Riuh rendah suara kepakan burung-burung di sekitar rumahku menandakan matahari sudah mulai memancarkan kehangatannya. Aku menimba air di belakang rumah dan bergegas menyiapkan bahan-bahan seadanya untuk dimasak. Aku bersyukur masih ada makanan yang bisa dimakan pagi ini untuk aku, adikku, dan ayahku meskipun sangat sederhana.
Ibu telah lama meninggalkan kami sejak usiaku masih 10 tahun. Meninggalkanku untuk mengurus berbagai keperluan rumah tangga, karena jika tidak, ayahku akan melempar apa pun di sekitarnya disertai sumpah serapah. Ahh apa mereka bilang? Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya, yahh mungkin cara ayahku mengekspresikan cintanya memang sedikit berbeda.
Delapan tahun berlalu sejak kematian ibuku karena serangan jantung, delapan tahun pula aku telah menjadi tulang punggung keluarga. Bekerja, mengurus rumah, merawat ayah yang sering mabuk, dan lainnya. Sekolah? Bahkan aku tidak mempunyai bolpoin dan kertas untuk menulis satu kata pun. Tidak masalah, toh itu juga tidak menghasilkan uang.
Sarapan kuletakkan di tengah rumah beralaskan tikar. Lalu, aku membangunkan adikku yang masih terlelap, dan kemudian ke kamar ayah. Tidak ada orang. Entah ke mana pria tua itu, mungkin keasikan mabuk dan lupa jalan pulang. Aku tidak peduli, aku harus bekerja hari ini. Pria tua itu juga akan pulang dengan sendirinya karena lapar. Aku bergegas mandi dan bersiap-siap sementara adikku sedang mengunyah nasi sisa kemarin dan masakanku tadi. Dia sudah beranjak remaja sekarang, sudah bisa bekerja. Tidak butuh waktu lama untuk aku bersiap-siap. Aku sudah siap berangkat.
“Dek, apa kau bisa bantu kakak hari ini? Bu Nita meminta kita membantu panen jagung di kebunnya.” ucapku.
“Aku belum tahu, hari ini aku masih membantu Pak Kasim di pasar mengangkut karung-karung beras.” jawab adikku
“Ya sudah, tidak apa-apa. Habiskan sarapanmu kau butuh banyak energi.” kataku.
“Kakak tidak sarapan?” tanyanya.
“Aku tidak lapar” jawabku..
“Baiklah. Ayah tidak pulang lagi semalam?” tanya adikku.
“Ya, kau seperti tidak hafal tabiat pria tua itu saja.”
Adikku hanya diam. Dia juga sudah terbiasa melihat tingkah laku ayahku yang sering tidak pulang karena kebanyakan minum. Hingga ia akan pulang sendiri karena lapar atau mendapat laporan dari warga sekitar ayahku sedang tepar di depan rumah warga, pos ronda, atau entah di mana yang kemudian aku harus menjemputnya pulang. Tentu saja dia tidak hanya nongkrong dan minum-minum saja saat malam, dia juga berjudi, ke sana lah uang yang kami kumpulkan dengan susah payah hilang tiada bekas.
“Kak, apa kau tidak membenci ayah?” tanya adikku tiba-tiba.
Aku yang tengah mengambil sepedaku di depan rumah terdiam. Lalu berbalik menatap adikku.
“Apa kau lupa perkataan ibu?” aku balik bertanya.
“Aku ingat, tapi aku tidak bisa berbohong dengan perasaanku.” jawab adikku.
“Aku harus berangkat sekarang.”
Sepeda ini pemberian Bu Nita. Beliau merupakan istri pemilik ladang jagung di desaku dan sangat baik kepada keluarga kami. Beliau sering memintaku membantu memanen jagung atau sekadar membantu menimbang jagung yang telah dipanen. Setelahnya beliau akan memberiku sebagian jagung-jagung itu bahkan bahan pangan lainnya untuk kubawa pulang. Sehari-hari aku bekerja sebagai buruh cuci di rumah Bu RT, sekaligus mengurus anaknya yang masih kecil. Aku senang melakukannya karena anaknya begitu lucu dan pintar.
Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak sehingga aku bisa pergi ke tempat Bu Nita untuk memanen jagung. Sesampainya di rumah Bu RT, beliau langsung mengizinkanku untuk mencuci baju. Aku tidak keberatan bekerja sebagai buruh cuci, mengingat saat kecil dulu aku senang bermain air. Aku mengikat rambutku yang masih terurai agar tidak mengganggu dan tidak ada rambut yang jatuh.
Aku teringat kata-kata adikku sebelum berangkat tadi. Benci. Aku tidak tahu apakah aku benci ayah atau tidak. Jika memang benar aku benci ayah sepertinya perasaan itu tertutupi dengan perkataan ibu bahwa bagaimana pun dia adalah ayahku. Aku harus menghormatinya. Sudah lama aku ingin melawan ayah tapi perkataan ibu terus terngiang di kepalaku. Ya, bagaimanapun dia ayahku, tak peduli seberapa banyak amukan, sumpah serapah, luka yang datang dari ayahku. Tak jarang ayahku menambatkan tangannya dengan kasar padaku. Mudah saja mengobati luka di tubuhku, namun luka yang menganga lebar jauh di dalam hatiku tak pernah dapat aku sembuhkan. Aku tak mengerti mengapa ibu tidak meninggalkan ayah sedari dulu.
“Nak, apa yang sedang kau pikirkan? Lihat air dari selang mengalir ke mana-mana!”
Seruan Bu RT membuyarkan lamunanku. Benar saja, air dari selang tumpah ruah dari ember hingga membuat banjir tempat aku mencuci. Aku segera mematikan keran airnya.
“Maaf bu, akan saya bereskan.”
“Iya nak, tidak apa-apa. Kau bisa istirahat dulu kalau kelelahan,”
“Iya bu.”
Baru saja aku akan membereskan tempat cucian yang banjir, di depan rumah Bu RT terdengar suara kegaduhan. Samar-samar aku mendengar namaku disebut. Ada apa?
“Nak, cepatlah kemari!” Bu RT berseru memanggil.
“Baik, Bu” jawabku sedikit berteriak.
Aku cepat-cepat menghampiri Bu RT. Apa ayah ditemukan sedang terkapar di depan rumah warga karena mabuk berat? batinku.
Tidak. Kali ini bukan warga yang mengabariku kalau ayah terkapar sembarangan karena mabuk berat. Ini ayah. Ayah sendiri yang sedang berdiri di hadapanku. Rambut acak-acakan, kaos lusuh, dan bau alkohol menyelimuti ayahku.
“Ibu permisi, Nak.” ucap Bu RT.
Aku hanya menangguk. Masih menatap datar ayahku.
“Kau! Berikan aku uang!” Bentak ayah.
“Aku tidak punya uang.” aku balik berkata tegas.
“Tidak usah berbohong kau anak tidak berguna! Berikan uangmu sekarang!” Bentak ayah semakin meninggi.
“Kau yang tidak berguna! Aku juga tidak memiliki uang sekarang!” Emosiku memuncak.
“Berani kau berkata seperti itu padaku, mau kutampar kau, Hah!” tangan ayahku sudah bersiap mengangkat tangannya padaku. Tetapi tubuhnya yang sempoyongan tidak mampu melakukannya.
“Tampar saja, aku tidak peduli!” tanganku terkepal erat.
“Kau bahkan tidak sanggup mengangkat tanganmu sendiri!” kepalan tanganku semakin erat, menahan cairan di pelupuk mataku.
“Aku muak melihatmu!” satu tetes lolos dari mataku.
“Omong kosong!” Ayah mencondongkan tubuhnya ke arahku hendak melayangkan pukulan kepadaku. Aku sudah siap menerimanya.
“Cukup, Pak! Kau sudah keterlaluan dengan anakmu sendiri!” Suara itu datang dari Pak Kasim. Entah bagaimana beliau bisa ada di sini. Aku yang masih terkejut ditarik masuk oleh Bu RT ke dalam rumah, menjauhkanku dari ayah. Beliau mengajakku duduk di kursi ruang tamu dan menggenggam tanganku berusaha menenangkan.
“Ayahmu sudah keterlaluan, Nak. Warga berencana membawa ayahmu ke pihak berwenang, apa kau keberatan, Nak?” melihatku sudah mulai tenang beliau berkata demikian.
Aku hanya mengangguk kemudian beliau memelukku. Aku balas memeluknya erat tangisku pecah. Aku merasakan Bu RT memberi kode bahwa aku menyetujui jika ayah akan dibawa pergi. Keributan di luar rumah lama-lama reda. Sepertinya mereka berhasil membawa ayah pergi. Pikiranku masih kacau. Kepalaku terasa sangat berat. Samar-samar aku mendengar penjelasan Bu RT bahwa ayah sudah menemui adikku terlebih dahulu di tempat Pak Kasim lalu setelahnya perkataan Bu RT hilang dari pendengaranku.
Terasa seperti mimpi, aku melihat ayah memukulku berkali-kali di hadapan adikku yang masih kecil dan sedang meringkuk ketakutan di belakangku. Tidak berani mengeluarkan suara sedikitpun di tengah tangisnya. Lalu, aku merasakan bahuku di tepuk oleh seseorang. Aku tersadar.
“Kak, apa kau sudah sadar?” ternyata itu adikku.
Aku membuka mata perlahan dan berusaha duduk.
“Ya.” Aku menjawab singkat. Kepalaku masih terasa berat. Lalu, tiba-tiba adikku memelukku hangat.
“Kau kenapa?” tanyaku bingung.
“Ayah sudah pergi,” ujar adikku. Ya, aku sudah mengetahuinya, warga membawa pria tua itu dari rumah ini.
“Selamanya,” lanjut adikku.
Kesadaranku telah kembali sepenuhnya. Apa yang kudengar barusan membuatku terkejut. Namun, entah kenapa ada perasaan lega di dalam sana. Perasaan yang tidak pernah aku rasakan selama ini ketika ditinggal ibu dan harus tinggal bersama ayah. Aku membalas pelukan adikku erat.
Apa aku membenci ayahku? Sepertinya aku sudah mengetahui jawabannya sekarang. Ya, aku membenci ayahku. (*)
Ratu Rania. Lahir di Surakarta, 19 April 2004 dan masih setia menetap di kampung halaman hingga saat ini. Sedang menempuh pendidikan srata satu program studi Psikologi berkat kecintaannya pada dunia kesehatan mental.