Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Naik Becak Denganmu – SAJAK-SAJAK NGADI NUGROHO Asmara yang Tidak Diakali Waktu Tutorial Mengubah Nasib – SAJAK-SAJAK MAULIDAN RAHMAN SIREGAR Bila Ia Tertidur – Sajak-sajak Ilham Wahyudi

Budaya · 2 Nov 2023 18:02 WIB ·

Tembok Putih – Cerpen Haniah Nurlaili


 Tembok Putih – Cerpen Haniah Nurlaili Perbesar

Kak Rin belum beranjak. Ia masih memandangi tembok putih polos di hadapannya yang lebih terlihat seperti kanvas. Siap untuk dilukis menggunakan cat berbagai warna.

“Kira-kira, dekorasi apa yang cocok?” seingatku, sudah lebih dari lima kali dia menanyakannya padaku.

Kak Rin sedang berbahagia. Rumah impiannya bersama sang suami akhirnya berhasil terwujud juga. Bisa dibilang, kak Rin cukup berani. Ia mendirikan rumah modern minimalis di tengah-tengah kampung. Didesain oleh arsitek dan dibangun oleh kontraktor. Saat itu, bisik-bisik tetangga tak bisa lagi dibendung. Lek Wardi, tukang batu di kampung kami terang-terangan mengatakan kalau dia merasa sakit hati. Dia adalah tukang senior langganan bapak. Dia yang membangun rumah kami semenjak bapak dipindahtugaskan di daerah ini. Dia juga yang selalu dipanggil bapak jika rumah kami butuh renovasi. Bahkan bapak sering merekomendasikannya pada kawan-kawan di kantor karena hasil garapannya yang terkenal halus dan rapi.

“Jatuhnya nanti jelas lebih mahal, pak. Lebih baik menggunakan jasa tukang biasa.” Bujuk lek Wardi pada bapak. Ia bersikukuh, banyak kontraktor nakal yang suka menggelembungkan anggaran.

Namun Kak Rin tetap kokoh pada pendapatnya semula. Dia berdalih, kontraktor zaman sekarang pasti amanah dan transparan karena mereka mempunyai pasar di media sosial. Selalu ada netizen yang akan bertindak sebagai hakim sehingga para kontraktor nakal itu akan pikir-pikir sebelum berbuat curang.

“Lagi pula, dia teman sekolah Rin, pak. Ibu juga sudah kenal dengan keluarganya.” Tambah kak Rin yang semakin membuat Bapak tak enak hati pada lek Wardi.

Bohemian, skandinavia, vintage atau minimalis aja?” kak Rin kembali menoleh ke arahku karena sedari tadi aku belum menjawab dekorasi apa yang cocok untuk dinding putih polos itu. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku lebih suka tembok itu dibiarkan putih saja. Terlalu banyak dekorasi bisa menimbulkan kesan yang berbeda tentang pemilik rumah. Tapi, untuk kali ini, kurasa diam lebih baik. Karena aku juga tak punya cukup alasan dan pengetahuan yang kuat untuk meyakinkan kak Rin.

“Kok ndak tahu?” wajah kak Rin kecewa melihat responku yang hanya mengangkat bahu. Aku memang kurang tertarik dengan jenis-jenis dekorasi ruangan yang entah namanya saja sulit kusebutkan. Yang aku inginkan, semua barang-barang berserakan di rumah ini segera beres dan diletakkan pada tempatnya. Aku tak begitu peduli soal dekorasi. Aku lebih ingin rumah ini segera tertata rapi.

***

Esok, acara syukuran rumah baru kak Rin akan digelar. Kalau di kampung kami, disebut dengan acara slup-slupan. Semua persiapannya sudah diatur ibu dan bapak serta aku, si anak bungsu pengangguran yang sedang menunggu pengumuman hasil ujian masuk universitas. Kak Rin tidak akan dipusingkan dengan acara itu. Ia lebih gugup karena pekan depan teman-teman kuliahnya akan datang berkunjung ke rumah baru. Mereka terkesima dengan progress pembangunan rumah kak Rin yang selalu ia wartakan lewat media sosialnya. Terbukti ketika fasad rumah itu jadi, mereka begitu terpana.

“Idenya out of the box banget sih…”

“Cuma kotak, tapi malah kelihatan banget filosofinya.”

“Nggak sabar banget pengen lihat dalamnya.”

“Ini rumah impian aku banget, sih.”

Fix pokoknya kita harus kesana!”

Begitulah komentar beberapa teman-teman kak Rin yang sempat kulirik di grup alumninya.

***

Akhirnya, acara slup-slupan berhasil terlaksana. Acaranya berjalan lancar, walau aku sempat mendengar bisik-bisik tetangga yang kurang enak. Mereka mengkritik rumah kak Rin yang tidak seperti rumah pada umumnya.

Baiklah, kita mulai dari pagar. Pagar rumah kak Rin terbuat dari tembok menjulang setinggi satu setengah meter yang hampir menutupi seluruh bagian bangunan lantai satu. Pagar itu tak sepenuhnya tertutup, terdapat variasi lubang-lubang memanjang dengan sentuhan cat kamprot berwarna putih. Bagi tetangga, pagar yang tinggi menjulang itu membuat rumahnya seperti penjara. Sangat bertentangan dengan rumah zaman dulu yang hanya berpagar tanaman perdu. Sebenarnya, rumah-rumah lain di kampung kami juga menggunakan pagar. Namun pagar rumah kak Rin agak lain, mungkin menimbulkan kesan yang individualis.

Kemudian, pintu. Pintu utama rumah kak Rin yang tidak terletak di tengah-tengah ternyata juga menjadi masalah. Pintu harus diletakkan di tengah-tengah karena melambangkan keterbukaan si pemilik rumah, begitu ucap bapak. Tentu kak Rin tidak menurutinya, karena akan merubah bentuk fasad (tampak depan rumah). Tamu bisa masuk dari mana saja, tidak harus dari pintu tengah. Asalkan si tuan rumah mau membukakan pintu, begitu jawab kak Rin berkilah.

Masuk ke dalam rumah, para tamu akan disambut foyer berukuran 1×2 meter. Begitu melewati foyer, maka akan nampak tangga menuju lantai dua. Di lantai satu hanya ada ruang makan sekaligus ruang keluarga, dapur, kamar kecil dan sedikit area taman terbuka. Agak sempit memang, tidak seperti rumah-rumah joglo di desa kami. Sebenarnya tidak ada yang salah, karena lahan yang diberikan bapak memang terbatas.

“Menurutmu, rumah ini dipasangi paku emas, ndak?” bisik seorang bapak-bapak sambil mendongak ke langit-langit rumah.

“Mau dipasang di mana. Kan, tidak ada kuda-kudanya!” jawab bapak-bapak lain di sampingnya.

Kemudian kedua orang itu berbisik-bisik lagi, meyakinkan satu sama lain bahwa rumah ini akan terkena bala jika tidak dipasangi paku emas. Ada lagi yang berpendapat, ketika salah seorang dari mereka pernah melihat-lihat rumah kak Rin saat belum jadi. Dia mengomentari perihal kamar mandi yang menyatu dengan kamar. Katanya, jelas bisa mengundang setan.

Aku hanya geleng-geleng kepala. Aku memang sengaja duduk di balik tembok dapur agar bisa mendengar obrolan para tetangga. Aku sudah menduga, reaksi-reaksi seperti ini pasti akan bermunculan, karena bagi tetangga, rumah kak Rin memang tidak biasa. Namun, biarlah aku saja yang mengetahuinya. Kasihan kak Rin, dia dan bayi dalam kandungannya tidak boleh mendengarkan hal-hal yang akan menambah beban pikiran seperti ini.

Esoknya, seusai beres-beres yang belum sepenuhnya beres, kak Rin kembali memandangi tembok putihnya yang masih kosong. Sepertinya dia sudah memutuskan akan memakai dekorasi jenis apa, karena kulihat dia tadi sudah membeli beberapa barang di marketplace. Tinggal menunggu barang-barang itu datang dan masalahpun beres.

Tapi ternyata tidak. Kawan-kawan kuliahnya yang berencana datang pekan depan tetiba saja menelepon akan berkunjung hari ini. Mereka bahkan sudah dalam perjalanan. Mereka memajukan kunjungan karena pekan depan adalah hari libur panjang dan mereka berencana pergi bersama keluarganya masing-masing. Sontak, kunjungan dadakan itu membuat kak Rin kelabakan.

Bagaimana tidak, rumah kak Rin belum tertata sempurna. Masih banyak barang-barang yang belum datang. Dia juga belum menata tanaman-tanaman yang baru kemarin lusa ia beli. Barang-barang yang sudah ada juga belum sepenuhnya tertata rapi. Pun kitchen set baru akan dipasang esok hari.

Gimana ini, dek?” kak Rin kebingungan sambil memandang ke arahku. Kali ini aku tak akan mengangkat bahu, tapi aku sendiri juga bingung harus berbuat apa. Aku lebih memilih menyiapkan makanan dan minuman bersama ibu.

Sekitar satu jam kemudian, teman-teman kak Rin datang setelah drama disasarkan oleh Google Maps. Ada yang langsung nyeletuk bilang kalau ia tak menyangka rumah kak Rin sangat pelosok dan jauh dari kota. Firasatku tetiba saja menjadi tidak enak. Aku takut teman-teman kak Rin akan bicara yang tidak-tidak. Padahal, dulu saat masih kuliah, mereka juga pernah bertandang ke rumah kami. Seingatku, tak pernah ada omongan-omongan aneh yang keluar dari mulut mereka.

“Silakan dinikmati.” Ucapku setelah menyajikan beberapa piring kudapan serta minuman. Kulihat teman-teman kak Rin sibuk mengedarkan pandangan ke seisi rumah.

“Nanti kita home tour ya! Kita kirim ke grup.” Celetuk salah satu temannya.

“Apanya yang mau di home tour? Masih polosan gini juga.” Deg! Dugaanku sepertinya benar.

“Iya nih, aku kira bakal banyak spot foto. Ternyata rumahmu belum benar-benar jadi ya, Rin.” Sambung temannya yang lain.

Aku yang masih di dapur tak berani menoleh sedikitpun ke arah kak Rin. Aku tak bisa membayangkan wajah pucatnya ketika ia merasa tak bisa memenuhi ekspektasi teman-temannya. Akupun memilih naik ke lantai dua. Aku menenggelamkan wajahku ke dalam bantal sofa.

Dalam pandanganku yang gelap itu, aku teringat tembok putih polos yang belum sempat didekor kak Rin. Baiklah, kali ini aku akan meyakinkan kak Rin, lebih baik tembok itu tak usah diberi dekorasi apapun. Karena jika kita salah memberikan warna, bisa jadi tembok itu akan memberi kesan yang berbeda. Pun tentang omongan-omongan dari teman-temannya atau dari para tetangga. Bisa jadi menurut mereka itu adalah omongan biasa, tapi apa mereka tahu perasaan dari sang lawan bicara?

Jadi, biarkan tembok itu tetap putih, kak Rin. Ketika ada yang berbicara yang tidak-tidak, kau tak perlu lagi sedih maupun kecewa. Kau hanya perlu menyuruh mereka berbicara pada tembok, karena tembok tidak punya hati, dan semestinya dia tak akan pernah tersakiti.(*)

 

Haniah Nurlaili, bertempat tinggal di Gemolong, Sragen. Hobi menulis dan penyuka dekorasi rumah. Menulis sejak tahun 2008-2012. Vakum selama beberapa tahun karena ada kesibukan dan memulai menulis lagi pada tahun 2022. Karya-karyanya pernah dimuat di Solopos, Joglosemar, Kedaulatan Rakyat, Detik.com, ideide.ide, Fiksi Islami, Harian Rakyat Sultra, dan Cerpen Sastra.

 

Artikel ini telah dibaca 104 kali

Baca Lainnya

Pembaca: Keluarga dan Negara

8 September 2024 - 05:33 WIB

Portrait of Frida's Family, Frida Kahlo via wikiart

Penyewa Rumah yang Aneh

8 September 2024 - 02:35 WIB

TENGGELAM DALAM LUKISAN YANG KESEPIAN: SANTRI BERIKUT KEUNIKANNYA

26 August 2024 - 23:14 WIB

Sumber: Abdul Halim via Instagram

Puisi Adit Febrian

26 August 2024 - 03:31 WIB

Sunday Afternoon on the Island of La Grande Jatte by Georges Seurat via wikiart.org

Niat Supono

26 August 2024 - 03:00 WIB

Little Dog (1888) - Henri de Toulouse-Lautrec via wikiart.org

Soegi Bornean Resmi Rilis “Legawa”

17 August 2024 - 11:38 WIB

Trending di Budaya