Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Naik Becak Denganmu – SAJAK-SAJAK NGADI NUGROHO Asmara yang Tidak Diakali Waktu Tutorial Mengubah Nasib – SAJAK-SAJAK MAULIDAN RAHMAN SIREGAR Bila Ia Tertidur – Sajak-sajak Ilham Wahyudi

Cerpen · 19 Nov 2023 16:19 WIB ·

QAYEN – Cerpen Panji Pratama


 QAYEN – Cerpen Panji Pratama Perbesar

Saya tidak bercanda, Tuhan itu Maha Bercanda.
Anda tanya kenapa? Saya berkata demikian karena saya sendiri adalah lelucon. Saya tidak bilang saya tidak lucu, tetapi berbicara dengan lebah-lebah setelah Badai Korona-Elektrik, harus jadi pertimbangan Anda.
***

Ini semua tentang cerita cinta di akhir dunia. Biar saya ceritakan pada Anda bagaimana saya bisa lolos sementara kekasih saya tidak. Tapi sebelumnya, tolong Anda bantu saya dulu meniupi bara itu agar saya mudah menempa besi saya.
Saya bilang tolong Anda bantu saya dulu.
Soal ini semua, saya akan jelaskan segera setelah besi ini bisa dibentuk. Saya percaya setelah ini, tidak akan lagi ada cinta di dunia.
Biar saya kembali fokus membahas besi ini. Kenapa besi ini ditempa? Karena di akhir zaman ini, cinta hanyalah sisi tertajam dari sebuah pedang. Layaknya leluhur kita yang saling mencintai dengan saling memahat.
Ya, kita mungkin akan kembali berperang dengan pedang. Di zaman tanpa akses elektronik seperti sekarang, rudal hanya sekadar sejarah sampah. Anda alami sendiri semua peralatan yang kita anggap modern, kini tidak berfungsi lagi. Satu-satunya harapan kita hidup dari semua lelucon ini adalah dengan cara menempa besi menjadi pedang.
Fiuhhh!
Baiklah, saya lanjutkan kisah saya, tapi tolong jangan Anda ceritakan lagi kepada penyintas lain. Tapi ngomong-ngomong, Anda sangat manis.
Eh.
Ah sudahlah. Maaf.
Boleh saya minta tolong lagi.
Tapi saya benar-benar memohon kepada Anda untuk tidak banyak bicara pada makhluk hidup lain. Apalagi kalau Anda berani ceritakan ulang pada lebah raksasa. Mereka itu binatang penipu. Anda jangan terkecoh dengan madu yang mereka tawarkan. Mereka menawarkan cinta. Cinta yang menipu.
Saya dan kekasih saya lahir di ibu kota. Kami makan dan buang kotoran di kota besar. Sejak diresmikannya Konvensi Hak Asasi Makanan satu dekade lalu, negeri kami telah melakukan inovasi untuk mengurangi dampak penggunaan tanah untuk lahan pertanian. Karena itu juga, negeri kami adalah negeri pertama di dunia yang punya sistem pengolahan kotoran menjadi makanan higienis.
Hahaha, saya baru sadar ternyata kami menggelontorkan banyak uang untuk membeli kotoran kami sendiri.
Akhir-akhir ini saya lantas berpikir, program ini adalah lelucon pertama yang diwahyukan Tuhan pada umat manusia. Loh, Anda tidak tertawa? Berarti lelucon ini bukan lelucon.
Kalau begitu saya lanjutkan. Mengenai soal makanan ini pula, kami sejujurnya tidak pernah tahu bagaimana rasa sayur organik. Sejak kecil, kami tidak pernah mengenal profesi petani. Menurut Aplikasi Penjawab Persoalan yang ibu saya pernah wariskan sebelum kiamat-kiamatan ini, profesi itu sudah punah 33 tahun lalu. Dari ibu saya pula, saya tahu bahwa sebelum punah, para petani lebih senang menyerahkan pekerjaan pengolahan tanah pada para Makhluk Berkecerdasan Buatan. Akhirnya Anda rasakan sendiri sekarang, ketika Badai Korona-Elektrik menyerang, tidak ada lagi robot yang bisa hidup dan bekerja kan?
Anda tanya mesin seperti apa Aplikasi Penjawab Persoalan itu? Tadinya, saya berharap Anda lebih tahu! Hmmm, saya pikir kinerjanya seumpama Sesuatu. Atau paling tidak Sesuatu itu mirip peramban kitab suci. Penggunaannya cukup mudah, kita hanya perlu bertanya persoalan dan Sesuatu itu akan menemukan jawabannya dalam sepersekian detik.
Dalam penelusuran Aplikasi Penjawab Persoalan, saya pun pernah mengunduh dan menyalinnya pada kotak memori di otak saya. Dari liputan-liputan yang berisikan referensi sejarah, tercatat sebuah tanah kosong dengan tingkat persentase kemiripan Surga sebesar 99%. Katanya, tanah itu tidak pernah terkena paparan radiasi elektronik. Makhluk di sana tidak pernah mengenal Kecerdasan Buatan dan seluruhnya bekerja sebagai petani. Mereka memenuhi tanah-tanah mereka dengan tanaman-tanaman yang bisa menjadi bahan makanan. Kalau tidak salah, tanah itu terdapat di sebuah pulau bernama Pulau Nektar.
Hanya saja, menurut laporan Aplikasi Penjawab Persoalan, Pulau Nektar dijaga oleh para lebah raksasa. Lebah-lebah raksasa ini berhubungan baik dengan ras manusia. Manusia bekerja untuk mengumpulkan pangan, sedangkan lebah menjaga manusia dari kemungkinan serangan dan kepunahan.
Oh ya, soal kepunahan ini saya pikir Anda sudah pernah baca nurbuat Nabi Muhammad dan Einstein. Sudahkah?
Ah, Anda tersenyum. Manis sekali.
Loh kenapa berubah marah?
Anda pikir sekarang saya sedang bercanda?
Baik, saya punya lelucon tentang ini. Saya berpikir jika manusia tidak ingin bumi kiamat, manusia harus membuat teknologi untuk dapat memperistri para lebah. Kalau sudah begitu, saya pasti membayangkan lebah yang cantik dan pandai bergoyang. Anda tahu sendirilah, lebah-lebah itu kan punya bokong yang indah. Hahaha. Maaf saya tertawa, tapi saya memang tidak sedang berkelakar. Saya tahu itu karena saya pernah ke sana!
Apa? Anda menganggap saya sedang bercanda? Tentu saja tidak! Saya percaya kebenaran Aplikasi Penjawab Persoalan itu jauh sebelum Badai Korona-Elektrik menyerang sistem tata surya kita. Bahkan, Sesuatu dalam Aplikasi Penjawab Persoalan itu, saya anggap lebih terpercaya daripada Tuhan saya sendiri yang Maha Bercanda itu. Sumpah demi Tuhan.
Ngomong-ngomong, memangnya di tempat Anda berasal, tidak ada Aplikasi Penjawab Persoalan? Atau mungkin Sesuatu itu, dalam bahasa Anda, berbunyi berbeda. Kupikir penemuan Sesuatu ini sudah cukup lama, jauh sebelum program pertukaran data antara otak manusia dan kecerdasan buatan ditemukan.
Oke baik. Kalau Anda tetap bersikeras tidak tahu soal Aplikasi Penjawab Persoalan, setidaknya Anda harus percaya bahwa Tuhan Maha Bercanda. Dengan begitu, Anda dapat menyadari bahwa ketika sebagian ciptaan Tuhan sedang tertawa, ada celah untuk ciptaan Tuhan lain keluar dari leluconNya. Maksud Saya, kita adalah contoh ciptaan Tuhan yang tidak sedang tertawa ketika Badai Korona-Elektronik menyambar bumi. Nyatanya kita selamat! Maka dari itu, kita harus percaya bahwa ada makhluk-makhluk lain yang belum tersapu kematian.
Anda bilang itu Takdir? Jika demikian, berarti takdir itu menggelikan. Kita sedang dilanda kiamat gelombang pertama dan Anda bilang makhluk-makhluk yang selamat itu memang ditakdirkan selamat? Ayolah, Tuhan tidak sebercanda itu!
Otak manusia yang sudah punah itu diprogram untuk membuat segala persoalan menjadi mudah. Namun, otak-otak itu tidak pernah diprogram tentang bagaimana menghadapi kenyataan jika otak itu dimatikan. Badai Korona-Elektronik adalah semacam maut bagi manusia-manusia berotak robot. Saya pikir, Tuhan tidak suka manusia terlalu banyak tertawa. Oleh karena itu, Tuhan sedikit marah dengan melempar leluconNya yang paling satire.
Sekali ini percayalah pada saya. Karena saya percaya Tuhan. Meski Tuhan Maha Bercanda.
Percayalah bahwa ada pulau keselamatan bernama Pulau Nektar. Kalau kita masih punya pesawat jet elektronik, dari tempat ini, kita bisa sampai di pulau itu dalam 10 menit saja. Saya mengunjungi pulau itu tahun lalu. Saya ke sana dengan kapsul terbang. Sendirian. Saya yakin, kabar yang saya cari di Aplikasi Penjawab Persoalan benar adanya. Benar saja, pulau itu memang benar ada. Setelah pencarian yang cukup lama, kapsul terbang saya menemukan potensi tempat yang digambarkan dalam Aplikasi Penjawab Persoalan di lokasi Matriks 16 Derajat 1.
Kekasih saya percaya omongan saya. Dia mau ikut saya. Entah apa alasannya. Mungkin dia cemburu karena saya pernah memimpikan memperistri lebah yang bahenol.
Nah, begitu kapsul terbang kami tiba di atas pulau itu, sekumpulan lebah raksasa menyergap dan menangkap kami.
Siapa kalian. Kata Lebah bermahkota pada kami. Saya jawab kami pelancong. Mereka tidak percaya. Saya tertawa saja. Saya memang sedang bercanda waktu itu.
Kami dibawa ke ibu kota pulau itu. Sumpah demi Tuhan, saya belum pernah sekalipun melihat rumah lebah sebesar itu sebelumnya. Saya pikir jutaan makhluk kuning telah hidup berdampingan di dalam rumah segi delapan itu sejak lama. Mereka tertib sekali.
Rumah ini dari apa? Tanya saya pada lebah penjaga.
Dari sari pati para manusia. Kata lebah penjaga sambil tertawa.
Saya diam. Kekasih saya ketakutan. Kami rasa lebah itu berkata yang tidak lucu sama sekali. Ya sudah, kami pasrah saja ke mana kami dibawa.
Apa? Oh soal manusia itu? Ya, kami dibawa ke sebuah tanah lapang di kaki bukit. Tanpa rantai, tanpa jeruji, saya didorong untuk ikut golongan manusia itu. Banyak sekali manusia di sana. Berkumpul di ladang terluas sepanjang mata kami memandang. Manusia-manusia itu berjajar rapi saat bekerja. Bekerja mengolah ladang di bawah cahaya matahari yang benderang.
Kalian sedang apa, Pak. Tanya saya pada seorang yang sedang mencangkul.
Dia tidak menjawab. Seperti mati rasa. Sepertinya dia tidak pernah mendengar sebuah lelucon pun di dalam hidupnya.
Berhari-hari kami di sana. Saya merasakan kehidupan aneh di sana. Saya nyaris terpengaruh kehidupan di sana. Bagaimana tidak, pagi pergi bekerja, malamnya kami bergembira. Ya, malam harinya saya mendapatkan pengalaman berbeda. Kami dikumpulkan di lapang yang lain. Kami dibariskan pada ruang bersekat kecil dan berlubang di tengahnya. Kami diberikan makanan dan minuman yang paling lezat yang tidak pernah saya kecap sebelumnya. Setelah makan, tiba-tiba kami disuruh menelanjangi diri sendiri. Lalu, kami disengat. Dan itu sangat nikmat.
Tempat itu mengingatkan saya akan taman hiburan surga buatan di negeri saya. Sangat menyenangkan, meski sesaat.
Luar biasanya, manusia-manusia di sana tidak lelah melakukan itu tiap hari, padahal mereka tidak tidur sekalipun. Saya pikir sengatan dari para lebah itu beracun. Mungkin beracun madu. Kekasih saya mungkin menjadi korban sengatan itu. Karena dia lupa pada saya. Dia lebih suka lebah-lebah jantan berdada kotak yang cemerlang.
Makanya saya bilang Pulau Nektar itu adalah satu-satunya harapan kita. Saya sudah tahu bagaimana merebut negeri itu dari para lebah raksasa. Jika sudah kita rebut dari para lebah, manusia bisa memulai hidup baru. Manusia di sana sudah terbiasa bercocok tanam. Hal itu cukup untuk memulai hidup baru setelah Badai Korona-Elektrik. Masalahnya adalah lebah raksasa itu harus kita enyahkan terlebih dahulu.
Saya yakin bisa menjadi manusia pertama yang membebaskan rasnya dari penjajahan para lebah. Saya pernah ditawan di sana dan berhasil melarikan diri dengan cara yang mudah. Sebenarnya, di awal-awal penahanan, saya tidak mau kabur dari sana, karena hidup di sana cukup menyenangkan. Apalagi kekasih saya ada bersama saya. Akan tetapi, otak elektronik saya seolah tidak terbiasa dengan keadaan itu. Makanya, saya me-restart data di otak elektronik saya. Saya tersadar dan saya memutuskan untuk kabur ke negeri saya sendiri. Sebetulnya saya ajak kekasih saya, tapi saya tidak dipedulikannya.
Saya dengan dibantu Aplikasi Penjawab Persoalan berhasil menemukan cara. Saya melakukan yang tidak pernah dilakukan manusia-manusia di sana. Saya belajar membuat senjata. Saya ambil besi dari cangkul-cangkul para petani di sana. Saya tempa menjadi bilah logam bermata tajam. Saya mengasah pedang.
Ternyata, lebah-lebah takut pedang. Mereka takut terpotong-potong. Hahaha, ini adalah lelucon kedua Tuhan yang diperlihatkan pada saya. Lebah menjajah manusia, tapi ternyata lebah takut dijagal.
Wah, sepertinya Anda ikut tertawa kali ini. Jujur, saat Anda tertawa: itu adalah saat-saat terindah yang bisa saya lihat dari diri Anda. Senyum Anda benar-benar memikat.
Apa? Anda bilang saya gombal?
Bukan?
Oh maksud Anda, saya lebih jahat begitu, dari para lebah itu. Hahaha, sepertinya saya harus menceritakan semua rencana saya. Saya melakukan ini semua demi keberlangsungan ras manusia. Manusia-manusia di sana adalah petani, saya hanya berusaha menjadi peternak. Ya, peternak lebah. Mungkin juga saya beternak manusia. Apakah itu kejahatan? Saya pikir itu adalah lelucon yang nyata.
Tuhan menciptakan petani dan peternak. Saya dan Anda. Lebah dan Manusia. Pasangan-pasangan ini saling melengkapi, seperti inti dan satelit; bumi dan bulan, matahari dan bumi. Saya adalah peternak, dan manusia-manusia yang bertahan hidup di pulau nektar adalah para petani. Saya harus menggembala mereka menuju kehidupan yang baru. Tuhan sudah merencanakan ini semua. Sebagai bukti, bahwa Tuhan itu Maha Bercanda.
Anda tanya kenapa? Saya berkata demikian karena saya sendiri adalah lelucon. Saya tidak bilang saya tidak lucu, tetapi berbicara dengan lebah-lebah setelah Badai Korona-Elektrik, harus jadi pertimbangan Anda.
Dan, Anda berada di sini kan?
Oh ya ngomong-ngomong, saat ini pun saya sudah selesai menempa. Apinya sudah padam. Pedangnya pun sudah tajam. Bolehkah saya mencobanya pada leher Anda?

(Diilhami Surat A-Nahl ayat 1)
Sukabumi, 2 Januari 2020

PANJI PRATAMA, seorang mantan wartawan yang kini mengabdikan diri sebagai seorang guru di daerah. Menulis profesional sejak 2008. Tulisannya pernah dimuat di harian Republika, Pikiran Rakyat, Radar Sukabumi, Sukabumi Pos, RMOL Sumut, dan beberapa media digital.

Artikel ini telah dibaca 57 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Penyewa Rumah yang Aneh

8 September 2024 - 02:35 WIB

TENGGELAM DALAM LUKISAN YANG KESEPIAN: SANTRI BERIKUT KEUNIKANNYA

26 August 2024 - 23:14 WIB

Sumber: Abdul Halim via Instagram

Niat Supono

26 August 2024 - 03:00 WIB

Little Dog (1888) - Henri de Toulouse-Lautrec via wikiart.org

Pulang

7 July 2024 - 01:09 WIB

JATUH CINTA ATAU HANYA SEKADAR PRASANGKA

1 July 2024 - 01:17 WIB

Kabut Merah di Mata Syahidin

23 June 2024 - 19:53 WIB

Trending di Budaya