Apakah aku telah dianggap sebagai burung mati dalam sangkar besar ini? Itu pertanyaan bodoh yang muncul dalam kepala Laila setelah nonton drama Korea: The World Of Married. Pertanyaan itu mengambang, melayang-layang seperti hantu Casper, gentayangan dalam kepalanya. Pertanyaan itu juga menjadi penutup kesendiriannya di ruang tengah.
Laila beranjak dengan gerakan lemah, dan melepaskan napas kuat-kuat. Sebelum memulai langkah, ia lakukan peregangan tubuh, merentangkan kedua tangan ke arah langit-langit ruangan, lalu menarik tubuhnya kuat-kuat ke atas, seperti gerakan hendak lepas landas. Dan ia melangkah menuju kamar, namun langkah kakinya terhenti sejenak. Ia tergoda melihat benda bundar yang menempel di dinding, dan membatin: Pukul 12:30. Hah. Ia lepaskan napas lagi. Setelah puas melihat benda itu, ia lanjutkan langkahnya dengan gerakan begitu pelan. Dalam perjalanan menuju kamar, tiba-tiba ia teringat sebuah adegan panas dalam drama itu. Adegan itu terputar berulang-ulang, menguasai kepalanya, dan ia merasa ada sesuatu sedang bertumbuh dalam tubuhnya. Sesuatu itu kemudian menyala-nyala, bergejolak. Ia bingung, tak tahu cara memadamkannya.
Ketika sampai di depan kamar, sapasang matanya disambut dengan daun pintu yang terbuka lebar. Ketika melihat ke dalam kamar itu, ia selalu merasa akan memasuki kehidupan lain, yang hanya memberinya dua pilihan: hidup atau mati. Tetapi, apapun yang akan terjadi, ia tetap harus masuk ke dalam, mengikuti alur cerita. Ia tiba di kasur, duduk di sisi sebelah kiri. Punggungnya yang gempal disandarkan ke dinding. Sesuatu yang hidup dalam dirinya itu masih menyala-nyala, dan ia mulai gelisah.
Kais berbaring menghadap ke arah gorden. Sebelum Laila ada dalam kamar, dia telah menikmati banyak tontonan video dalam gawainya, video yang menayangkan perempuan-perempuan montok berpayudara besar berjoget-bejoget dengan pakaian yang hampir menyatu dengan kulit mereka, yang bila diresapi dalam-dalam, pasti mampu membangunkan berahi yang sebelumnya tertidur. Biasanya, kalau sudah terlalu banyak dirasuki macam-macam bentuk tubuh perempuan, Kais akan hidup dalam imajinasinya. Dia akan hidup bersama Sarini, Sophia, dan Aril Tatum, yang tak lain dan tak bukan adalah tetangganya sendiri, yang memiliki bentuk tubuh menggiurkan. Anehnya, dia tak pernah membayangkan tubuh Laila, istrinya sendiri.
Akhir-akhir ini, Laila mengalami sulit tidur. Kali ini, karena masih belum bisa memejamkan mata, ia hidupkan gawainya lagi. Matanya berjalan-jalan di halaman Facebook, mencari-cari sesuatu yang menurutnya menarik untuk dibaca, dan ia menemukannya. Tetapi, sebelum membaca, matanya berpindah pada bagian belakang tubuh Kais. Tampaklah di matanya otot-otot kekar itu. Seketika ia teringat pada Jefri Dahmer, dan seketika itu juga gairahnya bangkit, membuat yang hidup dan menyala di dalam tubuhnya semakin bergejolak, dan tiba-tiba ia ingin bercinta. Dua atau sampai empat kali tak mengapa. Ia ingin berada di atas tubuh Kais, menjadi penunggang kuda. Ia akan tunjukkan kepada Kais, bahwa dirinya masih bisa menjadi penunggang liar. Akan tetapi, ia tahan gejolak itu kuat-kuat, sampai-sampai keluar keringat dingin dari dalam tubuhnya. Kenapa? Sebab ia memang tidak biasa melakukan segala sesuatu dalam keadaan terpaksa. Lagi pula, ia tahu, suaminya pasti lelah setelah seharian bekerja—Kais bekerja sebagai tenaga kontrak di Dinas Perhubungan Kota, gajinya kecil, dan untuk mendapatkan tambahan penghasilan, dia bekerja sebagai karyawan di Toko Sadupa sehabis pulang kantor, dan dia akan pulang ke rumah pukul 11 malam.
“Nama apa yang pantas untuk hidup seperti ini?” ia bertanya seperti itu kemudian setelah selesai memerhatikan bagian belakang tubuh Kais. Pertanyaan itu cukup lama menggenang dalam kepalanya. Tak mau larut dengan pertanyaan bodoh itu, jarinya mulai menekan tautan artikel sebuah media ternama, dan mulai membaca. Sepasang matanya kemudian terpaku pada beberapa paragraf dalam halaman itu yang tulisannya begini:
Biasanya, pemerintah militer Jepang meminta bantuan dari camat dan lurah untuk bisa menarik para wanita menjadi Jugun Ianfu.
Dalam perkembangannya, sistem perekrutannya berubah. Orang-orang dari rumah bordil biasanya menjebak para wanita dengan mengatakan bahwa mereka akan dipekerjakan di pabrik atau restoran.
Cara lain adalah dengan mengelabuhi para wanita dengan iming-iming akan dipekerjakan sebagai perawat di pos terdepan tentara Jepang.
Setelah direkrut, mereka dijanjikan akan ditempatkan di pos yang nyaman baik di negaranya sendiri atau di luar negeri.
Selain tipu muslihat, cara lain yang digunakan untuk bisa merekrut para wanita menjadi Jugun Ianfu adalah dengan kekerasan.1
Ia tertarik pada kata: Jugun Ianfu. Lalu mencari arti dari kata itu. Setelah menemukannya, tanpa bisa dikendalikan, imajinasinya pun hidup. Ia membayangkan sedang ada dalam sebuah ruangan. Di ruangan itu hanya ranjang beralas tikar dan tanpa kasur. Lampu bolham 5 watt mengantung di atas ranjang. Lalu ia melihat dirinya sendiri sedang digiring tentara Jepang ke atas ranjang. Ia melihat kedua tangan dan kakinya dipegang erat-erat oleh empat tentara Jepang. Ia melihat dirinya sendiri tidak merasakan apa-apa, cengar-cengir saja, saat melihat tubuhnya digilir oleh tentara Jepang.
“Ah, seru juga kalau aku ada di posisi itu. Akan tunjukkan pada mereka kalau aku bisa mengalahkan semua berahi mereka, meski main keroyokan.”
Ia bergumam seperti itu kemudian, tanpa sedikitpun ada rasa penyesalan. Ia tidak meneneruskan membaca, dan layar gawai dibiarkan padam dengan sendirinya. Imajinasi lain sedang hidup dalam kepalanya dan ia sedang berada dalam sebuah ruang ingatan. Ada tiga layar dalam ruangan itu. Di bawah masing-masing layar ada satu tombol besar bertuliskan play. Ia pencet tombol itu satu per satu. Maka ia pun menikmati tontonan peristiwa yang sudah pernah terjadi dalam hidupnya.
*
Peristiwa Pertama
Laila duduk di sebuah kafe yang letaknya di sekitar pinggiran kota. Kafe itu menghadap ke area persawahan. Sangat pas untuk dinikmati tatkala hati sedang kacau dan pikiran sedang suntuk. Kala itu ia sedang bosan dengan kehidupan di rumah yang ceritanya cuma itu-itu saja, dan memutuskan keluar rumah tanpa izin dari Kais.
Ia memesan Cappucino dan kentang goreng. Sambil menunggu pesanan datang, ia nikmati lanskap persawahan hijau. Tak lama kemudian pesanan itu datang. Ia terkejut saat melihat yang mengantarkan pesanan itu adalah Jefri Dahmer (pemilik kafe), mantan kekasihnya dulu. Selanjutnya, dalam pertemuan tak terduga itu, sebuah percakapan terjadi.
“Tubuhmu tambah sehat saja,” ledek Jefri.
“Kau mau mengatakan tubuhku lebar, begitu, kan? Tapi, meski begini, aku masih lezat.”
“Ya-ya. Kau masih tampak lezat. Sudah berapa anakmu?”
“Jangan tanya itu. Kita bicara yang lain saja.”
“Oke-oke. Kita bicara yang lain saja. Bagaimana rasanya hidup dalam rumah tangga?”
“Ah, itu lagi. Jangan tanya soal itu. Yang lain saja.”
“Soal apa misalnya?”
“Soal kita berdua saat ini. Kau masih mencintaiku?”
“Eits, jangan tanya soal itu. Karena aku bisa terpancing untuk memulai lagi.”
“Kenapa memangnya kalau dimulai lagi?”
“Apa kau mau?”
“Boleh dicoba.”
“Sungguh? Bagaimana kalau ketahuan suamimu?”
“Jangan banyak tanya. Kita mulai saja.”
Setelah percakapan itu, Jefri mengenggam tangan Laila. Genggaman itu mamantik sebuah gairah dalam tubuh Laila bertumbuh. Dengan cara diam-diam dan sembunyi-sembunyi mereka menjadi sepasang kekasih lagi.
Peristiwa Kedua
Dalam sebuah kamar hotel, 212, Jefri melumat tubuh Laila. Udara dingin tak membuat tubuh mereka menggigil. Bahkan bulir-bulir keringat hangat bermunculan dari pori-pori mereka. Mereka melakukan sampai empat kali dalam durasi waktu satu jam. Gila! Dan setelah itu mereka bercakap-cakap.
“Kau tidak menyesali ini?” tanya Jefri.
“Hidup adalah cerita. Sudah jalani saja.”
“Suamimu tak curiga?”
“Dia sibuk dengan hidupnya sendiri.”
“Maksudnya?”
“Sejak tubuh ini melebar gara-gara obat penyubur, aku sering dianggap tak ada. Aku ada, tetapi sering dianggap tak ada. Kau bingung, bukan?”
“Apakah kau mencintainya?”
“Tentu saja. Tetapi, sepertinya, baginya, kenyamanan dan kenikmatan tidak ada hubungannya dengan cinta.”
“Aku tak mengerti.”
“Ya sudah. Intinya, dia tidak akan pernah bertanya apa pun selama aku masih ada di rumah saat dia pulang kerja. Kau masih sanggup?”
“Masih. Ayo kita lakukan.”
Dari siang hingga sore di hari itu, sebagian besar berisi cerita kebangsatan berahi Laila dan Jefri. Selebihnya, hanya percakapan-percakapan pengisi jeda.
Peristiwa Ketiga
Dalam sebuah tempat karaoke Laila dan Jefri ada di ruang nomor 14. Pintu ruangan dikunci dari dalam. Mereka bernyanyi. Kadang lagu tembang kenangan, kadang dangdut, kadang kerocong, pop, blues, jass, dan terus begitu berulang-ulang. Dan ketika lelah bernyanyi, mereka bercinta. Dalam durasi pendek, sekitar 30 menit, mereka melakukannya sampai tiga kali. Tetapi, ketika Laila mengajak untuk yang keempat, Jefri menolak, dan itu membuat Laila tersinggung.
“Kenapa? Sudah bosan?”
“Aku capek, Laila.”
“Waktu pacaran dulu, kau tidak pernah mengeluh seperti itu.”
“Itu dulu. Sekarang beda.”
“Kenapa beda?”
“Ya beda. Sudahlah, tak usah mengejar. Kita nyanyi-nyanyi saja dulu.”
“Aku tahu, kau bosan. Laki-laki memang suka begitu. Sering makan makanan yang sama, pasti membuat laki-laki bosan.”
“Sudahlah, Laila. Jangan bicara seperti itu.”
“Baik. Aku pulang saja. Karena kau sudah tak berselera dengan tubuhku.”
“Kau majnun, Laila.”
“Apa kau bilang? Aku majnun? Kenapa tidak dari dulu kau bilang begitu?”
“Berahimu tak terkendali, Laila.”
“Ya, mungkin kau benar. Tapi, apa itu salah?”
“Tidak salah. Tapi, mungkin lebih baik kau belajar mengendalikan berahimu.”
“Omonganmu mulai tidak beres. Sebaiknya aku pulang saja. Kita impas, ya? Tidak ada yang dirugikan. O, ya, ngomong-ngomong, kenapa kau tidak beristri?”
“Siapa bilang? Aku pernah punya istri. Tapi dia meninggalkanku karena aku tak kuat meladeni berahinya.”
“Dan sekarang kau juga kalah. Sudahlah, aku pulang saja. Dan setelah ini, tidak ada pertemuan lagi. Cerita ini selesai. Selamat tinggal.”
Setelah memasang kembali bajunya dan bercermin pada kaca lebar yang ada di dinding ruangan, Laila pergi. Jefri bernyanyi sendirian, merayakan kekalahannya dan sekaligus kemenangannya.
*
Laila segera keluar dari imajinasi itu setelah menyelesaikan semua cerita dalam ruang ingatannya. Lalu, tiba-tiba tubuhnya gemetar hebat, dan diletakkannya gawai dalam genggamannya di meja. Ia berbaring, memunggungi punggung Kais. Sepasang matanya tertuju pada daun pintu yang sengaja tidak ia tutup, dan kemudian bergumam:
“Tuhan, apakah Kau sedang menghukumku? Atau sedang menyelamatkanku?”
Ia kaji dua pertanyaan itu. Dikaitkannya dengan semua peristiwa yang sudah pernah dialaminya, dan kemudian ia bergumam lagi:
“Ya, mungkin Kau sedang menghukumku karena perbuatanku yang terdahulu, dan mungkin juga sedang menyelematkanku. Kau hukum rahimku sehingga tak bisa berbuah. Kau juga telah menyelamatkan rahimku dari hubungan gelapku bersama Jefri. Andai aku hamil waktu itu, maka rumah tanggaku pasti berakhir. Jujur, aku masih mencintai Kais. Meski sikapnya sudah tak seperti biasanya.”
Setelah mengatakan itu, sepasang matanya terpaku pada Biyung, kucing berbulu cokelat muda yang tengah tiduran di lantai kamar. Sejak kapan binatang ini ada di dalam kamar? Ia bertanya seperti itu, dan melupakannya kemudian. Pandangannya tertuju pada perut Biyung yang sudah besar. Mungkin, beberapa hari lagi Biyung akan melahirkan. Biasanya 6 bayi kucing sekaligus, seperti yang sudah-sudah. Bayi-bayi Biyung yang sebelumnya sudah diadopsi teman-teman Laila.
“Sebentar lagi aku punya anak,” gumamnya, “dan aku tidak akan membiarkan orang mengadopsinya.”
Ia ingin tidur, tapi tidak bisa, dan sesuatu yang hidup dalam dirinya semakin menyala-nyala.(*)
Asoka 2023
Catatan:
(1) Verelladevanka Adryamarthanino, Jugun Ianfu, Wanita Penghibur atau Korban Kekerasan Tentara Jepang?, Artikel Kompas, 13 Januari 2022
Agus Salim, lahir di Sumenep tanggal 18 Juli 1980, tinggal di jalan Asoka Nomor 163 Pajagalan Sumenep 69416 Madura-Jawa Timur. Cerpen-cerpen pernah dimuat di Kompas.id, Harian Rakyat Sultra, Solopos, Basabasi.co, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Republika, Suara Merdeka dan media lainnya. Bergiat di WAG Laboratorium Ide dan Cerita (LABITA). Buku kumpulan cerpen tunggal perdana: Lima Cerita dalam Satu Malam di Bawah Bulan Gerring, 2017.