Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Opini · 21 Sep 2024 00:06 WIB ·

Murid dan Kamus


 WikiArt.org Perbesar

WikiArt.org

WikiArt.org

WikiArt.org

 

Pada masa Orde Baru, buku-buku turut menentukan pembentukan manusia selaras dengan misi-misi pembangunan nasional. Buku-buku tak sekadar bacaan. Murid-murid diajak menjadi pembaca. Mereka dianjurkan mengerti bahasa Indonesia dan berusaha menjadi manusia Indonesia. Dulu, anjuran itu mengarah “seragam” dan memiliki “satu” kiblat.

Buku-buku mengantarkan bahasa Indonesia. Murid-murid di kota dan desa “menikmati” bahasa Indonesia sesuai kepentingan dan perintah. Di hadapan buku-buku pelajaran atau bacaan, para murid mengerti sedang menjadi pembaca dalam lakon belajar. Mereka diminta bergairah dan tabah. Pemerintah ingin mereka pintar, bukti kemajuan pendidikan di Indonesia.

Kita teringat buku dari masa lalu terbitan Departemen P dan K – Balai Pustaka. Buku mengingatkan kata dan gambar. Kita mulai membuka buku berjudul Bahasa Indonesia 1a: Belajar Membaca dan Menulis (1976). Di halaman-halaman awal, murid kelas 1 SD menikmati gambar-gambar. Kehadiran kata masih sedikit. Mereka dibiasakan mengetahui “ini” dan “itu”. Ingatan terkuat dari buku: nama. Murid sering membaca nama: budi, iwan, wati. Murid-murid di seantero lekas mengenal nama-nama dalam buku. Nama paling terkenal pasti “budi”. Deretan kata masih tersimpang di ingatan: ini budi, ini ibu budi, ini bapak budi, ini kakak budi, ini adik budi.

Kita lanjutkan membaca buku berjudul Bahasa Indonesia 1b: Belajar Membaca dan Menulis (1976). Murid di desa tak terkejut. Di halaman 1, gambar dua kerbau. Bocah menunggang kerbau. Ia mengenakan topi dan memainkan seruling. Pemandangan indah berlatar desa.

Di halaman 2, gambar tiga kerbau. Murid perlahan diajak membaca: itu kerbau, itu kerbau pak madi, kerbau pak madi tiga ekor, kerbau pak madi gemuk dan besar. Pengetahuan tentang kerbau, tak sekadar menggoda murid-murid sanggup membaca kata-kata dalam bahasa Indonesia. Gambar itu tak lagi laris pada masa sekarang. Kerbau mungkin sudah binatang langka. Murid-murid jarang melihat saat berada di sawah. Kerbau “mustahil” menjadi penghuni kebun binatang.

Murid-murid mulai mendapat kalimat-kalimat membentuk cerita. Mereka masih bersama huruf-huruf kecil. Kita ikut membaca agar seperti murid masa lalu: di halaman sekolah ada taman/ tiap pagi kami menyiram taman/ di belakang sekolah ada kebun/ kebun itu ditanami ubi dan kacang/ kami membuat pagar bambu/ kebun itu tidak diganggu binatang. Kita mengandaikan murid-murid bisa membedakan taman dan kebun. Sekolah itu milik murid-murid masa lalu. Pada abad XXI, kita sulit menemukan sekolah memiliki taman dan kebun.

Kemampuan membaca dan menulis bertumbuh saat di SD. Di kelas-kelas berbeda, isi buku mengalami peningkatan dalam masalah bahasa dan pengetahuan. Murid-murid mengingat kelas satu itu awalan dari petulangan bahasa (Indonesia). Mereka naik kelas bertambah kata. Mereka pun berhak dalam permainan makna. Pada saat menikmati buku-buku pelajaran atau bacaan, murid-murid kadang memerlukan membuka kamus-kamus. Mereka ingin mendapat pengertian, menumpas keraguan dan kebodohan. Pada masa lalu, kamus-kamus dianggap penting.

Pada 1952, terbit Kamus Saku Bahasa Indonesia susunan Reksosiswojo, Sutan Muhammad Said dan A Sutan Pamuntjak. Kamus bisa digunakan murid-murid di kelas V dan VI SR. Kamus berguna saat murid-murid belajar bahasa Indonesia dalam masa perkembangan awal setelah penetapan dalam UUD 1945. Bahasa Indonesia sedang berkembang menjadi bahasa modern dan bahasa keilmuan.

Di halaman 30, “darmawisata” berarti “piknik” atau “bertamasja”. Penamaan “darmawisata” itu mengesankan rujukan dalam bahasa-bahasa lama. Pada masa Orde Baru, “darmawisata” masih diketahui murid-murid, sebelum istilah-istilah baru berdatangan. “Tamasja” lekas “menghilang” dari ingatan muri-murid saat memihak istilah-istilah dalam bahasa Inggris.

Kita agak terkejut jika menjadi murid masa lalu membuka kamus lawas. Di halaman 75, “politik” diartikan “ilmu tatanegara, tjara jang tjerdik, tipuan halus.” Pada masa berbeda, melek politik itu menjadi ajakan agar orang-orang mengerti nasib Indonesia. Ajakan itu mungkin menggunakan pengertian berbeda dari Kamus Saku Bahasa Indonesia. Dulu, murid-murid pernah memahami jika politik itu berurusan dengan “tipuan halus”.

Pada masa Orde Baru, murid-murid mendapat “kewajiban” belajar bahasa Indonesia. Konon, mereka bakal menjadi manusia Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dengan pemahaman bahasa Indonesia. Pelajaran di sekolah justru dijadikan perwujudan “tertib” berbahasa Indonesia. Murid-murid mungkin tak terlalu curiga ideologis. Buku-buku pelajaran mendapat sokongan pidato-pidatomengandung masalah bahasa dalam mengukuhkan rezim Orde Baru.

Murid-murid mengetahui bahasa Indonesia bertumbuh. Mereka mulai mengucap dan menulis beragam kata atau istilah (baru) saat dunia memang berubah. Indonesia pun berubah. Murid-murid diminta bangga berbahasa Indonesia tapi tergoda bahasa asing (Inggris). Di sekolah, pengetahuan bahasa Indonesia masih berlaku tanpa keharusan setiap murid memiliki kamus. Hal lumrah terjadi: Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jumlah sedikit berada di perpustakaan atau di atas meja guru. Murid-murid mengetahui Kamus Besar Bahasa Indonesia tapi tak akrab.

Keruntuhan rezim Orde Baru agak berpengaruh dalam perkembangan bahasa Indonesia. Di sekolah dasar, perubahan tak terlalu terjadi. Murid-murid terus belajar bahasa Indonesia saat kamus-kamus istimewa berdatangan untuk menggoda. Pada 2001, terbit Kamus Sekolah Dasar 3 terbitan Grasindo. Kamus disusun tim dengan penanggung jawab Frans M Parera. Kamus cukup tebal tapi gamblang tampil berbeda dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Di halaman awal, penjelasan penting terbaca: “Kamus Sekolah Dasar ini merupakan salah satu perangkat sarana pengajaran yang selama ini sangat diharapkan kehadirannya oleh guru-guru dan murid-murid di sekolah dasar. Sampai dengan saat kamus ini diterbitkan belum ada kamus khusus untuk sekolah dasar yang terbit. Untuk itu, selama ini apabila guru merasa memerlukan definisi sebuah kata, guru terpaksa harus membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kadang-kadang sukar ditangkap dengan cepat makna yang dibacanya.”

Kamus jilid 3 digunakan untuk murid-murid kelas 5 dan 6 di sekolah dasar. Kita membuka untuk mengetahui khasiat kamus. Di halaman 84, demonstrasi berarti “memperlihatkan sesuatu kepada orang lain, seerti cara mengerjakan suatu kegiatan, dan sebagainya.” Kita membaca sambil membuka ingatan bertema 1998. Pada masa menjelang dan setelah keruntuhan Soeharto, demonstrasi diadakan di pelbagai kota. Penggunaan istilah demonstrasi dalam berita, opini, atau percakapan kaum dewasa berbeda dengan pengertian untuk anak-anak. Contoh kalimat dalam kamus: “Anak-anak menyaksikan demonstrasi cara memadamkan kebakaran.” Demonstrasi tak lekas berkaitan kekuasaan.

Ikhtiar memajukan bahasa Indonesia di SD terus diselenggarakan pemerintah dan pelbagai pihak. Pada 2003, terbit Kamus Bahasa Indonesia: Sekolah Dasar susunan tim dengan pimpinan D Sugono, Kamus diterbitkan Pusat Bahasa dan Gramedia Pustaka Utama: kerja sama pihak pemerintah dan penerbit komersial. Kamus itu agak “sombong” dalam peran. Penjelasan diberikan: “Kamus memuat kumpulan ilmu pengetahuan yang tersimpan dalam kata-kata.”

Di halaman 227, milenium diartikan “masa atau jangka waktu seribu tahun.” Dulu, istilah itu laris digunakan dalam berita. Orang-orang pun mudah mengerti milenium. Mereka berada di arus zaman berbeda setelah abad-abad berganti. Murid-murid di SD mengetahui abad, ditambah pengertian milenium.

Dua kamus untuk murid-murid SD terbit pada abad XXI mungkin tinggal kenangan. Kini, lakon hidup terlalu berubah. Murid-murid tak terlalu mementingkan kamus-kamus cetak cepat kedaluwarsa. Pemerolehan kata dan petualangan bahasa mereka makin seru dengan gawai. Mereka mengalami “badai kata” tapi tanpa kewajiban mengetahui definisi-definisi berpamrih “ilmu pengetahuan” seperti dianjurkan pemerintah. Begitu.

Bandung Mawardi, saudagar buku dan menulis di berlimpahiklan.blogspot.com

Artikel ini telah dibaca 49 kali

Baca Lainnya

Beberapa Kesalahan Penulis dalam Mengirim Naskah ke Media

24 September 2024 - 01:12 WIB

WikiArt.org

Demokrasi Tinggal Dekorasi, Rumah Tangga Politik RI Dijajah Hipokrisi

13 September 2024 - 22:30 WIB

City View by Van Gogh via Wikiart.org
Trending di Budaya