Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cerpen · 8 Sep 2024 02:35 WIB ·

Penyewa Rumah yang Aneh


 Penyewa Rumah yang Aneh Perbesar

Semua bermula ketika sebuah mobil avanza warna hitam yang menyilaukan mata memasuki pekarangan rumah saya. Berhenti tepat di bawah pohon jati yang tingginya sekitar  lima meter. Si sopir turun dari mobil dan berbalik ke arah pintu belakang. Ia  membukakan pintu. Seorang lelaki tambun berusia sekitar 50 tahun kemudian turun dari mobil. Dia mengenakan kemeja putih, bercelana hitam dan bersepatu hitam. Warna bajunya serasi sekali dengan kulitnya yang kuning langsat. Tapi perutnya terlalu besar untuk ukuran bajunya, sehingga kemeja itu terdesak ke depan dan kencing bajunya seperti hendak copot.

“Selamat siang,” sapanya.

Saya berdiri, ”selamat siang juga, ada yang bisa saya bantu?”

“Apakah rumah ini masih disewakan?”

“Masih Pak, belum ada yang sewa. Itu papannya masih dipajang,” tunjuk saya ke  arah pagar rumah yang berada di pinggir jalan raya, tempat iklan sewa rumah saya pajang.

“Kalau begitu, saya sewa rumah ini ya.”

“Baik Pak.”

“Harga sewa tak perlu kita bicarakan lagi. Saya bayar terus ya. Tunai,” terangnya

Si sopir berbadan kurus dengan wajah cekung itu membuka tas yang dipegangnya dan mengeluarkan seikat uang.

“Ini uangnya  dua puluh juta untuk sewa rumah ini selama satu tahun. Oh ya, mungkin besok barang-barang sudah dibawa kemari.”

Dia menjulurkan tangan sembari memberikan uang itu dari sopirnya kepada saya. Seketika itu juga lelaki tambun itu membalikkan tubuhnya dan pergi.

“Maklum, orang penting. Banyak urusan,” ujar si sopir tersenyum lalu mohon izin pergi dengan terburu-buru.

Tentu saya  maklum, dan tak berpikir, jika lelaki itu tidak sopan. Bukankah semua orang penting di kota ini menjadikan waktu begitu berharga?  Sampai-sampai lupa menyebutkan nama. Bahkan mungkin sangat berharga, melebihi harga nilai kesopanan dan kepatutan.

Saya masih sempat menatap lelaki itu sebelum ia memasuki mobilnya kembali. Ia berwajah tampan. Beralis lebat. Dan tentu badannya tidak terlalu besar tetapi  berperut besar. Saya pikir tubuhnya banyak sekali mengandung lemak. Mungkin jadi ia sangat malas berolahraga untuk mengecilkan perutnya itu. Atau, hidupnya terlalu mewah dengan makanan yang mewah pula, pikir saya.

***

Menjelang sore,  sebuah truk kayu memasuki pekarangan rumah saya. Di dalam truk itu berisi berbagai barang rumah tangga: ada kursi, meja, almari, kulkas dan perabot lainnya yang tertutup kardus. Di belakang truk kayu itu, sebuah mobil yang kemarin membawa lelaki berperut besar itu juga menyusul.

“Ini adalah istri tuan bos saya, dan dua orang ini adalah anaknya. Pesan beliau, hari ini keluarganya sudah bisa tinggal di sini,”ujar sopir itu.

Saya lantas mempersilahkan mereka masuk, tentu sebelumnya saya masih sempat mengucapkan selamat menikmati tinggal di rumah saya kepada perempuan yang sedang hamil itu. Dan kepada dua anak kecil yang saya tafsir berusia sekitar sepuluh dan lima belas tahun itu, tak henti-henti saya terkagum-kagum pada postur tubuh mereka yang besar. Dan, ah, perut mereka juga besar. Mereka, pikir saya, benar-benar keluarga yang sangat berbahagia dan sejahtera.

***

Si sopir itu, yang akhirnya saya tahu bernama Samir, ternyata masih lajang. Dan karena ia belum berumah tangga, ia diberikan satu kamar oleh tuannya di rumah saya itu. Jika  telah selesai dengan segala tugasnya, ia seringkali menjumpai saya yang duduk di depan rumah. Dan dari sinilah, segala muasal cerita, atau gosip keluar dari mulutnya.

“Jadi, semua sopir Tuan Nabil setelah bekerja dengannya juga mengalami perut besar?” Tanya saya.

“Ya, katanya sih. Itu terjadi setelah satu bulan bekerja. Tepatnya setelah menerima gaji pertama. Tapi saya tidak percaya. Mana tahu mereka itu iri karena saya mendapatkan pekerjaan ini.”

“Memangnya apa pekerjaan Tuan Nabil?”

“Pejabat. Ya, pejabat  perpajakan gitu. Pokoknya jabatannya tinggi. Banyak yang bilang jika Tuan Nabil korupsi di kantorya sehingga ia dan istrinya serta anaknya memiliki perut besar yang kelihatannya aneh.”

“Maaf, apa istrinya itu tidak hamil? Tanya saya.

“O, tidak. Ia tidak hamil, nampaknya saja hamil.”

“Kalau boleh tahu, apa mereka tidak memiliki rumah di kota ini sehingga menyewa rumah?”

“Punya, Tuan Nabil memiliki rumah di perumahan elit. Rumahnya besar dan mewah. Tapi tetangga nampaknya memandang mereka dengan sinis karena mereka memiliki perut besar. Tuan Nabil dan keluarganya risih sehingga memutuskan menyewa rumah.”

“Mungkin itu karena pola makan keluarga itu yang berlebihan dan banyak mengkonsumsi lemak, sehingga membuat mereka memiliki perut besar,” tebak saya.

“Tidak, saya pernah mengantarkan Tuan Nabil ke klinik.  Hasilnya sangat mengecewakan beliau. Katanya, dokter di klinik itu tidak tahu kenapa perut Tuan Nabil membesar. Tuan Nabil kecewa karena semua dokter yang didatanginya selalu angkat tangan perihal perutnya yang membesar.”

“Apa ada hubunganya orang korupsi dengan perut besar?” Tanya saya.

“Saya tidak percaya?”

“Kenapa?”

“Ya, tidak. Karena saya belum mengalaminya toh. Apalagi saya butuh pekerjaan. Saya butuh uang, meski lajang. Ini zaman sulit Pak. Saya tidak peduli pada mereka yang menebak-nebak saya, bahwa saya juga akan mengalami perut besar seperti sopir-sopir Tuan Nabil terdahulu. Saya meyakini bahwa mereka iri pada saya.”

“Mungkin perlu dukun kampung,” kata saya spontan.

“Ha, ya, ya, dukun kampung. Apa bapak tahu ada dukun kampung di sini?”

“Ada. Bapak Mustajab. Dukun kampung. Rumahnya dekat sini. Saya kenal beliau.”

“Akan saya kasih tahu Tuan Nabil. Dia pasti senang,” ujarnya.

***

Lelaki yang bernama Mustajab itu, di  daerah  saya sudah tidak asing lagi namanya. Beliau dikenal sebagai dukun serba bisa. Banyak pasiennya yang datang dari berbagai tempat. Ada pasien yang bermasalah karena  tidak mempunyai keturunan. Ada juga pasien yang menginginkan usahanya berjalan lancar dan maju. Ada orang ingin kaya mendadak. Atau pasien yang berpenyakit; seperti persendian tulang yang terkilir, atau penyakit yang diguna-gunai orang. Tapi sekalipun saya belum pernah berobat padanya.

Satu hari kemudian, sebelum menuju ke pasar, saya menyempatkan diri memberitahu  dukun Mustajab jika Tuan Nabil yang tinggal di rumah saya memintanya datang untuk berobat. Dengan wajah senang dukun Mustajab  berjanji akan menyanggupinya.

Usai salat magrib, dukun Mustajab menepati janjinya datang ke rumah saya. Saya lalu menemaninya menemani Tuan Nabil.

Dukun Mustajab membawa sendiri berbagai keperluan untuk mengobati Tuan Nabil. Saya ingat ia membawa anak pohon pisang yang beberapa bagian seperti sudah dibakar. Ia juga membawa kemenyan dan air botol mineral dengan ukuran sedang.

Malam itu dukun Mustajab duduk di lantai bersama  Tuan Nabil serta istri dan anak-anaknya. Posisi Tuan Nabil beserta keluarganya  menghadap ke arah dukun Mustajab. Beberapa lama kedua mata dukun Mustajab silih berganti memandangi satu keluarga itu.

“Aku merasakan aura yang tidak baik pada diri kalian satu keluarga,” ucapnya sembari terbatuk kecil.

“Maksudnya, ini bukan penyakit biasa?” Tanya Tuan Nabil dengan wajah tegang.

“Ya, ya,” jawab dukun Mustajab. “Izinkan aku membuang penyakit ini,” tambahnya.

Tuan Nabil terlihat mengangguk-anggukan kepalanya, sedangkan istrinya hanya diam seperti pasrah.

Selang beberapa detik kemudian, dukun Mustajab membaca mantra-mantra yang tidak kami pahami. Mulutnya komat-kamit. Kumis tebalnya terangkat-angkat. Matanya sering membesar setiap membaca mantra tertentu dengan tekanan yang tinggi. Di tangannya tergenggan sebatang anak pohon pisang. Setelah usai membaca mantra, dukun Mustajab  menyiram anak batang pisang itu dengan air botol mineral yang ditampung oleh mangkok kecil. Setelah semua sisi anak batang pisang itu disiram, dukun Mustajab berdiri. Ia mengambil mangkok yang berisi air bekas siraman anak batang pisang itu. Dengan langkah teratur, dukun Mustajab berjalan ke arah Tuan Nabil. Sembari kembali membaca mantra yang tidak kami dengar, dukun Mustajab mencelupkan tangan kanannya ke mangkok itu, lalu ia teteskan air di tangannya itu di atas kepala Tuan Nabil. Dukun Mustajab juga melakukannya kepada istri dan anak Tuan Nabil.

Ritual itu usai beberapa menit setelah suara azan salat isya terdengar.

“Ini penyakit benar kiriman orang. Ada yang iri pada kesuksesan Tuan Nabil. Kesembuhannya tidak mudah. Butuh kesabaran dan waktu. Tapi yakinlah, setelah ritual ini akan ada perubahan,” ujar dukun Mustajab sebelum ia pamit pulang.

Tuan Nabil mengangguk-anggukkan kepalanya dengan rasa senang. Sebelum dukun Mustajab pulang, saya lihat Tuan Nabil menyelipkan beberapa lembar uang ke saku dukun Mustajab.

***

Seperti sebelumnya, Samir masih sering berkunjung ke rumah saya setelah kedatangan dukun Mustajab. Setiap kami bertemu, sebelum ia duduk di kursi, pasti saya lebih dulu bertanya perihal kesehatan Tuan Nabil dan keluarganya.

“Bagaimana, apa sudah ada perkembangan tentang perut Tuan Nabil?”

“Belum, mungkin butuh waktu,” jawabnya.

Dan pada hari-hari berikutnya, jika ia kembali bertandang ke rumahku, maka aku papsti akan bertanya kembali padanya. Namun, dengan wajah sedikit putus asa, Samir selalu menjawab, “Tidak ada perubahan,” jawabnya. “Saya lihat Tuan Nabil seperti putus harapan. Dukun Mustajab tak bisa diandalkan. Dasar dukun,” kali ini Samir seperti mengumpat.

Saya pun dengan spontan  mungusap wajah. Sebagai bentuk kekecewaan harapan yang saya berikan pada dukun Mustajab.

Satu malam, Samir kembali bekunjung ke rumah saya. Saya pikir ini hanya pertemuan seperti malam-malam sebelumnya, tapi ternyata tidak. Samir datang dengan menenteng sebuah ransel.

“Kamu mau ke mana?” Tanya saya.

“Saya tidak lagi bekerja dengan Tuan Nabil. Bapak lihatlah perut saya. Sudah agak beda. Kan agak membesar sekarang,” ujarnya.

Memang, saya perhatikan perut Samir mulai agak membesar dari hari-hari sebelumnya.

“Kamu makan kekenyangan. Enak kamu tinggal bersama Tuan Nabil,” ujar saya.

“Tidak. Lihatlah badan saya, masih kurus. Hanya perut yang agak membesar. Saya mulai takut seperti sopir-sopir sebelumnya.”

“Jadi, kamu berhenti?”

“Ya, saya tidak mau perut saya semakin membesar. Ternyata benar. Tuan Nabil membawa kutukan pada sopirnya. Mohon izin Bapak. Saya pamit.”

Samir pergi setelah bersalaman dengan saya. Saya menatapnya dengan penuh kekecewaan karena saya tidak bisa menolongnya.

Saya pun seperti dulu kembali, jika malam hari duduk di teras rumah, maka tidak ada lagi seorang lelaki yang mengunjungi saya seperti Samir. Tapi di kala sendiri itulah, saya mulai merasakan jika perut saya juga mulai agak membesar. Saya menyibak baju kaos saya ke atas. Melihat perut saya yang mulai aneh. Memang agak membesar, keluh saya. Lalu saya palingkan muka melihat rumah saya yang kini masih di huni Tuan Nabil. Rumah itu sunyi. Gelap. Tapi wujudnya membulat. Ya seperti bola disepuh cahaya bulan. (Banda Aceh 2023)

Farizal Sikumbang,  lahir di Padang. Tinggal di Banda Aceh. Buku Kumpulan cerpennya, Kupu-Kupu Orang Mati (Basabasi, 2017), Mata Kuning Muda (Basabasi, 2022).

Artikel ini telah dibaca 75 kali

Baca Lainnya

Pemenang Lomba Menulis Cerpen Peringatan 100 Tahun AA Navis Taman Budaya Sumatera Barat Tahun 2024

3 October 2024 - 16:17 WIB

Tiga Lelaki Bejat

29 September 2024 - 03:01 WIB

WikiArt.org

Cinta dan Benci

22 September 2024 - 20:39 WIB

Around the circle, by Wassily Kandinsky via Wikiart.org

Cerita Horor

20 September 2024 - 23:35 WIB

TC Cannon, The Ghost Figures via WikiArt.org

Ikan-ikan Menggelepar Lalu Mati

15 September 2024 - 07:18 WIB

Niko Pirosmani, Party by the River Tskheniszkali (fragment) via WikiArt

TENGGELAM DALAM LUKISAN YANG KESEPIAN: SANTRI BERIKUT KEUNIKANNYA

26 August 2024 - 23:14 WIB

Sumber: Abdul Halim via Instagram
Trending di Buku