Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Budaya · 8 Sep 2024 05:33 WIB ·

Pembaca: Keluarga dan Negara


 Portrait of Frida's Family, Frida Kahlo via wikiart Perbesar

Portrait of Frida's Family, Frida Kahlo via wikiart

Portrait of Frida's Family, Frida Kahlo via wikiart

Portrait of Frida’s Family, Frida Kahlo via wikiart

Pertemuan dengan buku, pertemuan dengan dunia seribu pintu. Orang membuka pintu untuk masuk. Keputusan dibuat dengan beragam pertimbangan agar pintu selalu “terbuka” atau pintu harus “tertutup”. Masuk ke buku itu kunjungan, ziarah, atau piknik. Pamrih-pamrih perlahan terwujud, tertunda, atau terbatalkan.

Kita sedang mengandaikan sebagai pembaca memiliki iman dan gairah dalam menikmati buku. Peristiwa mungkin sekejap tapi memberi hak dalam “penciptaan” atau “pemusnahan” dunia-dunia. Masuk ke buku kadang digenapi dampak-dampak saat keluar: semringah, lelah, murung, gelisah, girang, dan ragu. Pembaca tak kapok terus masuk dalam buku-buku. Diri menjadi bibliografi. Ia tak selalu dalam capaian. Gagal dan jatuh mungkin dialami saat merasa salah atau berdosa sebagai pembaca.

Di India, kita mendapat cerita tentang lelaki tua menanggungkan derita. Ia masih mungkin bahagia. Amatan dari menantu: “Satu-satunya saat ayah mertuaku terlihat hidup adalah saat membaca buku.” Ia memasuki dunia berbeda dari keseharian. Pembaca bukan melarikan diri atau minggat. Ikhtiar menemukan dan meraih ketenangan, keinsafan, dan keimanan dalam buku itu kewajaran. Lelaki tua sanggup menanggung seribu duka dalam hidup tapi membuka pintu buku seperti memetik berkah-berkah.

Buku pun musuh, Sosok ibu di India bisa menjadi pembenci buku. Si menantu mengerti nasib diri dan buku di hadapan ibu mertua: “… mencurigai buku-buku, memperlakukan mereka seakan-akan adalah kalajengking yang akan menyengatnya. Sejak saat itu, jika dia memergoki aku sedang membaca, dia akan menuduhku malas atau menyuruhku mengerjakan sesuatu.” Buku tak mutlak mengisahkan petualangan, hiburan, atau keselamatan. Si menantu mengerti segala konsekuensi sebagai pembaca buku. Pengakuan: “Rahasia-rahasia dalam buku sudah kumiliki dan–bagaimana pun dia mencoba–dia tidak bisa merenggutnya dariku. Penggalan dua sosok menggandrungi buku dan satu sosok membenci buku itu terbaca dalam novel berjudul Homeless Bird (2012) gubahan Gloria Whelan.

Kesaksian tentang pembaca dan buku menjadi bagian pembentukan biografi. Baskara T Wijaya (2011) dengan beragam buku-buku bertema 1965 mengingat saat-saat melihat bapak dalam keseharian: “Di sela-sela kesibukannya sebagai pegawai negeri di pagi hari dan petani di sore hari, ia selalu menyempatkan diri untuk membaca.” Membaca itu kebiasaan, bukan sekadar peristiwa dicipta tugas atau perintah atas nama pendidikan, politik, atau agama.

Baskara mengetahui bapak menjadi pembaca buku tebal berjudul Di Bawah Bendera Revolusi memuat tulisan-tulisan Soekarno: “Sebagaimana ia tulis di halaman depan buku, ia membeli buku tanggal 6 September 1964. Di bagian belakang, ia mencatat bahwa ia selesai membaca buku setebal 627 halaman itu pada tanggal 19 Februari 1965, jam 6 pagi.” Hari demi hari, bapak menjadi pembaca saat Indonesia berantakan. Pada hari berbeda, bapak membaca novel berjudul Arok Dedes gubahan Pramoedya Ananta Toer. Catatan dibuat: “Sebenarnya ini cerita tentang Soeharto.”

Di hadapan buku, bapak itu pembaca. Ia pun menggerakkan tangan sebagai pencatat. Buku menimbulkan kesan. Pembaca bukan sosok diam dan berpasrah. Buku dimiliki dan dikenang bertumpu waktu. Buku bisa dikhatamkan tanpa kehilangan tautan dengan situasi mengiringi pembaca.

Di tempat dan waktu berbeda, orang masuk ke buku-buku justru menguak demokrasi. Kita menengok pengalaman dan pemikiran Daoed Joesoef (2004). Ia telanjur keranjingan membaca buku, memberi seruan agak mengejek: “Manusia perseorangan mungkin bisa bertahan hidup tanpa menjadi pembaca, tanpa membiasakan diri untuk membaca, tanpa berbudaya baca. Namun, sebuah demokrasi hanya akan berkembang di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, individu-individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.” Ia sedang memberi omelan atas nasib demokrasi di Indonesia dan kebiasaan (picisan) orang-orang suka pamer kecerewetan abai pengetahuan berargumentasi. Buku “dipastikan” penentuan demokrasi.

Kita boleh tak bermufakat dengan Daoed Joesoef. Buku terlalu dipentingkan dalam urusan negara. Ia memang memiliki pengalaman dalam babak-babak politik di Indonesia dan berkelana pengetahuan di Eropa. Kita tetap mengetahui aib dan bobrok di Indonesia tanpa menimpakan kesalahan jutaan orang bukan sebagai pembaca buku. Demokrasi itu mulut. Demokrasi itu telinga-telinga terlalu mudah mendapat omong kosong.

Buku dalam keluarga. Buku dalam tatapan gandrung dan benci. Di rumah, buku bisa sekadar benda. Buku turut menjadi penghuni untuk diam, berdebu, dan hancur. Buku pun bisa “menghidupkan” orang mau menjadi pembaca dengan tebal atau tipis “iman”. Buku berhasil termiliki dan meresap dalam keseharian pembaca perlahan membentuk biografi. Peristiwa untuk bibliografi. Nasib dan situasi buku itu bergerak dalam lakon kekuasaan secara gamblang atau samar. Buku penting untuk negara.

Di novel berlatar India, kita mengerti perempuan dalam situasi pelik. Ia ingin menjadi pembaca tapi berhadapan dengan bapak dan ibu mertua dalam dua kutub berlawanan. Ia sanggup menanggung derita akibat adat dan pernikahan tapi buku itu keselamatan. Pembaca menemukan kabar dan janji keselamatan saat hidup memang album derita seolah tanpa epilog. Kebahagiaan pun terperoleh meski remah-remah.

Kita mengetahui nasib itu berbeda dengan kesaksian dua intelektual Indonesia mudah mengaitkan buku dan kekuasaan. Peran pembaca dalam pertaruhan besar di negara tak romantis. Negara sibuk mengisahkan demokrasi dengan kemelaratan bacaan. Kehadiran sedikit pembaca menempatkan buku itu “istimewa” jika ingin memberi olok-olok kebodohan, kekacauan, kemiskinan, dan kebangkrutan. Begitu. (*)

 

Bandung Mawardi, saudagar buku dan menulis di berlimpahiklan.blogspot.com

Artikel ini telah dibaca 38 kali

Baca Lainnya

Naga Terakhir di Bumi

3 October 2024 - 19:38 WIB

Arif P. Putra (istimewa)

Pemenang Lomba Menulis Cerpen Peringatan 100 Tahun AA Navis Taman Budaya Sumatera Barat Tahun 2024

3 October 2024 - 16:17 WIB

Percakapan, Film, Makan

29 September 2024 - 03:21 WIB

Sumber: Instagram Aranck Project

Beberapa Kesalahan Penulis dalam Mengirim Naskah ke Media

24 September 2024 - 01:12 WIB

WikiArt.org

Perjalanan Baru MOOV, dengan Merilis Single Baru “Bernyanyi”

22 September 2024 - 21:28 WIB

Cinta dan Benci

22 September 2024 - 20:39 WIB

Around the circle, by Wassily Kandinsky via Wikiart.org
Trending di Budaya