Ingin sekali aku menemuimu, sekadar bertanya tentang nyala matamu saat menolak ajakkan menir-menir. Eh, maaf, bukan. Maksudku antek-antek yang tak pernah bosan mengajakmu untuk mengikuti maunya. “Kau akan kami pulangkan jika mau patuh.” Barangkali begitu kata seorang bagak[1] suruhan ketika mengirimi surat. Kau kata, aku pantang tunduk kepada orang yang jelas-jelas lawan. Jika kau ingin menganggapku sebagai lawan, maka sukalah kiranya kau menghadapiku saja. Jangan bawa-bawa anak dan istirku. Ia menjawab surat itu demikian singkat dan jelas: silakan lepaskan yang bukan lawan sungguhan. Tapi orang bagak suruhan pantang pula menghadapi lawan yang jelas, ia selalu mencari kelemahan dari berbagai hal. Termasuk anak istri.
Aku dengar kisahmu dari tua-tua di kampung. Namamu sebagaimana petaka bagi siapa-siapa yang hendak menjajah ulayat kita. Aku tidak benar-benar yakin dengan apa-apa yang diturunkan sebagai cerita oleh tua-tua di kampung. Bagaimana tidak, suatu tahun, saat kanak-kanak, aku betul percaya bahwa seorang pria parubaya yang rajin ke masjid itu adalah ulama besar. Aku ingat benar, Pak Mayor pensiunan tentara itu menceritakan bagaimana kisah ulama itu pada masa lalu ternyata omong kosong belaka, pasalnya ketika beranjak sekolah menengah atas, aku menemukan satu tulisan tangan, semacam surat perjanjian begitu, mengatakan bahwa ulama yang dimaksud Pak Mayor adalah bernama Kutar. Seorang pesuruh pada masa peralihan kekuasaan di kampung. Beliau adalah keturunan cino. Bukan bermaksud mengucilkannya, tapi cerita Pak Mayor tentang pertaubatannya benar-benar dongeng belaka.
Dalam catatan jelas itu, surat perjanjian yang juga dilengkapi tandatangan Pak Kutar mengiyakan isi di dalamnya dengan membubuhi tanda tangan. Larangan-larangan penyebaran paham pemberontakan terhadap hukum dan adat salingka nagari[2]. Terlepas saat itu dipaksa atau bukan, yang jelas cerita Pak Mayor sudahlah terbantahkan bahwa Kutar seorang alim dan sejak lama belajar agama. Kemudian, aku semakin penasaran akan kebenaran cerita Pak Mayor yang sungguh meghormati Pak Kutar. Setelah masuk ke sekolah menengah atas, aku malah menemukan sebuah buku dengan sampul poto lanskap kampung. Di sana dituliskan judul besarnya, MONOGRAFI Kampung Goligadi. Dalam buku yang cetakannya hitam putih dengan kertas, mungkin hvs dan agaknya diketik menggunakan mesin tik, aku kembali menemukan surat perjanjian itu. Tertulis beberapa nama pendatang dari negeri jauh ke kampung Goligadi dan Pak Kutar adalah orang bagaknya. Semacam kepala rombongan begitu.
Sekali lagi, aku benar-benar tidak ada masalah apa-apa dengan Pak Kutar. Pria parubaya yang rajin ke masjid itu. Tapi Pak Mayor benar-benar mensugesti pikiranku, sebab setiap pulang mengaji kami selalu diceritakan kisah-kisah kepahlawanan serta asal mula sebuah kampung. Yang kerap mengganjal dalam pikiranku adalah Pak Kutar, pria jangkung dengan rambut klimis yang klimisnya kerap rebah disongkok kopiah hitam. Kata Pak Mayor jika aku bertanya, “sudah seperti tokoh saja dia kan?” Aku langsung mengingat seorang tokoh pada masa perjuangan kemerdekaan. Ya, benar. Orang yang kau bayangkan sama dengan pikiranku.
Setelahnya, aku menemukan cerita baru dari seorang tua, bahwa cerita-cerita dari Pak Mayor hanyalah fiksi. Semacam cerita yang sengaja dibuatbuat untuk hiburan, meski ada juga yang nyata, tetapi sejatinya lebih banyak hasil imajinasinya saja. Seorang tua malah menceritakan seorang anak muda dari negeri Bandar Sepuluh. Anak muda yang terpaksa menyelesaikan sekolahnya di negeri jauh lantaran di negrinya orang-orang dilarang bersekolah, apa lagi pintar. Siapa-siapa yang memiliki pengetahuan mantap, maka akan ditarik ke dalam bagiannya. Kemudian mereka yang sudah tergabung akan diasah otaknya menjadi seorang pesuruh. Aku tidak ingat betul apa sebutannya.
Dari situlah aku menemukan cerita-cerita tentang nyala matamu ketika menghadapi kenyataan bahwa pemerintah kolonial hendak menggerus hasil bumi kita. Dia menyebut pria itu dengan Anak Muda. Pria yang sehari-hari lebih sering bersama kitab-kitab ketimbang bermain dengan sebaya. Semasa kanak-kanak, ia menghabiskan waktunya di Bandar Sepuluh. Ia sama sekali tidak menempuh pendidikan formal sebagaimana anak-anak kampung ikuti. Ia lebih memilih belajar di surau dari pada harus berkumpul kemudian diejakan satu-satu huruf oleh noni-noni. Sejak kanak-kanak, ia memang sudah menonjol dibandingkan sebayanya dalam pemikiran. Tidak pernah pula ia terlihat ketika noni-noni berbagi cemilan kepada anak-anak. Adegan yang serupa manusia menebar makanan untuk ayam. Sial!
Seorang tua itu terus melanjutkan ceritanya tentang mata nyala si Anak Muda yang sampai saat ini aku masih mengingat siapa namanya. Suatu tahun, terjadilah gejolak antara kelompok kolonial dengan tentara pelajar. Maka sejak itu, Anak Muda itu harus hidup dari hutan ke hutan mengikuti sang ayah yang seorang gerilyawan dari satuan …. kembali aku lupa lagi nama satuannya. Pokonya nama satuan itu diberinama hewan, tapi buka harimau. Sekitar enam bulan ia mengikuti sang ayah demi menjaga keselamatan, akhirnya kolonial agak mengendorkan gejolak. Siapa-siapa yang hendak kembali ke rumah diperbolehkan, asalkan ikut serta dalam program-program yang mereka buat. Salah satunya sekolah.
Demi menjaga keamanan sang anak, ayah dari Anak Muda itu menyuruhnya kembali pulang. Dengan modal keyakinan tidak akan terjadi apa-apa kepadanya, dia kembali ke rumah. Nyatanya seluruh masyarakat diatas umur 15 tahun ditangkap, kemudian di bawa ke sebuah tambang emas. Di kampung, anak-anak dan para perempuan dididik sebagaimana biasanya; setelah proses belajar mengajar, mereka mendapat pembagian kerja. Ada yang sebagai gembala, memasak, tukang kebun dan lainnya. Beruntungnya kegiatan di surau hanya dibatasi saja. Semisalnya, tidak boleh mengaji terlalu keras, atau membunyikan pentungan untuk memberitahu jadwal salat.
Lalu Anak Muda tinggalah di sana bersama sang guru yang juga kakek kandungnya. Seorang ulama kampung yang cukup tersohor. Walau acap pula dimintai keterangan oleh pemerintah kolonial tentang persekongkolannya dengan tentara pelajar. Orang tua itu selalu lepas dari berbagai pertanyaan jebakan, bagaimana tidak, setiap datang orang bagak suruhan beliau hanya memberikan satu pertanyaan, jika mampu dijawab, maka ia akan melanjutkan obrolan. Tapi jika tidak, dia tidak meladeni obrolan apapun.
Aku bertanya, “apakah tidak dilakukan upaya pemaksaan?”
“Jelas ada. Tapi beliau kan bukan orang sembarang pula. Tiap diluncurkan serangan, tiap itu pula serangan itu berbalik.”
“Maksudnya?”
Ia tidak menjawab dan terus melanjutkan cerita.
***
Setelahnya, aku dirasuki jiwa tentara pelajar yang berapi-api ingin mencari tau apa sebenarnya tujuan pemerintah kolonial bercokol masa itu. Dan apa hubungan pemerintah kolonial dengan Pak Kutar seorang cino itu. Aku tidak peduli lagi masa lalu Pak Mayor yang seorang pensiunan itu. Bagian dia sudah jelas: dia diberhentikan lantaran tidak bersedia memberikan keterangan keberadaan murid-murid ulama.
Kembali aku ingat mata nyala Anak Muda yang diceritakan, sengaja tidak aku sebutkan namanya karena aku tau kau sendiri akan menebak. Ya, benar, itu dia. Seorang pria jangkung dengan gigi sedikit tonggos. Bila dilihat sekilas dari poto-potonya, ia nampak seperti lurah pada umumnya; jas sedikit besar, kopiah miring, celana dasar yang juga nampak berukuran besar. Tapi bila dilihat berulangkali, dia terlihat sudah diterpa berbagai kepahitan. Pengasingan dan jauh dari keluarga seakan tergambar dari raut wajahnya. Tapi matanya, benar-benar nyala dan nyalang. Serupa bedil yang siap ditarik pelatuknya.
Tapi, kemudian tiba-tiba pikiranku melompat kepada Pak Mayor. Jadi aneh rasanya ketika mengetahui alasan ia diberhentikan. Dilain hal, ia begitu menghormati Pak Kutar yang pada masa lalunya merupakan seorang suruhan. Apa sebenarnya teka-teki yang sedang diberikan oleh Pak Mayor. Atau jangan-jangan Pak Kutar bukanlah pria parubaya yang rajin ke masjid itu. Aku tidak bisa memastikan karena dalam surat perjanjian tidak menggunakan poto Pak Kutar.
Seorang tua dipenghujung ceritanya malam itu mengingatkanku tentang bagaimana orang-orang di kampung Goligadi menyebarkan cerita-cerita masa lampau. Katanya, kau harus paham benang merah yang disampaikan, kalau tidak bisa-bisa salah menduga. Misalnya, orang-orang pasti menyangka Pak Mayor adalah seorang aparat negara resmi. Mayor yang dipakai olehnya bukanlah pangkat, melainkan nama asli yang diberi orang tuannya. Benar ia pernah disalah satu satuan, tetapi bukan satuan yang resmi dibentuk oleh pemerintahan waktu itu. Aku tidak bisa menjelaskan secara rinci kepadamu. Tapi yang jelas, cerita ini akan terus berlanjut, meski kau belum menemukan kebenaran apapun didalamnya. Percayalah, saat kau mengingat kisah-kisah ini, bahkan suatu tahun mungkin kau menemukan seorang Anak Muda dengan ciri-ciri persis yang kuceritakan, kau akan menyangka itu adalah Anak Muda yang kuceritakan. Barangkali pula, ketika kau menemukan ciri-ciri persis dengan Pak Kutar, kau akan mengira pula itulah Pak Kutar sebenarnya. Atau kau akan melihat orang-orang cino dan kemudian menduga-duga itu adalah Pak Kutar. Begitu juga dengan Pak Mayor, kau akan tetap mengingat nama itu sebagai dua sisi: pangkat dan nama. Tapi aku, seorang tua yang telah menceritakan kisah seorang Anak Muda kepadamu akan lenyap begitu saja, baik suatu tahun atau hari-hari seterusnya. Yang akan mudah kau tebak adalah si Anak Muda. Semakin dekat dan semakin kau mengingatnya, maka semakin dengan mudah kau lupa.
“O, ternyata dia Anak Muda itu. Mata nyala itu nyalang serupa bunga api diterpa cahaya. Bukan, bukan, itu bukan dia.”
“Benar. Kau akan terus menduga-duga semua tokoh dalam cerita ini begitu. Terus lanjutkan!”
[1] Semacam centeng
[2] Aturan yang dipakai khusus satu wilayah