Pukul 05 pagi ketika itu, beruntung sekali ternyata pedagang lontong langgananku sudah buka. Di sana, biasanya aku selalu memesan lontong kuah cubadak dengan tambahan kikil sapi yang sangat mantap di lidah. Agar seru, tak lupa aku memesan segelas teh hangat.
Setelah selesai makan dan merokok beberapa batang, ternyata dompetku tertinggal di rumah. Wajah ibu pedagang lontong itu berubah seperti setan. Aku beristighfar beberapa kali, dan tidak mempan. Wajahnya merah, seperti berapi-api, matanya melotot seakan-akan ingin menjadikan aku sebagai salah satu bahan untuk memasak lontong. (*)