Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Puisi · 10 Mar 2024 12:56 WIB ·

Puisi Rani Amalia Busyra


 WikiArt.org Perbesar

WikiArt.org

 

WikiArt.org

WikiArt.org

Banyak Tikus

ada tikus di mana-mana

bermacam ukuran

bermacam warna

 

mondar-mandir bergilir

dengan langkah cepat

berharap tak terlihat

tapi bodohnya, tetap terlihat

toh badan mereka besar montok dan warna mereka mencolok

 

ada tikus pirang terang dengan variasi cokelat tua di tengah punggung

ada tikus hitam legam dengan ekor berwarna putih dan berbuhul di ujung

sebenarnya ada juga tikus yang tak terlalu besar, tapi dia juga montok,

dan juga berlalu dengan cepat walau masih mencolok.

 

bunyi cicit-cicitnya

aku pun bingung dengan perasaanku

entah merasa terganggu atau terbantu

dengan bunyi itu aku tahu mereka ada

dengan bunyi itu aku menebak posisi mereka

aku bisa yakin bahwa mereka tidak ada di dalam kamar kecilku

mengintai buku-bukuku

 

setiap mendengar bunyi cicit

dan memergoki mereka satu per satu lewat,

aku hanya bisa diam dan menatap

kemudian berharap

ada orang yang berpikiran menjebaknya,

atau meracunnya,

tapi yang pasti bukan aku.

 

jangankan untuk beli jebakan atau beli racun.

untuk beli makan sendiri saja aku tak punya duit.

aku takut jika beli racun dan meraciknya, malah keliru dan memakannya sendiri,

kemudian mati dan digerogoti tikus.

mereka akan semakin sehat dengan memakan mayatku.

 

bukan menyengsarakannya,

aku malah berkontribusi membuat mereka semakin makmur.

 

oh, sebentar…

apa yang terjadi jika tikus-tikus memakan mayat seseorang yang mati karena racun tikus?

apakah mereka itu juga akan ikut mati?

jadi, haruskah aku beli racun tikus itu?

karena memang murah, lebih murah dari harga sebungkus makanan di warung mbak irah.

 

8 September 2019

Meja Kosong

 

sudah lebih satu tahun penduduknya menghilang

ada yang cerita ia ditelan kemalasan

yang lain bercerita ia lari pontang panting sambil menerbangkan kekecewaan

 

meja dan kursi pasangannya itu kini hanya jadi persinggahan

bagi yang menunggu

bagi yang dijamu

bagi yang melepas remai dan linu

 

setiap orang yang melihat kekosongan meja itu

serta merta teringat pada segala sesuatu yang tak tertata

berserakan

tanpa sadar mereka menggumamkan satu kata:

pemberontakan

November, 2019

Bayi Burung

 

Bercengkerama di bawah pohon apel. Kata kita malam, tapi langit terang bagai siang. Tiba-tiba seekor bayi burung jatuh di pangkuanku. Kialnya seperti kucing mencari-cari aroma dengan hidung, kepala dibenamkannya ke dalam bajuku. Kau ambil bayi burung itu, lalu kau selipkan ke dadamu. Katamu akan kau kembalikan ke sarangnya di atas pohon.

 

Kita memanjat pohon apel bersama, hingga menemukan sarang burung setelah dahan kelima. Sarangnya sepi, ternyata dia sendiri, tak punya saudara.

 

“Biarlah kita temani sebentar. Biar dia di dadaku entah sampai kapan. Kita di sini pun nyaman sambil menghitung hujan,” katamu kasihan.

 

Kulihat ternyata memang sedang hujan. Tapi kita tak basah. Rindang pohon rapat seperti atap.

 

“Ini November, ” kataku, “Rempak hujan seperti sebal. Apa dia lelah karena kita tak kunjung basah?”

 

Kau tersenyum, menunjuk aliran air di sekitar pohon yang seakan rumah, “Banyak suara hanyut di sana. Sekarang kita hanya perlu saling tatap dan saling dekap untuk menerima.”

 

Bayi burung di dadamu tersenyum dan menari-nari.

 

“Kita sudah pulang,” katamu lagi.

 

Seketika dahan pohon apel tempat kita duduk menjelma lantai luas. Kita tak akan jatuh melompat-lompat bahkan berlarian bebas.

 

6 September 2019

Menyembunyikan Puisi

— kepada Qei

 

 

belum sempat kupasati

garis ceritamu susut

para peronda menyanyi di kamar mandi

berjaga menghalau kabut

 

tempias air pecah bising

mengibarkan sarung yang kau gantung

tempat tertidur asing angan dan asin kenangan

 

gema suara-suara memantul di dinding

membisikkan kepulangan

yang tak merengkuhkan pelukan

 

kau kulihat dalam ruang

yang pernah satu kali terbuka untuk dimasuki banyak orang

aku datang, diam, tak bergerak tak beranjak

kutatap matamu terbang

seumpama burung

pindah ranting ke ranting

mencari tempat pulang tak terjelang

 

Qei, ke mana kau sembunyikan puisi

dalam kepalamu yang ramai

aku mencari-cari

 

10 Agustus 2019

Rani Amalia Busyra

Lahir tanggal 16 November di Padang. Buku antologi pertamanya, Suara Batu, diterbitkan bersama teman-teman Sanggar Sastra Siswa SMAN 3 Jambi. Saat ini berdomisili dan bekerja di Palembang, juga bergiat di Komunitas Malam Puisi Palembang.

Artikel ini telah dibaca 107 kali

Baca Lainnya

Puisi M. Allan Hanafi

29 September 2024 - 02:56 WIB

WikiArt.org

Puisi Y. Thendra BP

22 September 2024 - 20:27 WIB

992 City View by Friedensreich Hundertwasser via wikiart.org

Puisi Sus S. Hardjono

15 September 2024 - 06:37 WIB

William H. Johnson, Children at Ice Cream Stand via WikiArt.org

Puisi Lalik Kongkar

7 September 2024 - 20:29 WIB

Puisi Maulidan Rahman Siregar

26 August 2024 - 04:00 WIB

Pentecast by Emil Nolde via wikiart.org

Puisi Adit Febrian

26 August 2024 - 03:31 WIB

Sunday Afternoon on the Island of La Grande Jatte by Georges Seurat via wikiart.org
Trending di Budaya