Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Naik Becak Denganmu – SAJAK-SAJAK NGADI NUGROHO Asmara yang Tidak Diakali Waktu Tutorial Mengubah Nasib – SAJAK-SAJAK MAULIDAN RAHMAN SIREGAR Bila Ia Tertidur – Sajak-sajak Ilham Wahyudi

Cerpen · 3 Dec 2023 13:05 WIB ·

OPERA DAN JANJI SEMUSIM – Cerpen Unzila Rohmah


 OPERA DAN JANJI SEMUSIM – Cerpen Unzila Rohmah Perbesar

 

Tirai dibuka, alunan biola yang menyayat membuat gedung dipenuhi gemuruh tepuk tangan penonton. Sudah tidak ada lagi waktu bagi Sarah untuk memikirkan dirinya, hatinya. Lampu sorot kini telah mengarah ke tengah panggung, cahaya kekuningannya melewati baris-baris podium dengan kursi-kursi yang merah. Kursi yang dipenuhi manusia, namun Sarah tidak mengenal mereka. Yang perlu Sarah lakukan hanyalah menghampiri pemuda yang terduduk di ujung sorot cahaya kuning itu, menepuk bahunya dari belakang, duduk di sebelahnya, menatap, lalu mengusap air mata. Sarah hanya perlu menanggalkan perasaannya.

Pemuda itu perlahan mengangkat wajah. Mata yang bergenang air kesedihan itu mengingatkan Sarah pada ayahnya di suatu malam yang dingin. Malam di ruangan dengan sofa dan satu meja. Deru mesin pemanas ruangan bersahut dengan isakan mama yang kala itu memilin ujung abaya sedang ayahnya berdiri memandangi jendela. Sarah tak pernah tau sejauh mana pandangan mata ayahnya berlabuh serta apa yang sedang dipikirkannya, barangkali jika ayahnya menoleh pada Sarah yang duduk mati kutu, maka mata ayahnya seperti mata kuali pemuda di hadapan Sarah. Hitam, dalam, dan tiada dasar. Dulu dan kini, Sarah hanya mengerti bahwa hatinya juga terluka.

Gesekan biola menguat, mengiringi Sarah dan pemuda itu melewati lirik-lirik ciptaan Ahmed Rami. Saat alunannya melirih, pemuda itu berdiri, berjalan, menjauh dari Sarah dengan diikuti sorot cahaya kuning. Meninggalkan Sarah yang mematung menatapnya di antara gelap opera. Dia akan pergi menuju kota sekian lama, menjadi seorang dokter dan akan menemui Sarah untuk menepati janjinya.

Tajrii dumuu, wa enta haajirni, wa laa nasiini, wa laa Fakkirnii…(1)
Wa umrii maskii min hubbak, mahma gharomak lau’anni…(2)

Namun, cahaya putih menyala dan Sarah mengandung, Sarah berbahagia. Pemuda itu tidak pernah memberi kabar apapun. Yang dia lakukan hanya berjanji pada Sarah di bawah patung Ibrahim Pasha dan bulan yang selebar Qatayef(3) . Waktu itu, dia dan Sarah duduk bersebelahan, memandang metro(4) , diam, menekuri jari masing-masing, lalu dia bersumpah akan kembali. Sarah hanya perlu menunggunya.

Pemuda itu berkata lirih, tentang harapannya. Kelak setelah mimpinya tercapai dia akan menaiki metro yang beroperasi dari El-Mattareya menuju Attaba. Pulang dengan melewati sembilan stasiun pemberhentian; Hadayeq Zaitoun, El-Qubba, El-Damardash dan setelahnya. Sejenak dia berganti kereta di El-Shohadaa dan keluar di stasiun Attaba. Katanya, di bawah patung ini, pemuda itu dan Sarah akan bertemu kembali. Dia akan membawa beribu satu kisah dan menyerahkannya di pangkuan Sarah. Sarah hanya diam, namun pikirannya berkata, waktu berkuasa atas segalanya.

Sarah tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Pemuda itu terlambat. Sarah harus bermain dengan pria lain sebaik mungkin, menjalankan naskah yang sudah diguratkan. Sarah harus menanggalkan perasaan. Sarah hanya mengerti bahwa penonton harus pulang dengan membawa kesan terhadap penampilannya.

Gesekan biola, petikan oud (5) , dan opera yang kembali gelap. Mereka mengeja satu-satu suara Umm Kulstum. Suara yang mengandung mantra kesedihan. Pemuda itu barangkali tahu bahwa Sarah bisa bersabar menunggu. Tapi dia luput perihal waktu. Bunga Flamboyan telah memerah, memenuhi setiap ranting pohon, layu lalu gugur. Meski patung Ibrahim Pasha masih kokoh bersama kudanya. Namun, waktu tetap memiliki ujung, dan menunggu barang-tentu tidak dapat selamanya.

Laakiin aghirr, aghir mil lyii hubbak, Laakiin aghirr, wayysuuk hawaak akstar minni…(6)
Laakiin aghirr, aghir mil lyii hubbak, Laakiin aghirr, wayysuuk hawaak akstar minni…

Dua lampu sorot menyala. Warnanya merah, sangat merah. Sarah merasakan kesakitan yang dahsyat. Ia memegangi perutnya, duduk di kursi roda sembari ditemani suaminya. Mereka mencari rumah sakit terdekat. Mengitari begitu banyak rumah sakit, memasuki satu-satu ruangan, bertanya, apa ada dokter yang bisa membantu Sarah, tapi tidak ada.

Di desa kecil itu, tidak semua rumah sakit layak disebut demikian. Fasilitas belum lengkap. Tenaga medis tidak bertebaran. Mereka harus keluar dari Gamaliya, menaiki tremco(7) menuju kota. Sejenak Sarah musti bersabar hingga sampai di Rob’ah. Maka di situlah, kota yang katanya terdapat satu dokter, dia bisa membantu Sarah.

Cahaya merah dari lampu sorot itu meredup, perlahan berganti kuning. Pemuda itu berjalan menghampiri mereka dengan mata yang sama. Mata yang menatap Sarah dengan kedalaman tiada dasar. Tanpa kata yang terucap, wajah si pemudalah yang menggambarkan khawatir yang entah bercampur apa. Tangannya sigap merebut kursi roda dan membawa Sarah ke ruang bersalin secepat yang dia bisa. Meninggalkan suami Sarah yang mematung sekejap sebelum kemudian menyusul keberadaan istrinya.

Kali ini hentak musik perlahan menyusut. Semua bersedih. Beberapa penonton terisak. Setelah sekian musim, Sarah dan pemuda itu akhirnya bertemu. Dia menjadi dokter sesuai inginnya. Tapi mereka tidak bertemu di bawah patung Ibrahim Pasha. Tapi mereka tidak bersama. Entah siapa yang tidak menepati janji, entah sesiapa mengingkari.

Yuriid ala khootrii, kulli lyii bainanaa ittiqoll… (8)
Waa yaiis maak fikkrii, mahma ghiyaabak thaal… (9)
Wahissni wa’entak qashaad ‘ainii, wa syaghalnii wa enta ba’iid, ba’iid annii… (10)

Opera bercahaya terang dan Sarah menggendong anaknya, dan Sarah nampaknya berbahagia dan suaminya berbahagia. Tapi penonton makin nyaring menangis, makin tersengguk-sengguk. Barangkali serupa yang dirasa si pemuda, tidak bahagia. Dia memandangi Sarah dari jauh, dari balik jendela. Lalu dia berjalan sambil menunduk, barangkali juga berpikir dan menyesali janjinya. Barangkali berpikir dan menyesali keputusannya meninggalkan Sarah.

Sarah berdiri. Anaknya dibawa oleh suaminya. Lampu sorot berkedip-kedip putih-kuning lalu hitam yang merah seakan menandakan cuplikan adegan yang melesap cepat. Sarah ternyata tak bahagia. Malam-malam dilaluinya tiada sedikit tanpa bayang si pemuda. Ia ingat betul janji itu. Ia ingat untuk selalu menunggu di Attabah saat malam hingga kereta terakhir. Hingga di masa pergantian musim yang kesekian dan gugur flamboyan berserakan di tanah-tanah, ayahnya datang bersama seorang pria. Menandakan Sarah tiada boleh lagi menunggu. Sarah telah dimakan usia dan pria itu kaya serta baik sebab mau menerimanya.

Musik terakhir membawa ingatan Sarah atas segala keputusannya. Di antara biola dan petikan oud, sang penyair Ahmed Rami sungguh lihai menuliskan dan menyimpan sendiri perasaan agung perihal cinta. Barangkali Sarah memang salah. Baiknya ia mengikuti Sang penyair untuk tidak menodai hati sesiapa. Di ujung petikan oud, sorot cahaya kuning menembus Sarah yang terduduk di tengah panggung. Setelah gedung senyap sejenak, penonton memberikan tepuk tangan yang gemuruh memenuhi gedung. Semua terpukau atas pementasan itu. Meski dalam cerita, Sarah dan pemuda itu tidak bersama, namun keduanya membawa kesan kepada penonton sebelum kemudian berhamburan keluar dari opera.

Namun, dalam keremangan yang seolah berakhir. Saat hanya tersisa segelintir orang yang bergegas membersihkan opera, merapikan dan mengemas alat-alat musik. Sarah masih terduduk di tengah panggung meski tanpa sorot cahaya lampu satupun. Ia terus menyesali keputusannya. Andai ia tidak keluar di malam musim dingin itu dan meninggalkan rumahnya setelah pertengkaran hebat dengan ayah, ayah yang tidak mengizinkan ia bermain opera. Andai ia memilih meringkuk di kamarnya yang nyaman dan mengiyakan perjodohan. Andai ia tidak hanyut dalam peran yang dimainkannya. Andai ia tidak sungguh berdiam, menikmati dan menatap kedua mata kuali itu. Andai sejak awal ia sadar, bahwa semua sekadar naskah. Maka ia tidak akan pernah jatuh cinta kepada pemuda itu, yang bahkan hingga opera selesai tiada Sarah ketahui namanya.

Kini opera dan hati Sarah sudah kosong, meninggalkan Sarah yang menekuri lantai kayu panggung. Suara Umm Kulstum meringkuk di sela-sela dinding, di balik kursi-kursi merah, sambil membawa dingin meski tanpa pengiring musik. Suara yang seakan disertai gesekan-gesekan biola itu lebih menyayat dari sebelumnya, dan Sarah entah sampai kapan akan beranjak dari kesedihannya.

Wa ana lii Alby milkii aidiik, tien’iim, wa tahrim, zayy hawaak…(11)
Allaiil alayya thaal, baini sayhr wa annaum…(12)
Wa asma’ laumm ‘uzzal, asma’ laumm ‘uzzal…(13)
Adhak wa aana majruh…(14)
Wa umrii maskii min hubbak, mahma gharomak lau’anni….
Wa umrii maskii min hubbak, mahma gharomak lau’anni…

 

Selesai.

 

Keterangan:

[1] Meleleh air mataku karena kau meninggalkanku, jangan lupakan aku dan jangan membuatku memikirkanmu...

[2] Seumur hidupku aku tak pernah mengeluh dari sebab mencintaimu, biarpun cintamu menyiksaku…

[3] Makanan mesir yang berbentuk bulat.

[4] Stasiun kereta.

[5] Alat musik Mesir yang dimainkan dengan cara dipetik.

[6] Tetapi aku cemburu, cemburu pada orang yang mencintaimu, aku cemburu dan penasaran, siapakah orang yang mencintaimu dan mempertahankan cintamu lebih dari aku…

[7] Kendaraan umum.

[8] Terbenam jauh dalam benakku, semua yang terucap diantara kita

[9] (tetapi) hidup bersamamu, itu yang ada dalam fikiranku, biarpun dirimu telah menghilang cukup lama

[10] Aku merindukanmu berada di depan mataku, kau buat diriku gelisah, dan engkau jauh, jauh dariku

[11] Aku, yang hatiku telah kau miliki, kau buat senang dan kau buat susah sekehendak hatimu…

[12] Malam kurasa begitu panjang, antara terjaga dan meratap…

[13] Dan aku mendengar ejekan dari para pencela, ya aku dengar ejekan para pencela itu…

[14] Aku hanya tertawa, (meski sebenarnya) aku terluka

Artikel ini telah dibaca 120 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ikan-ikan Menggelepar Lalu Mati

15 September 2024 - 07:18 WIB

Niko Pirosmani, Party by the River Tskheniszkali (fragment) via WikiArt

Penyewa Rumah yang Aneh

8 September 2024 - 02:35 WIB

TENGGELAM DALAM LUKISAN YANG KESEPIAN: SANTRI BERIKUT KEUNIKANNYA

26 August 2024 - 23:14 WIB

Sumber: Abdul Halim via Instagram

Niat Supono

26 August 2024 - 03:00 WIB

Little Dog (1888) - Henri de Toulouse-Lautrec via wikiart.org

Pulang

7 July 2024 - 01:09 WIB

JATUH CINTA ATAU HANYA SEKADAR PRASANGKA

1 July 2024 - 01:17 WIB

Trending di Budaya