Sebenarnya aku sudah tak ingat lagi kapan pertama kali bertemu Syahidin. Namun, pekerjaanku sebagai sopir labi-labi kala itu sering kali mempertemukanku dengannya. Itu karena Bupati mewajibkan semua angkutan umum memasuki terminal, mulai dari angkutan kecil sampai dengan bus-bus besar yang kadang-kadang begitu angkuh di jalan raya; menganggap angkutan kecil seperti kami bagai anak ayam—yang apabila menghalangi—akan dilindas begitu saja. Berengsek memang!
“Kalau tak ingin digilas, kalian harus menghindar,” kata sopir bus kala itu, saat aku memberanikan diri memprotes kegilaan mereka di tengah jalan, seolah jalan-jalan itu hadiah ulang tahun dari ayah mereka.
“Bukankah kita sama-sama membayar pajak dan sama-sama mencari hidup?” tanyaku.
“Benar, tapi pajak kami lebih besar dan penumpang kami lebih banyak.”
Jujur aku tak mengerti dengan jawaban aneh macam begitu sampai kemudian aku bertemu Syahidin, yang siang itu baru saja mengangkat barang-barang penumpang ke bagasi bagian atas labi-labiku. Dia bekerja sebagai harlan di terminal Bireuen. Pekerjaan itu sudah dilakoninya sejak kecil, ketika aku masih asyik menangkap capung berkepala merah di sekolah. Syahidin sendiri tak sekolah. Dia memutuskan keluar dari sana lebih awal, sebelum guru-guru dan kepala sekolah melukainya lebih dalam.
“Orang-orang besar menganggap dunia ini milik mereka,” kata Syahidin kala itu.
Usianya yang terpaut sepuluh tahun dariku membuat ia tampak lebih berwibawa, terlebih ketika dia bicara dengan orang-orang yang lebih muda sepertiku. Kadang-kadang aku sendiri larut dalam suaranya yang sama sekali tak memiliki nada. Dia berbicara seperti air sungai Krueng Simpo yang mengalir begitu pelan, seperti angin pagi yang damai.
“Bus-bus besar itu masih lebih baik karena mereka memberi tanda sebelum menghantammu dengan keras.” Syahidin menatapku dengan dalam, membuat wajah muramnya tenggelam di mataku. Bola matanya seperti menahan sebak saat kata-kata itu terucap dari mulutnya yang kering. “Dulu, kami dikejar tanpa diberi tahu ….” lanjut Syahidin sembari wajahnya menuding langit.
Pada hari yang lain, dan itu adalah pertemuan terakhir kami, aku melihat laki-laki bertubuh pendek itu berjalan menuju loket. Dia berjalan terpincang-pincang. Kaki kanannya yang sedikit pandak membuat jalan terlihat tak rata. Namun, dia sudah terbiasa dengan tubuhnya yang begitu, dan karena itu tak menghalanginya menjadi kuli terminal.
Syahidin melangkah ke arahku seraya membawa secarik kertas.
“Selepas petang aku akan berangkat. Aku merindukan ibu,” kata Syahidin sambil memasukkan karcis bus PMTOH ke dalam saku kemeja putihnya. Tangan kirinya yang bengkok serupa sabit membuat ia sedikit kesulitan.
Aku mengangguk. Kali ini giliran hatiku menahan sebak. Aku tahu dia akan mengunjungi makam ibunya di Bur Lintang. Seperti pernah diceritakanya padaku, dia mengunjungi ibunya setahun sekali, ketika purnama bersinar terang.
“Kamu tidak akan pernah melihat makam di sana, hanya tebing-tebing curam dengan jurang menganga,” katanya dengan suara datar. Ketika itu mata Syahidin menyorot bendera setengah tiang yang berkibar pelan di pojok terminal, di sebuah toko milik Tionghoa. Dia memandangi bendera itu dengan mata sembap sampai kemudian aku mengingatkannya bahwa Tuhan sengaja menciptakan jalan berbeda untuk mati. “Dan kita tak bisa memilih,” timpalnya saat itu, membuat buntal di matanya berpindah padaku.
“Aku hanya tahu makam ibu, sedang ayahku hilang dua hari sebelum ibu diangkut. Aku menarik-narik tangan ayah yang ingin dirampas orang-orang berseragam. Namun, seorang laki-laki berpeci mengentak tubuhku, seperti pemburu babi menancap lembing ke tanah setelah babi itu terkapar mati. Kakiku hilang sejengkal. Lihatlah!”
Dia memandangi kaki kanannya yang pendek sebelah, berbeda satu atau dua senti dari kaki kirinya. Namun, tak sampai sejengkal. Aku pikir dia sedikit berlebihan soal itu. Tapi, laki-laki berpeci yang ia sebut, mengingatkanku pada satu wajah.
“Saat itu purnama benar-benar terang, membias cahaya kuning keemasan ke wajah ibu yang berdiri dengan tangan terikat di bibir jurang …. ”
Syahidin mengusap muka dengan tangannya yang serupa sabit. Ada rona merah di matanya.
“Aku menangis keras dalam cengkeraman orang-orang bersenapan dan beberapa pemuda asing. Tak pernah aku melihat mereka sebelumnya. Mereka mengiris leher ibuku, darahnya bercampur cahaya bulan. Aku melihatnya dengan jelas. Jelas sekali. Dia .…” Syahidin kembali terisak, “laki-laki berpeci yang membuat tangan kiriku mati rasa dan kakiku pendek sebelah. Dia merenggut ibu dariku, juga ayah.”
Laki-laki berpeci. Kembali aku terhenyak.
Menurut cerita Syahidin, ada tiga puluh sembilan orang mengalami nasib serupa ibunya malam itu, disembelih seperti ayam dan lalu ditendang ke dalam jurang, seumpama penjagal melempar daging dalam keranjang. Di malam-malam berikutnya—cerita ini kudengar dari seorang tentara, yang sering berteriak-teriak di jalanan kota (maksudku, dia sekarang mengidap kelainan jiwa)—ketika purnama mulai redup, ratusan petani kopi menyusul mereka ke alam baka. Mereka diangkut menggunakan truk dan diikat seperti kumpulan lembu yang siap dijual di pasar hewan. Laki-laki berpeci memimpin perburuan itu di kampung-kampung, kata si tentara, beberapa jam setelah Syahidin hilang di mataku.
“Seorang tentara menarik lenganku, menyembunyikanku di balik semak,” Syahidin melanjutkan. Kali ini dia mencoba tegar. Dia mengusap mukanya beberapa kali. Namun, wajahnya begitu cemas. “Dia teman ibuku,” katanya kemudian dan lalu terdiam lama, seperti menyembunyikan sesuatu. Dia menarik napasnya dalam-dalam, seolah ia ingin menghirup semua oksigen di terminal itu.
“Orang-orang menemukan dia terikat di batang kopi, di sebuah kebun, tak jauh dari kebun ayahku.” Kali ini suara Syahidin kembali bergetar. Ada amarah dalam nada suaranya yang datar. Aku pikir aku bisa mengerti, laki-laki itulah yang menyelamatkan hidupnya.
“Dari kabar yang kudengar, tiga puluh tujuh hari setelah ibuku disembelih, laki-laki berseragam itu menodongkan senapan di kepala laki-laki berpeci. Dia mengamuk; ingin membunuh laki-laki yang menyayat leher ibuku. Lalu … dia mati di kebun kopi.”
Aku bergidik. Tulang-tulangku terasa remuk dan darahku seperti berhenti berdesir. Kutatap wajah Syahidin lekat-lekat. Laki-laki ini punya bakat mengarang, pikirku. Namun, ceritanya tentang laki-laki berpeci membuat jantungku enggan berdetak. Ingin rasanya aku menghantamkan labi-labiku ke lambung bus-bus besar yang sering menggertakku di jalan raya.
“Aku pikir ayah benar,” lanjut Syahidin, seraya melempar pandang ke arahku. “Kamu akan menjadi saksi di kemudian hari, kata ayah, dua minggu sebelum mereka merampasnya dariku. Saat itu aku mendesak ayah untuk menjelaskan arti namaku—Syahidin—nama yang terlalu tua untuk anak sekecil diriku. Namun, peristiwa yang terjadi kemudian membuat aku mengerti betapa nama adalah doa.”
Tentu aku tidak terlalu bodoh untuk memahami apa yang dimaksud Syahidin. Selepas kehilangan ayah dan ibunya—seperti diceritakannya padaku saat pertama kali kami bertemu—di mana aku sendiri telah lupa kapan persisnya pertemuan itu, Syahidin keluar dari sekolah setelah guru sejarah menceritakan kekejaman orang-orang merah di negeri atas awan yang membuat wajahnya dikerumuni puluhan tatapan mata.
“Kata guruku, mereka membakar masjid, merobek-robek Al-Qur’an dan membunuh ….”
Mendengar cerita itu, dia mengaku menutup telinganya dengan kuat, tak ingin suara itu masuk lebih dalam. Sejak hari itu dia juga mengaku tak pernah lagi kembali ke sekolah. Dia pikir lebih baik dia mengaji agar pikirannya sedikit tenang. Namun, hal serupa terjadi di sana.
“‘Mereka menyembah Stalin dan Lenin.’ Kata-kata itu terdengar di hari pertama pengajian,” katanya.
Dia mengaku tidak kenal dengan nama-nama itu walau dia tahu siapa yang mereka maksud dengan orang merah. Kala itu, kata Syahidin, walau belum cukup dewasa dan masih berusia dua belas tahun, dia sering dibawa ayahnya bertemu Thaib Adamy, ketika laki-laki kurus tinggi itu berpidato berapi-api di alun-alun kota Sigli. Aku sendiri sering mendengar nama itu dari ayahku. Kata ayahku dia dan siapa pun yang dekat dengannya adalah orang-orang merah. “Halal darah!” tegas ayahku, dua hari sebelum ajal menjemputnya sewindu lalu.
“Apa kamu masih mau mengeluh dan mengutuk bus-bus besar yang mengganggumu di jalan raya?”
Syahidin melontarkan pertanyaan itu seraya berusaha berdiri. Bus yang ditunggunya baru saja memasuki terminal dengan suara klakson memekak telinga. Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu, seseorang memintaku memindahkan labi-labi ke tepi terminal agar tidak mengganggu bus-bus yang mulai masuk dengan senyum keangkuhan.
“Hari sudah petang. Aku berangkat!” teriak Syahidin dari kejauhan. Entah mengapa wajahnya tiba-tiba begitu ceria. Aku seperti melihat kengerian dan kesedihan yang tadinya mengepung, kini berjatuhan, bercampur debu-debu terminal.
Laki-laki itu melambaikan tangan dari jendela bus PMTOH yang meraung keras, mengeluarkan asap hitam, membuat hidungku mencium aroma aneh. Di balik jendela, aku melihat dia dengan susah payah memasang peci di kepala, menutup rambutnya yang keriting dan lalu mulutnya melempar senyum miris. Senyum yang membuatku gelisah berhari-hari. Senyum yang mengingatkanku pada sosok laki-laki berpeci yang selalu hadir dalam setiap ceritanya.
Dan, tahukah kalian? Ketika kisah ini kuceritakan pada anakku, dia mengajakku kembali ke terminal. Dia ingin melihat bus-bus besar dan bendera setengah tiang yang berkibar di sana. Aku katakan padanya, sekarang bukan bulan September, tidak ada bendera seperti itu di sana. Namun, anakku memaksa untuk pergi. Anehnya, kami tidak mendapati tempat itu. Maksudku, tidak ada lagi terminal di sana. Kami hanya melihat sebuah bangunan besar yang di depannya berjajar bilik-bilik ATM. Akhirnya aku sadar, ternyata sudah begitu lama aku tidak ke sana.
“Jadi, bagaimana nasib ayah Syahidin, apa dia menceritakannya pada Ayah?” tanya anakku, ketika aku menarik tangannya dan mengajaknya pulang.
Aku menatap wajah anakku lekat-lekat. Sudah 12 tahun aku tak bertemu Syahidin. Sejak kepergiannya petang itu, dia tak pernah kembali lagi ke terminal; membuat penantianku sia-sia. Saat itu, aku bertanya pada orang-orang tentang Syahidin, tentang seorang laki-laki bertubuh pendek, berambut keriting, yang tangan kirinya seperti sabit dan kaki kanannya pendek sebelah. Namun, orang-orang mengaku tak melihat.
“Tak pernah ada orang seperti itu di sini,” kata mereka bersungut-sungut
“Mungkin tidur siangmu terlalu lama; membuat mimpimu semakin aneh,” kata yang lain ketika kuceritakan kisah Syahidin pada mereka.
“Tidak. Dia tidak menceritakan pada Ayah,” jawabku.
Sekarang, usia anakku menginjak dua belas tahun, seperti usia Syahidin ketika dia ditinggal mati ayah ibunya, ketika laki-laki berpeci membuat tangan dan kakinya tak lagi sempurna dan ketika seorang tentara mati di kebun kopi.
“Kalau laki-laki berpeci, Ayah tahu?”
Pertanyaan itu kembali mengingatkanku pada satu wajah. Pada seorang laki-laki yang wajahnya mirip wajahku. Lalu, kupeluk Syahidin dengan erat. Benar, tidak salah. Aku benar-benar memeluk Syahidin. Aku memberikan nama itu untuk anakku, agar ia menjadi saksi di kemudian hari.
“Dia kakekmu!” kataku dengan suara lirih.
Catatan:
Labi-labi: angkutan dalam kota sejenis Sudako; Harlan: buruh terminal.
*Tin Miswary, menulis esai, cerpen dan resensi, berdomisili di Bireuen, Aceh.