi lain yang mendekat. Namun sudah beberapa pekan ini Sukmo, napi bukan dari kasus pembunuhan, selalu ke sini di jam istirahat. Kadang hanya membaca buku atau mengajakku ngobrol. Dan kali ini tampaknya begitu juga karena sudah terlihat di kejauhan Sukmo berjalan ke arahku sembari menenteng sebuah buku. Begitu duduk di dekatku, dia langsung bertanya tentang kasusku.

“Buku apa itu?” tanyaku tak menghiraukan pertanyaannya.

“Novel. Baru saja selesai kubaca.” jawabnya.

Lantas tanpa kutanya dia menjelaskan garis besar ceritanya. Berkisah tentang seorang tokoh yang hampir seluruh waktu hidupnya melakukan kejahatan tapi ketika tokoh itu mati, orang-orang mengenangnya sebagai pahlawan. Tanpa kuduga cerita itu mengingatkanku pada Pujo, orang yang sengaja menyimpan sebuah rahasia dengan maksud mencegah terjadinya kekacauan. Dilihat dari sudut pandang lain, jika Pujo berhasil, dia bisa dianggap pahlawan. Kisah itulah yang akhirnya kujadikan jawaban untuk pertanyaan Sukmo.

***

Ketika kami—aku, Bero, dan Pujo—masih muda, berteman akrab. Kami tinggal di rumah sederhana yang kami sewa bersama, di mana pembayarannya dengan cara patungan. Kami pun bekerja di perusahaan yang sama, sebuah perusahaan tekstil yang dulu cukup terkenal di kota X.

Sembilan puluh persen karyawan di perusahaan X adalah wanita. Karena itu untuk segala hal yang berkaitan dengan perwanitaan, kami bertiga seperti dimanjakan. Bahkan kami bisa membawa wanita yang selalu berbeda di setiap akhir pekannya. Hal itu tidak menjadi masalah karena sebagian besar wanita di perusahaan itu juga tidak mengharuskan dirinya hanya berhubungan dengan satu lelaki.

Keadaan seperti itu membuat kami bertiga tidak pernah mengerti bagaimana rasanya menjalin hubungan yang kuat dengan seorang wanita. Kami pun tidak benar-benar menyadari apakah sikap kami pernah membuat seorang wanita kecewa, hingga kebebalan perasaan kami terbina sangat baik. Bahkan untuk mendukung kebebalan itu, kami bertiga telah membuat semacam aturan agar rasa kecewa atau rasa sedih tidak pernah menghinggapi kami.

Setidaknya ada tiga aturan yang kami sepakati. Pertama, kami tidak boleh merayu wanita yang sudah menjadi incaran salah satu di antara kami. Kedua, tidak boleh melakukan aktivitas perwanitaan di lingkup perusahaan X. Aturan kedua ini diperkuat adanya ancaman dipecat jika hal itu diketahui pimpinan perusahaan. Dan ketiga, begitu kami memutuskan menikah, kami berjanji tidak akan bermain wanita lagi. (Jika melanggar ada hukumannya, dan jenis hukuman itu akan menyusul)

Saat itu hidup kami baik-baik saja, bahkan penuh suka-suka, tiada hari tanpa hura-hura. Meski gaji kami pas-pasan, tapi dari awal kami memantapkan diri untuk tidak memusingkan hal itu. Kami mengatasinya dengan cara mudah, terkhusus untuk masalah uang kami saling gotong-royong, bukan hanya selingkup kami bertiga, tetapi juga kami terapkan kepada seluruh wanita yang berhubungan dengan kami.

Salah satu ritual yang kami rasakan sangat menyenangkan adalah ketika kami bertiga kumpul, saling berbagi pengalaman saat berpetualang dengan wanita yang baru saja dikencani. Ritual itu, selain berguna untuk membiasakan kami saling terbuka, juga agar kami menjadi tahu wanita mana yang sedang kami kencani, sehingga kami akan terbebas dari pelanggaran terhadap aturan pertama.

Meski begitu, pada kenyataannya usia kami terus bertambah, hingga tiba waktunya kami perlu untuk memikirkan masa depan. Pemikiran itu akhirnya memunculkan kesepakatan baru, bila siapa pun dari kami ada yang ingin melepaskan diri dari kegemaran itu, akan dipersilakan. Jika kami ingin menjalani hidup wajar, selayaknya orang-orang jalani, tidak akan dihalangi. Bahkan kami akan saling memberi dukungan dan semangat.

Kesepakatan baru itu sesekali berkelindan dalam pikiranku, dan aku menganggap hal itu memang baik adanya, hingga suatu kali aku bertemu dengan seorang wanita yang aku merasa cocok untuk kujadikan istri, namanya Maya.

Aku menceritakan semua itu kepada Pujo dan Bero, tentang apa yang telah kurencanakan, termasuk tentang keinginanku untuk mengajak Maya menikah. Aku juga memohon kepada mereka untuk mendukung tekadku itu. Sebelum aku menemui Maya untuk mengajaknya menikah, terlebih dulu aku akan mencari pekerjaan di tempat lain, dan jika sudah mendapatkannya, barulah aku akan mengundurkan diri dari perusahaan X.

Usai Bero dan Pujo mendengar ceritaku, sejenak terlewat senyap. Bahkan mereka sempat saling pandang dalam diam sebelum akhirnya Pujo mengawali bicara dengan memberi ucapan penyemangat untukku. Lantas demikian juga apa yang Bero ucapkan kepadaku.

“Semoga semua berjalan lancar,” tambah Pujo.

“Amin,” sahut Bero.

Ketika aku sudah mendapatkan kerja di tempat lain, pada saat itulah aku merasa sudah waktunya untuk mengungkapkan perasaanku kepada Maya. Di hari Sabtu yang telah kurencanakan aku mengajaknya keluar. Kami berdua menuju salah satu kedai di kota. Aku masih ingat Pibul nama kedai itu, yang katanya kependekan dari Ngopi dan ngebul. “Terus terang aku sudah bosan berpetualang. Aku ingin tinggal di rumah sederhana hanya denganmu,” ucapku pada Maya waktu itu.

“Kamu ngigau, ya?” sahut Maya.

Aku menggeleng. “Aku tenanan.”

“Maksudmu?”

“Maukah kamu menikah denganku?”

Spontan Maya hendak tertawa, tapi berusaha menahannya sembari telapak tangannya yang kiri menutupi mulutnya. Beberapa waktu kemudian dia mengangkat kedua bahu. Mungkin Maya belum yakin dengan apa yang kuucapkan, karenanya aku mengulangi dengan kalimat berbeda. “Aku serius, May. Aku mencintaimu. Aku ingin mengajakmu menikah.”

Seketika wajah Maya berubah tegang. “Hm, begini. Makasih kamu sudah punya perasaan sayang kepadaku, tapi maaf banget. Aku masih muda, belum ingin berkeluarga. Boleh saja dua atau tiga tahun kita bicarakan lagi. Tapi yang pasti untuk sekarang ini aku tidak ingin membohongimu, dan aku juga tidak ingin pura-pura mau.”

Setelah perkataan Maya itu kami berdua diam agak lama. Aku sempat memikirkan Pujo dan Bero yang sebelumnya tidak memberi komentar apa-apa terkait rencanaku. Tentu saja aku berpikir semua akan berjalan lancar seperti yang diucapkan Pujo. Namun apa yang terjadi jauh dari yang kukira. Perbincangan kami setelahnya menjadi kaku, tapi aku ingin tetap menjaga sikap. Aku tidak ingin dikata seperti anak kecil, yang ketika tidak mendapatkan apa yang dimau, lantas ngambek atau marah histeris.

Jika di hadapan Maya aku bisa menahan, setidaknya agar tidak bertingkah memalukan. Berbeda cerita ketika aku di hadapan Pujo dan Bero. Aku tumpahkan segala kesedihanku kepada mereka. Satu kalimat kutambahi dua umpatan. Satu kalimat kutambahi dua umpatan, begitu terus. Pujo dan Bero hanya bisa mendengarkan tanpa ada yang berani menyela. Apa yang mereka lakukan hanya sesekali tangannya memegang pundakku atau memberi tinju pura-pura. Aku tahu mereka berusaha menguatkan aku. “Tapi tidak apa, aku akan menunggunya,” ucapku lirih mengakhiri curhatanku.

Aku memang sudah tidak lagi di perusahaan X, tapi aku masih bisa memantau keberadaan Maya. Bahkan sesekali aku pun akan mengajaknya keluar, sekadar ngopi dan ngebul di sebuah kedai. Tentu saja aku tidak ingin berbuat macam-macam kepadanya. Sejujurnya aku tetap ingin menjaga marwah cinta yang kupunya, agar cintaku kepada Maya tetap suci sampai waktunya tiba bersama.

Meski Maya sesekali pergi bersamaku, pada kenyataannya dia memang masih bebas. Belum ada ikatan apa pun denganku, hingga pada suatu kali, di mana waktu belum genap dua tahun sejak aku mengajaknya menikah, kami janjian keluar bersama. Di tengah perbincangan itu, dia berterus terang kepadaku.

“Maaf, aku tidak bisa bersamamu, karena saat ini aku telah membuat komitmen dengan lelaki lain. Aku memang pernah mengatakan tidak ingin menikah dulu, dan itu masih sama. Kami baru mencoba menjalani sebuah kebersamaan. Meski begitu, yang pasti aku mencintainya.”

Aku hanya diam mendengarkan dia bicara.

“Kudoakan semoga ada wanita yang tulus mencintaimu,” ucap Maya.

Setelah pertemuan itu kami tak lagi bertemu, apalagi keluar bersama. Namun sesekali aku masih mendengar kabar tentang Maya. Belum lama ini aku mendengar dia keluar dari pekerjaan, yang sebelumnya aku juga tahu Pujo telah lebih dulu mengundurkan diri. Kabar itu membuatku ingin menemui Pujo. Ketika kami telah bertemu aku menanyakan kabar keduanya, Maya dan dirinya. Apa yang Pujo sampaikan semuanya hal lumrah. Maya akan menikah, dan Pujo bosan kerja ikut orang lain. Dia ingin membuka usaha sendiri. “Meski kecil tapi tidak jadi kacung lagi,” tambah Pujo.

Setelah itu, meski sesekali aku dan Pujo masih bertemu, sekadar berbincang untuk mengenang masa lalu sembari ngopi dan ngebul, tapi sebenarnya kami sudah mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Waktu berjalan tanpa kompromi, hingga tak terasa kisah bersama Maya telah terlewat sepuluh tahun lamanya, dan sungguh sudah seperti tak ada masalah. Setidaknya sebelum hari itu, pada sebuah sore yang dingin di bulan Desember, ketika aku mendapat pesan dari Pujo. Bro, sebenarnya aku menyimpan rahasia yang selama ini belum berani kuceritakan.

Apa itu? Membuatku deg degan saja. Pesan balasanku.

Pujo lantas meneleponku. Aku menerimanya, dan kami berbincang. Kata maaf yang pertama keluar dari mulutnya. Aku diam, bermaksud menunggu perkataan dia selanjutnya. Pujo mulai menceritakan kisah sepuluh tahun lalu yang selama ini dirahasiakan kepadaku. Pujo bilang bahwa pimpinan perusahaan X mendapati Maya sedang berduaan bersama Bero di gudang. Ketika Bero dimintai keterangan, Bero memberi penjelasan bahwa dirinya justru baru saja menolong Maya dari tindak kekerasan. “Dan akulah yang dia fitnah. Kau pasti masih ingat, kabar aku keluar kerja. Lebih tepatnya aku dipecat karena pernyataan Bero itu,” tambah Pujo.

“Lantas mengapa kamu tidak berusaha meluruskan?” tanyaku.

“Pimpinan sudah telanjur membenciku,” jawab Pujo.

Pujo lantas menambahkan alasan mengapa dia tidak marah kepada Bero karena dia tidak ingin keadaan itu semakin ruwet. Pujo bilang, perasaan Maya-lah yang dia jaga. Sementara itu meski belum ada ketentuan Maya akan dipecat tapi dia merasa tidak enak hati terhadapku hingga dia ikut keluar. Justru Bero-lah yang aman, bahkan dia masih bertahan di sana.

“Lalu apa alasanmu merahasiakan kisah itu?”

“Tentu kau masih ingat point pertama aturan yang telah kita sepakati dulu. Bero melanggar itu. Dia merayu Maya, dan dia pula yang akhirnya membuat Maya bilang kepadamu tidak perlu kau tunggu. Aku tidak bisa membayangkan apa yang kau lakukan waktu itu jika aku mengatakannya kepadamu. Tentu saja akan berbeda jika akhirnya kukatakan sekarang, sepuluh tahun kemudian. Sudah lama sekali.”

Aku tidak menanggapi cerita Pujo. Tapi aku merasa ada yang berkecamuk di pikiranku. Aku hanya membatin bahwa Pujo salah besar. Tak perlu sampai menunggu hari berganti, bahkan selepas perbincangan itu aku langsung mencari Bero. Kupastikan Bero mampus di tanganku. Begitu Pujo mendengar kabar pembunuhan itu, dia menemuiku.

***

“Lantas, kau bilang apa kepada Pujo waktu itu?” tanya Sukmo.

Seusai aku menyalakan rokok, aku mengulangi persis perkataanku dulu, “Maaf, Jo. Aku tidak ingin kau jadi pahlawan.”***

 

 

Yuditeha, Penulis yang tinggal di Karanganyar. Pendiri Komunitas Kamar Kata.

Artikel ini telah dibaca 98 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Pemenang Lomba Menulis Cerpen Peringatan 100 Tahun AA Navis Taman Budaya Sumatera Barat Tahun 2024

3 October 2024 - 16:17 WIB

Cinta dan Benci

22 September 2024 - 20:39 WIB

Around the circle, by Wassily Kandinsky via Wikiart.org

Cerita Horor

20 September 2024 - 23:35 WIB

TC Cannon, The Ghost Figures via WikiArt.org

Ikan-ikan Menggelepar Lalu Mati

15 September 2024 - 07:18 WIB

Niko Pirosmani, Party by the River Tskheniszkali (fragment) via WikiArt

Penyewa Rumah yang Aneh

8 September 2024 - 02:35 WIB

TENGGELAM DALAM LUKISAN YANG KESEPIAN: SANTRI BERIKUT KEUNIKANNYA

26 August 2024 - 23:14 WIB

Sumber: Abdul Halim via Instagram
Trending di Buku