(Catatan Bandung Mawardi saat Pemutaran Film “Kala Nanti”
Minggu itu matahari cakep dan garang. Sejak pagi, panas sudah merangsang keluhan. Matahari tetap di situ: menatap kita dan dunia. Matahari itu turut teringat untuk peristiwa Minggu, 22 September 2024. Puluhan orang berkumpul di Omah Buku Bahagia, Kartasura, Jawa Tengah. Mereka sudah kencan sejak lama. Kumpul untuk bahagia.
Di luar, matahari memberi sinar memanasi tubuh dan mengesahkan keringat. Kami berada dalam rumah berumur tua. Karpet hijau digelar dan kipas angin berputar kencang. Ruangan itu berangin, memberi imajinasi kesegaran. Siasat berlindung dari matahari.
Teman-teman tuna netra perlahan berdatangan. Sekian orang mengaku sudah lama tak bertemu. Minggu itu hari bertemu dan lucu. Mereka membuat percakapan segala arah. Perkataan-perkataan agak sulit terdengar. Pemberi jawab agak berteriak. Tawa keras mereka membuat rumah itu “berkeringat”. Kumpulan kangen dan lelucon di atas karpet hijau.
Kejutan terjadi tanpa harus ada argumentasi serius. Seorang berseru: “Lagu dimatikan saja!” Di depan mereka, alat-alat untuk pemutaran film. Menit-menit menunggu kehadiran para penonton, disajikan lagu-lagu Bernadya. Di telinga, lagu-lagu cukup mengelabui hari “membara” dan melelahkan. Lagu demi lagu terdengar tapi tak bisa lama. Permintaan teman-teman itu mudah dimengerti tanpa debat. Mereka ingin bertukar kata. Mulut dan telinga dalam kesibukan penuh kehangatan dan keakraban tak ingin “disaingi” lagu-lagu diputar cukup keras.
Tema-tema keseharian milik mereka sambil mengenang hal-hal silam. Minggu dicipta teman-teman tuna netra belum memerlukan lagu-lagu. Pertemuan itu kata-kata. Mereka pun pemilik tawa termerdu ketimbang lagu.
Kami menikmati film berjudul Kala Nanti. Pilihan bersama di rumah, bukan gedung bioskop. Peristiwa (tak) biasa bagi teman-teman tuna netra berjejak di Teras Baca Difalitera (Solo). Film pendek dinikmati dengan gelas-gelas berisi teh dan es. Di atas karpet, wadah-wadah berisi kacang, kentang, sosis, dan lain-lain. Para penonton film tak haram makan dan minum. Bisik-bisik dan tertawa mengiringi menit-menit film.
Acara itu diselenggarakan Aranck Project, Mysanie Foundation, Omah Buku Bahagia, dan Teras Baca Difalitera. Kebersamaan agar Minggu tak cepat berlalu. Mereka ingin Minggu memberi kenangan bersama.
Rumah itu mula-mula tenang. Film menjadikan rumah menjadi wadah bicara dan kesibukan berpotret. Film pendek berjudul “Kala Nanti” dengan sutradara Pradhita Blifa tak sekadar dinikmati oleh teman-teman tuna netra. Mereka berlanjut dalam obrolan seru. Percakapan film mengikutkan biografi.
Di depan, duduk produser film bernama Intan Nadya Maulida. Kami mendengar sulit dan kejutan selama menggarap film. Pengisahan diberikan pula oleh Juliana Ira Astuti sebagai pemeran dalam film. Selama pengambilan gambar, Ira mengaku sulit dalam adegan menangis dan tertawa. Sekian siasat dilakukan agar tangis dan tawa itu bermutu. Di film, kami melihat Ira berperan sebagai Sri mewujudkan ingin: naik kuda dan berada di pantai. Remaja tuna netra itu membuktikan keberanian dan pengalaman menakjubkan. Ia berteman dengan Yanti (Scolastika N Valentin) bakal bergerak menuju Jakarta untuk kuliah. Sri dan Yanti bersahabat tapi kisruh gara-gara impian dan perpisahan.
Dua pemeran berbagi cerita kesulitan-kesulitan memainkan cerita dan peran. Sri tampil sebagai pemarah. Yanti ingin tabah dan mengukuhkan persahabatan. Segala pengakuan dan pengisahan mereka selama garapan film mendapat imbuhan dari Andi F Yahya selaku penulis skenario. Konon, cerita bertumbuh saat menggarap film. Skenario berupa braille pun dibuat dalam pematangan cerita.
Obrolan seru melengkapi film dibuat oleh teman-teman sudah lama kenal dengan Ira. Penggagas dan penggerak Difalitera bernama Indah Darmastuti membuka kenangan. Ia mula-mula mengenali Ira itu judes. Pada babak awal pertemanan, Ira itu susah bicara dan minder. Semua bisa berubah saat Ira berani tampil sebagai pembaca puisi dalam suatu acara. Ira perlahan dimengerti teman-teman untuk terlibat dalam lelucon keseharian.
Keberanian bermain film itu membuat teman-teman takjub. Ada teman berkelakar agar mencari spidol. Ia menganjurkan teman-teman memberikan kaki kepada Ira agar mendapat tanda tangan menggunakan spidol. Mereka bahagia mengetahui Ira menjadi bintang film. Tawa-tawa membuat obrolan makin berkeringat ketimbang raga diterpa sinar matahari.
Kebahagiaan tampak dari pengakuan Valen. Ia bahagia bisa main dalam film. Ia pun berucap agar bisa ikut olimpiade. Valen itu gemar yudo. Siang itu film dan keakraban teman-teman tuna netra mengesahkan Minggu ceria. Minggu di rumah tua untuk bahagia.
Keinginan tak terbendung dari teman-teman tuna netra: ingin membuat film. Sekian pengucapan dan pengharapan terdengar disambut tepuk tangan. Doa-doa disampikan dengan amin.
Pada saat obrolan seru terjadi, meja mulai dipenuhi dengan beragam wadah untuk nasi, lodeh, tahu, tempe, telur, bakwan, dan lain-lain. Peristiwa menikmati film dan obrolan diakhiri dengan makan bareng. Makan itu bukan sekadar menjawab lapar. Makan itu kebersamaan untuk teringat sepanjang masa. Begitu. (*)
Bandung Mawardi, Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah