Banyak Tikus
ada tikus di mana-mana
bermacam ukuran
bermacam warna
mondar-mandir bergilir
dengan langkah cepat
berharap tak terlihat
tapi bodohnya, tetap terlihat
toh badan mereka besar montok dan warna mereka mencolok
ada tikus pirang terang dengan variasi cokelat tua di tengah punggung
ada tikus hitam legam dengan ekor berwarna putih dan berbuhul di ujung
sebenarnya ada juga tikus yang tak terlalu besar, tapi dia juga montok,
dan juga berlalu dengan cepat walau masih mencolok.
bunyi cicit-cicitnya
aku pun bingung dengan perasaanku
entah merasa terganggu atau terbantu
dengan bunyi itu aku tahu mereka ada
dengan bunyi itu aku menebak posisi mereka
aku bisa yakin bahwa mereka tidak ada di dalam kamar kecilku
mengintai buku-bukuku
setiap mendengar bunyi cicit
dan memergoki mereka satu per satu lewat,
aku hanya bisa diam dan menatap
kemudian berharap
ada orang yang berpikiran menjebaknya,
atau meracunnya,
tapi yang pasti bukan aku.
jangankan untuk beli jebakan atau beli racun.
untuk beli makan sendiri saja aku tak punya duit.
aku takut jika beli racun dan meraciknya, malah keliru dan memakannya sendiri,
kemudian mati dan digerogoti tikus.
mereka akan semakin sehat dengan memakan mayatku.
bukan menyengsarakannya,
aku malah berkontribusi membuat mereka semakin makmur.
oh, sebentar…
apa yang terjadi jika tikus-tikus memakan mayat seseorang yang mati karena racun tikus?
apakah mereka itu juga akan ikut mati?
jadi, haruskah aku beli racun tikus itu?
karena memang murah, lebih murah dari harga sebungkus makanan di warung mbak irah.
8 September 2019
Meja Kosong
sudah lebih satu tahun penduduknya menghilang
ada yang cerita ia ditelan kemalasan
yang lain bercerita ia lari pontang panting sambil menerbangkan kekecewaan
meja dan kursi pasangannya itu kini hanya jadi persinggahan
bagi yang menunggu
bagi yang dijamu
bagi yang melepas remai dan linu
setiap orang yang melihat kekosongan meja itu
serta merta teringat pada segala sesuatu yang tak tertata
berserakan
tanpa sadar mereka menggumamkan satu kata:
pemberontakan
November, 2019
Bayi Burung
Bercengkerama di bawah pohon apel. Kata kita malam, tapi langit terang bagai siang. Tiba-tiba seekor bayi burung jatuh di pangkuanku. Kialnya seperti kucing mencari-cari aroma dengan hidung, kepala dibenamkannya ke dalam bajuku. Kau ambil bayi burung itu, lalu kau selipkan ke dadamu. Katamu akan kau kembalikan ke sarangnya di atas pohon.
Kita memanjat pohon apel bersama, hingga menemukan sarang burung setelah dahan kelima. Sarangnya sepi, ternyata dia sendiri, tak punya saudara.
“Biarlah kita temani sebentar. Biar dia di dadaku entah sampai kapan. Kita di sini pun nyaman sambil menghitung hujan,” katamu kasihan.
Kulihat ternyata memang sedang hujan. Tapi kita tak basah. Rindang pohon rapat seperti atap.
“Ini November, ” kataku, “Rempak hujan seperti sebal. Apa dia lelah karena kita tak kunjung basah?”
Kau tersenyum, menunjuk aliran air di sekitar pohon yang seakan rumah, “Banyak suara hanyut di sana. Sekarang kita hanya perlu saling tatap dan saling dekap untuk menerima.”
Bayi burung di dadamu tersenyum dan menari-nari.
“Kita sudah pulang,” katamu lagi.
Seketika dahan pohon apel tempat kita duduk menjelma lantai luas. Kita tak akan jatuh melompat-lompat bahkan berlarian bebas.
6 September 2019
Menyembunyikan Puisi
— kepada Qei
belum sempat kupasati
garis ceritamu susut
para peronda menyanyi di kamar mandi
berjaga menghalau kabut
tempias air pecah bising
mengibarkan sarung yang kau gantung
tempat tertidur asing angan dan asin kenangan
gema suara-suara memantul di dinding
membisikkan kepulangan
yang tak merengkuhkan pelukan
kau kulihat dalam ruang
yang pernah satu kali terbuka untuk dimasuki banyak orang
aku datang, diam, tak bergerak tak beranjak
kutatap matamu terbang
seumpama burung
pindah ranting ke ranting
mencari tempat pulang tak terjelang
Qei, ke mana kau sembunyikan puisi
dalam kepalamu yang ramai
aku mencari-cari
10 Agustus 2019
Rani Amalia Busyra
Lahir tanggal 16 November di Padang. Buku antologi pertamanya, Suara Batu, diterbitkan bersama teman-teman Sanggar Sastra Siswa SMAN 3 Jambi. Saat ini berdomisili dan bekerja di Palembang, juga bergiat di Komunitas Malam Puisi Palembang.