Semua orang ingin dinilai paling baik di depan publik, suatu bentuk pemeliharaan citra positif yang kita kenal dengan pencitraan. Akan tetapi, Dalam membangun suatu citra positif, seringkali seseorang bermain dalam lakon hipokrisi, kepura-puraan, lain di muka, lain di belakang. Tentu merupakan hal yang sudah tidak asing lagi di ranah perpolitikan RI. Bahkan, Mochtar Lubis, dalam pidatonya tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pernah mengungkapkan enam ciri-ciri orang Indonesia. Namun, dari keenam ciri-ciri tersebut, ciri dari yang pertama ialah; hipokrit atau munafik.
Teater hipokrisi di ranah perpolitikan tidak lagi menjadi tontonan yang aneh. Sudah umum-umum saja. Rakyat saat ini merupakan penonton setia teater hiprokit mengenai isu “tiga periode” kepemimpinan Jokowi. Hal yang terus dibantah oleh Jokowi, hingga “tiga periode” menguap dengan beralihnya isu putra tertua Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai Cawapres. Bahasa kerennya politik dinasti. Isu tersebut sempat memanas, seusai putusan Mahkamah Konstitusi, yang menurunkan usia pencalonan presiden, minimal 40 tahun. Namun, seseorang berusia di bawah 40 tahun bisa mengikuti pencalonan Capres atau Cawapres, asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu.
Keputusan kontroversial tersebut tentu saja memicu berbagai pro-kontra di kalangan masyarakat. Terlebih ketua dari Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, merupakan adik ipar Jokowi dengan kata lain paman Gibran sendiri. Masyarakat menilai keputusan tersebut hanyalah ditujukan sebagai kepentingan politik sang putra presiden, agar jalan menuju bakal Cawapres menjadi mulus.
Drama perpolitikan di Indonesia memang layaknya opera sabun. Hal yang muskil bahkan fiksi sekalipun normal saja terjadi. Kekuasaan memang memabukkan, meninabobokkan nilai-nilai yang semula ada. Oleh karena itu, orang-orang bertindak hipokrit, ingin terlihat manis di depan, agar terlihat sebagai yang paling baik, paling benar, paling bagus.
Sesungguhnya kita ialah budak demokrasi, penonton teater hipokrisi pemerintah paling setia. Di satu sisi, pemerintah bicara perkara pemberantasan korupsi, pemerataan ekonomi, dan keadilan sosial. Di sisi lain, kasus-kasus korupsi tetap marak, ketimpangan ekonomi semakin lebar, dan keadilan sosial hanya menjadi slogan. Pemilihan umum yang katanya merupakan pesta demokrasi merupakan ajang mengumbar janji-janji kosong yang diwarnai dengan politik uang. Jadi, tidak perlu heran jika pejabat publik mengkampanyekan transparansi, akuntabilitas, dan pemberantasan korupsi. Namun, pada kenyataannya terlibat dalam praktik korupsi, menerima suap, dan menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
Sesungguhnya, kita ialah saksi yang menyaksikan negara berkoar-koar mendeklarasikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berbicara, tapi disisi lain negara menekan dan mengkriminalisasi aktivis, jurnalis, atau oposisi politik yang mengkritik pemerintah. Mulanya memang pemerintah berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan, akan tetapi yang jusrtu yang terjadi adalah pemberian izin kepada perusahaan untuk melakukan kegiatan merusak lingkungan, seperti deforestasi, atau penambangan yang tidak berkelanjutan.
Pemerintah memang senang bersandiwara di depan rakyat, di depan rakyat mengklaim bahwasanya pendidikan dan kesehatan adalah prioritas utama. Namun, pada nyatanya anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan dipotong, UKT dinaikkan, sementara anggaran untuk sektor-sektor yang kurang penting bagi kesejahteraan masyarakat malah ditingkatkan. Hukum yang katanya ditegakkan secara adil dan merata hingga sekarang masih bias. Oknum-oknum dengan koneksi politik dan ekonomi yang kuat sering kali lolos dari hukuman, sementara rakyat biasa mendapatkan hukuman berat untuk pelanggaran yang sama.
Kemunafikan dan kepura-puraan ini telah menghantarkan republik ini pada berbagai macam polemik yang kompleks. Hal tersebut, tentu akan merusak nilai sila ketiga pancasila, yakni persatuan Indonesia. Hipokrasi juga dengan tegas merusak integritas dari demokrasi. Demokrasi menjunjung tinggi transpasi, kejujuran, dan akuntabilitas. Ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan merusak nilai demokrasi itu sendiri, sehingga menghalangi upaya untuk mencapai keadilan sosial dan pemerintahan yang lebih baik. Lebih dikhawatirkannya lagi demokrasi nantinya hanya akan tinggal dekorasi. (*)
Salwa Ratri Wahyuni, lahir di sebuah kota kecil di Riau, pada pertengahan tahun 2005, saat ini merupakan mahasiswa program studi Sastra Indonesia, Universitas Andalas.