Ikan-ikan kecil terombang-ambing di toples. Bila suara mereka menembus telinga manusia, aku yakin ikan- ikan kecil itu ingin membentak Si pemancing dan Jion. Si pemancing sedang berusaha merebut toples dari Jion dengan menarik kuat bibir toples. Jion tak terima begitu saja. Terjadilah di antara keduanya, tarik menarik toples berisi ikan-ikan kecil. “Ini punya kami!” Melihat kawannya tak kunjung mendapatkan toples, Lino turut membantunya. “Berhenti menjaring ikan-ikan kecil!” tukas Si pemancing.
Lino tak berani menatapku begitu aku menegurnya yang sedang berkonsentrasi membantu Jion merebut toples itu. Toplesnya mencelat. Ketiganya kaget mendengarku berteriak. Ikan-ikan kecil menggelepar-gelepar di tanah, Si pemancing meraihnya. Di atas telapak tangannya, Si pemancing menyaksikan sakaratul maut ikan-ikan.
“Kalian membuatnya mati lagi,” ucap Si pemancing.
Kali ini aku tidak sekadar menasihati Lino. Lino harus diajarkan sayang binatang sejak kecil. Aku sepakat dengan pemancing itu. Anak kecil harus diberi teguran bila keinginannya merugikan ciptaan Tuhan. Apa saja, tidak hanya manusia. Aku tahu, saat ini Lino sedang menahan sensasi panas dari sabetan ruas daun pisang dan jeweran beberapa detik yang kuberikan di telinga kirinya. Aku sudah mempertimbangkan hukuman ini. Sesudah laporan dari pemancing tentang ulah Lino dan Jion beberapa hari lalu kuterima.
“Om ini tidak tahu, kami memang menangkap ikan, tapi tak membiarkannya mati.”
Seharusnya aku percaya pada Lino dan Jion, karena siapa pun akan setuju jika anak kecil adalah seseorang yang tak diragukan akan kejujurannya. Namun saat ini aku punya alasan memercayai pemancing itu ketimbang Lino dan Jion. Pertama, Lino lampau sering membohongiku. Kedua, aku melihat sendiri apa yang Jion dan tentunya Lino lakukan barusan dengan toples berisi ikan kecil itu. Aduan sang pemancing tempo hari, terbukti siang ini. Ibu mertuaku waktu itu bilang, wajar, bocah lanang. Tapi, aku tidak bisa sepakat dengan ibu mertua, anak lelaki harus dididik agar ketika dewasa kelak ia tak seenaknya. Fitrahnya, lelaki mana pun adalah pemimpin. Pemimpin harus jujur. Tidak boleh bicara semanis gulali pun dengan ibunya jika kenyataannya tidak ada.
“Serius, Ma, Lino dan Jion pasti melepaskan ikan-ikan kecil itu lagi. Tak sampai mati. Kami hanya suka menangkapnya.”
Aku menarik lagi telinga Lino dan menahannya sampai dia bilang yang sebenarnya. Pemancing di sampingku hanya menggeleng kecil. Dia harus tahu bila aku ibu yang benar-benar mendidik.
“Aw Ma, sakit, Ma.”
Pemancing itu bilang tempo hari, Lino dan Jion tak ubahnya bocah yang tak punya kapok. Pemancing itu sudah menegurnya dengan bahasa semestinya orang dewasa pada anak kecil, tapi Lino dan Jion tak menggubris. Pemancing itu agak membentaknya dalam menegur ala seorang guru kepada murid, Lino malah meludahi kaus Si pemancing. Kemudian mereka lari dan pemancing itu memaafkan. Namun esoknya, kegiatan yang dilarang pemancing itu diulang mereka lagi. Mereka dengan terbahak-bahak mengamati ikan-ikan kecil yang menggelepar di tanah, dan menguburnya di tempat ketika ikan emas kecil itu akhirnya mati.
“Om ini tidak tahu, Ma. Ikan itu tak sampai mati.”
Aku makin menarik telinga Lino hingga ia berjinjit kesakitan. Lino menangis juga. Jion yang mematung, kini kabur ketakutan.
“Iya Ma, iya. Jion tidak akan membuat ikan-ikan itu mati lagi. Jion janji.”
Setelah kulepas tanganku dari telinga Lino, kulihat alir darah di telinga itu kembali normal meski pasti rasa sakitnya belum pulih benar. Hatiku perih sebenarnya. Namun itu semua adalah buah dari perilaku Lino. Anak lelaki harus bertanggung jawab dengan perbuatannya.
“Pulang!” bentakku. Lino berlari meraih sepedanya dan lenyap dari pandanganku.
Kini tinggal aku dan pemancing ini. Kami canggung. Ini pertemuan kami kembali setelah kami memutuskan menikah dengan pasangan masing-masing.
“Kau masih sama Sati. Tegas. Kau perempuan yang hebat tak seperti ….”
“Aku pamit. Aku harus memastikan anakku benar-benar pulang, terima kasih telah mengawasi Lino.”
Aku dan Si pemancing sudah lama tak berkabar. Beberapa hari ini saja dia berani mengirimiku pesan bahwa dia bertemu Lino. Dia kaget Lino anakku. Memang, dulu aku bilang padanya aku tak akan mau punya anak dengan pria yang tak kucintai. Namun semua bisa berubah, kan. Aku tidak bisa menolak lebih jauh takdir yang membawaku hidup.
Meninggalkan Pemancing itu sebenarnya sangat berat. Aku rasa, banyak sekali sesuatu yang perlu kami obrolkan.
Sampai rumah, sepeda Lino tidak terlihat di halaman. Aku masuk, melihat ke dalam rumah, samping, hingga belakang rumah, tidak ada sepeda Lino juga pemiliknya. Bocah itu pasti berbohong lagi. Jelas saja dia tak langsung pulang. Lino pasti menyusul Jion dan pulang ketika surup tiba.
Pintu kulkas kubuka. Gurame yang sudah kurendam dengan air rempah sejak setengah jam tadi, kumasukkan satu per satu dalam penggorengan ketika asap telah mengambang di udara. Ini ikan kesukaan Lino. Setelah aku marah-marah kepadanya, tak ada salahnya aku menebus kesalahanku dengan memberikan satu gurame utuh, sedang untukku cukup kepalanya saja. Pasti anak itu tidak sedih lagi. Usai menggoreng gurame, kuputuskan untuk mencari Lino. Matahari sudah menukik ke barat, segera aku memacu motor lagi ke rumah Jion.
Di sana, seorang perempuan tua mengatakan Jion dan Lino sudah pergi ke sungai sejak tadi. Aku menahan amarahku. Mungkin setelah ini, aku akan menghukum Lino dengan memberinya sangsi yang lebih tegas agar anak lelakiku itu jera.
Dari jauh, lamat-lamat kulihat dua sepeda milik Jion dan Lino teronggok di pinggir sungai. Kaus keduanya tersampir di sana. Aku mulai cemas. Di sungai tak ada siapa-siapa.
“Ayo cepat Paklik, cepat!” suara Jion diikuti suara beberapa lelaki mendekati sungai.
Wajah mereka memucat melihatku berdiri di pinggir sungai. Tiga orang yang datang, dua di antaranya langsung berenang.
“Jion, di mana Lino?”
Jion mundur ke belakang Pak Karman, Pak Karman tampak gugup melihatku.
“Bu Sati, ibu tunggu di sini ya. Samsul dan Bahli sedang berusaha membawa Lino ke daratan.”
Mulut kecil Jion bersuara lirih. Aku menyebutnya suara bocah yang melawan rasa takutnya. Jion mengatakan, Lino menolak ajakan Jion mencari ikan-ikan kecil itu lagi. Ia takut aku menjewer telinganya lagi. Kemudian, Jion mengajaknya balapan renang. Mendengarnya, tanganku telah mencengkeram lengan Jion. Tangis Jion meledak. Pak Karman menenangkanku dan meminta memaklumi hal yang dilakukan seorang bocah.
Aku berusaha menuruti Pak Karman, tetapi tiba-tiba aku melihat Lino digendongan Bahli dan Samsul di belakang mereka, memegangi tubuh Lino. Badanku lemas. Lino diturunkan ke daratan. Tubuhnya menggelepar-gelepar seperti ikan-ikan kecil yang di telapak tangan Si pemancing saat Bahli berusaha menekan-nekan dadanya. Telinga Lino masih sedikit merah. Aku membisikinya agar cepat bangun. Ada gurame goreng rempah baru matang yang harus dia makan sebelum dingin. Namun Lino tak dengar. Sampai aku berteriak sekuat tenaga di telinganya dia tetap tidak dengar. Wajah Lino mendadak buram lalu seluruhnya gelap. (*)
Solu Erika Herwanda, Mahasiswi yang lahir dan tinggal di Madiun, di Ponorogo kuliah saja. Beberapa cerpennya bisa dibaca di Lensasastra.id, Matamata.co, Cerpen_Sastra, Ngewiyak.com