Pernahkah kalian jatuh cinta? Seperti apa jatuh cinta itu? Aku selalu bertanya-tanya seperti apa dan bagaimana rasanya. Apakah rasanya sama seperti apa yang buku katakan? Atau seperti film-film perlihatkan? Rasa penasaran akan hal ini menggerogotiku perlahan. Rasa iri mulai muncul dan tumbuh melihat teman-temanku mulai merasakan cinta dan menjalin hubugan. Hal yang cukup wajar bagi remaja berusia 18 tahun merasakan hal ini bukan? Selama 18 tahun aku hidup, aku selalu dipenuhi dengan ambisi. Ambisi untuk menjadi yang terbaik, dalam segala aspek. Kutu buku, julukan itu seperti lebel yang ada pada diriku. Rasa keegoisan dan keras terhadap diri sendiri untuk menjadi yang terbaik di bidang akademik sudah menjadi ciriku. Baru kali ini, di usiaku yang menginjak 18 tahun aku mulai goyah. Benteng pertahananku mulai ambruk. Aku mulai penasaran dengan apa yang dinamakan cinta. Apakah cinta seindah itu?
“Hei…, lagi ngelamunin apaan sih?” tanya seorang gadis berparas cantik yang disukai banyak pria membuyarkan lamunanku.
”Apaan…aku gak ngelamun, aku cuma lagi mikirin tugas matematika dari Pak Egi yang tadi aja…” sanggahku kepada gadis itu.
“Siap deh…, dasar anak emasnya Pak Egi.” ucapnya sambil terkekeh.
Clarissa Angelia namanya. Orang yang membuyarkan lamunanku itu, dia salah satu teman dekatku. Seperti namanya dia orang yang cantik dan dengan kepribadiannya yang mudah bergaul dengan siapa saja membuat ia semakin disukai kaum laki-laki. Dia primadona kelas kami. Banyak Perempuan iri padanya, karena selain mempunyai paras yang cantik dia juga memiliki kekasih yang sebanding dengannya. Mereka adalah pasangan serasi bak putri dan pangeran negeri dongeng. Banyak juga orang yang memuja kisah cinta mereka.
“Waah…ada apa nih ketawa-ketawa gitu?” tanya seorang gadis yang merupakan salah satu teman dekatku juga. Arsya Amalia, gadis berkarakter kuat tapi berwajah manis dalam satu waktu. Hampir sama dengan Clarissa, dia juga banyak disukai kaum laki-laki walaupun tak sebanyak Clarissa.
“Biasalah…” Jawab Clarissa tertawa berusaha menyembunyikan percakapan sebelumnya denganku.
“Waah…,Mau main rahasia-rahasiaan nih ceritanya…, okee deh.” sahut Arsya merajuk.
“Hahahaha…, bercanda…, biasa…, nih anak ngelamunin soal matematika.” ucap Clarissa sambil berusaha membujuk.
Bell yang berdering menghentikan aktifitas kami sesaat, tanda jam istirahat berakhir. Semua siswa mulai berhamburan masuk kembali ke kelas. Suasana yang ramai mendadak hening, semuanya bersiap kembali menyambut pelajaran yang datang. Tetapi di tengah keheningan itu, ada hal yang menggangguku. Rasa tak nyaman seakan menyelimutiku. Entah kenapa dia selalu membuatku seperti itu.
“Ishhh…ngapain sih tiba-tiba di sini…gaa jelas.” ucapku sambil melihat lelaki yang tiba-tiba duduk disampingku.
“Gapapa…, pengen aja” jawabnya sambil melemparkan muka tengilnya ke arahku. Ucapannya sontak membuatku jengkel setengah mati.
“Ga jelas. Pergi sana!” teriakku padanya. Bukannya marah dan pergi, laki-laki itu malah menatapku sambil sekali lagi melemparkan senyum manisnya ke arahku.
Chris, bisa dibilang pentolan kelas kami. Walaupun begitu dia tak seperti pentolan lainnya. Ia cukup pintar bahkan masuk ranking 5 besar di kelas, dan tentu saja dia mudah bergaul dengan siapa pun, wajahnya pun tergolong enak dipandang. Tapi entah kenapa, dia selalu membuatku tak nyaman dengan perilakunya kepadaku. Aku pikir mungkin karena kepribadian kami yang saling bertolak belakang. Setiap perhatian dan perilakunya membuat tubuhku merasa aneh. Perutku saakan dikelitik, saat berhadapan dengannya jantungku mulai berdebar kencang. Rasa tak nyaman menjulur di seluruh tubuhku. Novel romansa bilang itu artinya jatuh cinta. Tapi, aku merasa tak nyaman. Apakah ini yang dinamakan cinta? Apa cinta itu membuat orang tak nyaman? Bikin mual?
Dua bulan sudah berlalu. Aku masih merasakan perasaan tak nyaman ini terhadapnya, tak ada yang berubah. Setiap tingkahnya yang ditunjukan kepadaku selalu membuatku merasa jengkel tak nyaman. Bukan berarti aku membencinya, hatiku hanya tak nyaman. Aneh bukan?
“Sendirian aja nih, temen-temenmu yang lain pada kemada deh? Biasanya kalian sepaket bertiga tuh.” tanya Chris mengganggu aktivitas belajarku. Aku tak mengubris dan hanya memandang matanya yang coklat keemasan dengan ekspresi jutekku.
“Ko gitu sih liatinnya…sedih nih.” lanjutnya.
“Bisa diem ga? Ini tuh perpus. Kalau mau nyari mereka berdua keluar aja sono, ngapain kesini.” jawabku tegas.
“Ihh ko galak banget sih? Jangan galak-galak gitu dong…kan jadi makin suka nih.” balasnya dengan senyum manis dan muka tengil yang terpampang di wajahnya. Kalimat itu makin membuatku merasa tak nyaman. Jantungku kembali dibuat berdebar tak karuan dibuatnya. Entah apa maksud dan tujuan ia mengatakan hal seperti itu, membuatku merasa tak nyaman.
“Ga jelas banget sih…pergi sono ganggu tau ga?” tegasku padanya sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar dengan kencang.
“Ga mau…gimana dong. Aku mau disini aja liatin kamu belajar.” rayuan dan kata-kata manis kembali keluar dari mulutnya itu, membuat diriku tak karuan.
“Kalau ga mau pergi…yaudah aku yang pergi” sahutku sebari berbalik berniat meninggalkan tempat itu. Tangannya yang kekar menarikku pelan, menahanku agar tak pergi dari tempat itu. Waktu di sana seakan melambat, suara sekitar hening senyap tak bersuara dan hanya menyisakan detakan jantungku yang terdengar jelas.
“Yaudah iya…maaf deh, aku pergi nih. Aku ga akan ganggu lagi. Oke…bye sayang.” ucapnya sembari mengedipkan matanya ke arahku. Sekali lagi perasaan aneh dan tak nyaman mulai menyulur ke suluruh tubuhku.
Selalu seperti itu, hari demi hari waktu demi waktu yang berlalu dia selalu mengangguku dan membuatku memikirkannya. Aku tak mengerti dengan diriku. Jika aku jatuh cinta padanya, bukannya aku harusnya merasa senang dan nyaman? Namun kenapa aku merasakan sebaliknya? Berbagai rumor dan tuduhan aku menjalin hubungan dengannya sudah menjadi hal yang sangat basi. Namun aku tak mempedulikannya, aku hanya akan membiarkan alur cerita ini mengalir begitu saja.
Pukul 7 pagi. Kelas masih sepi bak tak berpenghuni. Aku menyesal karena terlalu dini sampai ke sekolah. Suara air hujan terdengar sangat nyaring walaupun aku berada di kelas. Di tengah hujan yang besar itu, seorang laki-laki dengan seragam basah kuyup menapakkan kakinya di kelas. Dengan pakaiannya yang basah, dia memamerkan senyum manisnya kepadaku dan mulai berjalan perlahan mendekatiku. Hujan yang deras kini tak terdengar lagi di telingaku, Langkah kakinya yang mendekat dan suara dentuman jantungku yang hanya terdengar di telingaku.
“Pagi…, rajin banget sih pagi-pagi hujan begini udah di sekolah aja” ucapnya sembari duduk di sebelahku.
“Iyalah…mendingan kamu ngeringin baju kamu dulu gih! Nih ganti bajumu pake jaketku…” ucapku sembari menyodorkan jaketku yang oversize.
“Yaelah…perhatian banget sih…kan jadi makin suka.” sahut Chris dengan senyum lebarnya.
“Jangan ngomong suka kaya gitu deh. Geli dengernya.” tegasku padanya.
“Geli apa geli…bilang aja salting iya kan?” balasnya tengil.
“Udah sono ganti dulu bajunya!” segera aku mengalihkan topik pembicaraan. Apa mungkin perasaan tak nyaman yang selama ini aku rasakan adalah hal seperti itu. Salting? Entahlah…, aku pun tak mengerti perasaanku.
Sudah 6 bulan berlalu sejak hari itu, pelahan-lahan rasa tak nyaman dalam diriku terhadap Chris mulai mereda. Aku merasa terbiasa oleh tingkah dan perilakunya. Sudah menjadi hal yang lumrah dan umum ketika Chris mulai mendekat dan menggangguku. Sampai hari itu tiba, hari di mana dia membuatku ingin berlari pergi meninggalkan tempat itu segara, hari di mana semua mata menusukku tajam. Semua rasa tidak nyaman akibatnya kini mulai menjalar kembali memenuhi seluruh tubuhku. Tubuhku kaku mematung mendengarkan ucapannya. Badanku gemetar, aku tak mengerti mengapap tubuhku bereaksi seperti ini, bukan rasa senang dan bahagia yang aku rasakan melainkan rasa takut dan tidak suka ketika dia, Chris menyatakan perasaannya kepadaku di hadapan semua orang.
“Terima…terima…terima.” sorakan semua orang terdengar jelas di telingaku, menyuruhku untuk menerima ajakannya. Lain dengan tubuh dan hatiku yang menyuruhku untuk pergi lari dan bersembunyi.
Tatapan mata yang dia lontarkan membuatku semakin gugup tak karuan, tubuhku dengan sendirinya pergi menjauh menghindarinya. Seolah kerasukan, aku tak sadar kakiku sudah membawa diriku pergi menjauhi kerumunan dan tiba di toilet. Aku tak tau apa yang aku rasakan saat ini, namun aku baru menyadarinya. Rasa yang selama ini menghantui perasaanku bukanlah rasa cinta terhadapnya, melainkan hanya sebuah perasaan biasa yang baru aku alami.
Perang dingin, orang-orang menyebutnya begitu. Setelah kejadian aku meninggalkannya sesaat setelah ia menyatakan perasaannya padaku orang-orang sudah mengetahui bahwa aku menolak perasaannya tanpa satu kata apapun. Tentu saja, setelah hari itu berlalu rasa canggung mengguncang seluruh kelas. Sampai akhir sekolah pun, Chris tak pernah lagi menyapaku. Layaknya layangan yang telah terputus.
Sejak saat itu kami seolah tak pernah mengenal satu sama lain.
Kini, sampai saat ini, walaupun aku telah duduk di bangku kuliah, aku masih belum mendapatkan pasangan. Setiap ada lelaki yang dekat denganku entah kenapa, aku jadi kembali memikirkan dia. Entah apakah ini adalah karma atau rasa bersalahku terhadapnya. Kami telah hidup masing-masing di kota yang berbeda dan saling menjauh. Aku tak pernah tau lagi bagaimana kabar dan keadaanya. Terakhir aku mendengar kabarnya ia masih sama, tak memiliki pasangan sama sepertiku. Rasa bersalah tentu saja muncul ketika aku mendengarnya. Aku hanya berharap aku bisa kembali bertemu dengannya, meminta maaf dan menjelaskan kenapa aku lari pada hari itu. Dan berharap dia bisa bahagia, hingga bisa meninggalkan rasa bersalah yang tertanam dalam hatiku ini.(*)
Alya Yasmin Salsabila, perempuan yang tinggal di Sumedang, Jawa Barat. Instagram: dkf_du