Mataku seperti terhipnosis melihat jari-jari lincahnya mengetuk senar di atas gagang dan fret gitar elektrik berwarna cyan di pangkuannya.
Pemuda yang bermain solo gitar di trotoar itu seolah tak peduli dengan riuh dunia sekitarnya walaupun di depannya, beberapa orang yang lewat melemparkan koin juga lembaran uang di tas gitarnya yang terbuka–tapi lebih banyak yang hanya berlalu. Dia tidak seperti pengamen kebanyakan. Seperti yang kalian tahu, mereka lebih banyak meminta uang daripada keterampilan bermain gitar maupun kualitas vokalnya.
Sungguh, dia sangat menikmati petikan dan tekanan jari-jarinya pada senar. Dari seberang jalan, di bangku teras kafe Hinam, tempat favoritku merilekskan saraf-saraf sepulang kantor, suara lengking gitarnya masih jelas terdengar melalui kotak speaker yang ia jadikan tempat duduk.
Rambut urakannya, jari-jari laba-labanya di atas fret gitar, dan lengkingan melodi “Like an Angel” milik Yngwie Malmsteen yang ia mainkan, mengingatkanku pada “Jay”, salah seorang “bandit”–panggilan kami untuk anggota band rock yang kami bentuk–semasa bermain band di kampus 18 tahun lalu.
***
Ia memperkenalkan diri dengan nama “Jay” ketika pertama kali aku mengajaknya bergabung dengan band yang baru aku bentuk. Aku menemukannya saat ia memainkan melodi gitar White Lion di depan kamar indekos, berseberangan dengan kos-kosanku. Kami memang membutuhkan seorang lead gitar. Aku hanya bisa bermain gitar ritem, karena kemampuan bermain gitarku pas-pasan. Sebelumnya, tiga mahasiswa pesimis telah setuju bergabung. Masing-masing memegang bas, drum, dan seorang vokalis. Hanya dua hal yang membuat mereka optimis: bermain band dan perempuan. Dan ketiga mahasiswa dengan masa depan absurd itu satu fakultas denganku.
Berbeda dengan anggota band lainnya, Jay dan aku memiliki beberapa kesamaan. Selain ternyata dari daerah yang sama, kami juga tidak terlalu serius dengan urusan perempuan. Lebih tepatnya, karena sadar akan wajah kami yang sering mereka ibaratkan toa masjid. Lain cerita dengan Luki sang vokalis, Iccung sang pencabik bas, dan Bhai tukang gebuk drum, sungguh mereka selalu telat datang ke studio untuk latihan karena ketiduran di indekos pacarnya masing-masing.
Jay sering datang ke kamarku jika tidak sedang latihan. Pemuda kurus dengan bahu mirip gantungan baju dan cekungan mata seperti kawah di permukaan bulan itu pasti tersenyum setiap kali berhasil memainkan part melodi baru dari band-band barat favoritnya.
“Gimana, mirip ‘kan?” Tiupan asap rokok mild menyembur dari mulutnya.
Ah, gadis itu–Gitar Ibanez merah maksudku–pasrah saja “dimainkan” oleh Jay di pangkuannya. Tiga keping pick gitar terserak di atas meja serupa fosil gigi ikan hiu di pasir pantai.
Meskipun permainan melodinya masih kurang halus–masih terdengar nada yang luput dari patukan jari-jarinya, aku takjub dengan kegigihannya mengulik skala-skala melodi tanpa bantuan tablature dan partitur. Ia hanya mengandalkan pendengarannya.
Jay yang bernama asli Jamal ternyata memiliki nasib yang kurang lebih sama denganku, anak seorang petani. Biaya hidup dan kuliah tergantung hasil panen dan musim di kampung. Satu hal yang membuatku salut, ia masih kuat menjaga salat, dan tak tergoda obat-obatan dan daun-daun “pembajak” pikiran yang sering dipakai pemain band itu.
Ketika azan berkumandang, seketika aku dan Jay menghentikan petikan gitar kemudian bergegas ke Masjid di depan studio. Bhai menggeleng-geleng, Iccung mengumpat, Luki meneriaki kami, “Dasar kampungan!”.
Jay berbicara dengan orang tuanya di HP malam itu. Aku dengar ia meminta tambahan uang kuliah. Namun, aku tahu ia hanya ingin membeli effect gitar baru. Katanya, ia sedang mengulik riff dan melodi Metalica.
Kawanku itu, kalau sedang mempelajari pola-pola melodi band favoritnya, mirip seorang pertapa di puncak Himalaya. Rambutnya semakin gondrong. Badannya mengilap oleh keringat. Ia tak akan keluar kamar hingga seharian, kecuali ke WC dan beli indomie.
Jay begitu terobsesi dengan dewa-dewa gitar favoritnya. Dan kami selalu terlibat percakapan tentang para gitaris dunia itu. Katanya, ia masih belum bisa menguasai melodi solo Mr. Big dan Still Got the Blues dari Gary Moore.
“Apa kau pernah perhatikan, jari manis Paul Gilbert sama panjang dengan jari tengahnya ketika bermain melodi?”
“Maksudmu, jari-jarinya tidak seperti manusia normal?” tanyaku penasaran.
“Entahlah. Permainannya terlalu cepat. Sama seperti Yngwie Malmsteen.”
“Saya rasa Jason Becker memiliki kecepatan dan komposisi melodi paling rumit. Tapi terdengar asik.”
“Mungkin mereka bukan dari planet bumi. Atau mereka mendapatkan kehebatan di atas rata-rata manusia normal karena telah menjual jiwa mereka kepada iblis.”
“Iblis?”
Aku menggeleng. Ada-ada saja.
Mungkin sekutu iblis lebih pantas disematkan kepada Luki, Bhai, dan Iccung. Aku ingat suatu malam, seorang gadis manis menghampiri kami setelah manggung di sebuah kafe.
“Band kalian akan semakin terkenal jika dikelola secara profesional,” kata gadis itu setelah menjabat tangan kami dan memperkenalkan namanya: “May.”
“Tentu saja kita butuh backing vocal!” Luki mendekat. Kulihat matanya seperti serigala yang lama tak bertemu mangsa.
May bergabung dengan band sebagai manajer setelah memenangkan voting tiga suara melawan suara aku dan Jay. Dan tak menunggu waktu lama, May akhirnya jatuh dalam pelukan Luki.
Ulah mereka berlanjut ketika mereka bertiga diam-diam meneken kontrak dengan kafe Hinam yang ternyata milik pengusaha besar, ayah May. Malam itu, sebuah mobil van menjemput kami. Hanya aku dan Jay yang terlambat memahami. Kata mereka, kita harus manggung malam ini untuk acara launching sebuah stasiun radio.
“Eh, si Bos, papanya May, request Still Got the Blues milik Gary Moore dan hits dari Mr. Big,” kata Luki saat kita briefing di belakang panggung.
“Maksud mu, Apa? Lu mo bikin kita malu, hah? Lu tau kan Jay belum bisa mainin melodi dua lagu itu?” Aku mencengkram kerah baju Luki hingga terdesak di tembok. Tangan kananku mengepal dengan keras.
Untuk beberapa menit tak ada yang bersuara. Aku sangat benci terjebak dalam situasi seperti saat itu. Suara pelantang MC memanggil band kami untuk tampil diiringi tepukan tangan penonton yang tak sabar melihat pertunjukan kami.
Aku menatap wajah-wajah keparat personil bandku itu. Namun, aku tidak melihat Jay. Entah kemana dia.
Setelah beberapa kali nama band kami dipanggil, Gitaris kampung itu muncul juga. Akan tetapi, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot mata yang tak bisa kujelaskan. Ia seperti bukan dirinya.
Jay mengambil gitar dan menarik kami ke panggung. Aku terpana. Melodi interlude dan solo penutupan Still Got the Blues dilibasnya dengan sempurna. Beberapa hits Mr. Big ia mainkan penuh energi. Malam itu, Jay benar-benar menjelma dewa gitar.
Sejak saat itu, panggilan manggung kami semakin padat. Gairah bermusikku membara. Di sisi lain, hatiku begitu nelangsa. Ada yang berubah dari Jay. Ia tak peduli lagi jika aku mengajaknya salat. Bahkan, sorot matanya seperti menyiratkan sesuatu setiap kali aku memaksanya menghentikan petikan gitarnya sejenak.
Jay tak peduli lagi dengan kuliah; tidak pulang ketika bapaknya meninggal di kampung; tidak pernah mau ngobrol denganku tentang gitaris hebat dunia. Namun, harus kuakui, skill bermain gitarnya semakin gila. Ia semakin terkenal di kota sebagai gitaris tercepat.
Suatu malam aku menghampiri Jay di kamarnya. Suasana saat itu mengingatkanku ketika pertama kali menemukannya. Akan tetapi, kedatanganku sepertinya mengganggu kesibukannya mengepak barang dan gitar. Ia tak bersuara. Ekspresi wajahnya seakan-akan mengatakan, “Sorry aku pergi. Kehebatanku sekarang tidak sebanding dengan kalian.”
Tepat di semester akhir, band kami bubar. Bukan hanya karena Jay, tetapi tekadku sudah bulat untuk serius menyelesaikan kuliah. Aku tak ingin kerkubang dengan masalah Luki dan perempuan-perempuan yang kini balik menuntut pertanggung jawaban; dan Bhai yang tidak punya apa-apa lagi setelah menjual semua barangnya untuk membeli obat sakaunya; juga Iccung yang mendekam di pusat rehabilitasi penyakit yang konon tak ada obatnya itu.
***
Aku mengambil cuti tahunan di perusahaan dan mengunjungi keluarga di kampung. Aku teringat Jay. Kata orang, ia sudah lama tidak bermain gitar. Aku ingin menemuinya setelah belasan tahun bermain band.
Aku menemukan Jay di dalam sumur. Perawakannya tidak banyak berubah. Rambutnya gondrong tak terurus seperti pohon kersen yang hampir mati di depan rumah mantan istrinya saat aku mencari info tentangnya hari itu. Kata mantan istrinya, Jay terkenal sebagai “orang pintar” pencari mata air sumur. Semua orang mengakui kehebatannya dan memakai jasanya. Setiap titik lokasi yang ia gali, tak pernah gagal mendapatkan air sumur yang jernih.
“Jay!” Aku memanggilnya dari atas liang galian.
Jay bergeming. Rupanya earphone menyumbat kedua lubang telinganya. Aku melemparnya dengan kerikil kecil yang mengenai punggung mengilapnya yang berpeluh di dasar galian.
Ia mendongak kemudian melepaskan earphone dan mencabut kabel jack di HP dalam sakunya.
“Masih ingat saya, Jay?”
Terdengar alunan musik “Red Devil” milik Yngwie Malmsteen dari HP-nya. Jay menatapku tajam. Bola matanya seperti waktu itu. Seolah-olah kegelapan menguasai jiwanya. Ia tersenyum, memasang kembali earphone kemudian memunggungiku untuk kembali menggali tanah.
Gorontalo, 2023
RIDWAN HASAN PANTU, seorang guru yang belajar menulis. Beberapa tulisannya kebetulan terbit di sejumlah media cetak dan online seperti Koran Fajar, Harian Sultra, Go Pos, Madrim pos, bacapetra.co, magrib,id, wacaku.id. Kebetulan juga sudah menulis buku satu-satunya berjudul “Back to Makassar”. Kadang-kadang bermain facebook dengan nama akun: Rh Pantu.