Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cerpen · 11 Oct 2023 04:55 WIB ·

Tertahan Perut I Cerpen Rayi El Fatih


 Tertahan Perut I Cerpen Rayi El Fatih Perbesar

Kong. Begitu kami memanggilnya, seorang pria Cina sepuh yang  jenaka. Ia  pemabuk berat yang dermawan—setidaknya bagi orang-orang yang dimintai tolong untuk membelikan bir. Ia juga pria  yang ulet, bahkan di usia senjanya Kong masih mencari uang sendiri. Saban sore Kong selalu mengisi kantung-kantung plastik dengan air untuk kemudian dibekukan. Pernah sekali  waktu aku bertanya, buat apa repot-repot membuat es batu, dan Kong pun menjawab dengan caranya yang khas: Su-supaya  bi-bisa beli bir.

Ajaib. Padahal jika mau, ia bisa saja minum berkarton-karton bir dengan gratis. Namun, menurut Kong, selama masih mampu beli kenapa harus mengharap gratisan? Dunia ini tidak dibangun dengan hal-hal yang gratis, begitu katanya sambil menghitung jumlah kantung-kantung plastik yang telah diisi air.

Satu ketika kami sedang duduk melingkar di teras rumahnya yang besar, Kong bertanya, “Kalau kamong bisa punya mata satu lai mau ditaruh di mana?”

Kawanku yang hitam, pendek, keriting, dan juga pemabuk yang buruk menjawab akan meletakkan mata ketiga itu di jempol kaki agar  lebih mudah menemukan uang yang jatuh di jalan, dan uang itu akan dibelikan bir. Kawanku yang tinggi besar tetapi takut kecoa akan meletakkan mata ketiganya di bagian belakang kepala agar tidak bisa dibokong saat tawuran. Tentunya masih banyak jawaban lain, dan tetap saja hanya direspon Kong dengan gelengan kepala, atau gerakan telunjuknya. Katanya, “Kamong ini bo-bo-doh semua.”

Kontan saja kami saling pandang tak mengerti. Jalan pikiran Kong memang cenderung sulit diterka apalagi dimengerti. Hening, Kong memandangi kami satu per satu seperti seorang guru matematika ketika murid-muridnya tidak mengerjakan PR. Dari balik kacamatanya—yang menurut desas-desus adalah kacamata yang bisa menembus pakaian—terlihat sorot mata yang meledek. Kami, khususnya aku lebih memilih ditatap demikian ketimbang dikejar-kejar olehnya dan diancam akan ditembak pakai senapan angin.

Hal itu benar-benar pernah terjadi, sekira dua belas tahun lalu. Saat itu Kong mabuk berat dan entah kenapa tiba-tiba mendatangi kami yang tengah masyuk main qiu-qiu lantas marah-marah—dengan gagap tentu saja, dan itu lucu sebenarnya—dan tak lama berselang Kong menembak ke arah kami. Untung saja saat itu ia lupa mengisi pelor.

“Kalau be-beta taruh mata itu di sini.” Kong menunjukkan telunjuknya.

“Ke-kenapa Kong ta-taruh di situ?” Kawanku yang hitam, pendek, keriting, dan pemabuk bertanya sekaligus  meledek, Kong.

Cu-cu-cuki mai ni! Anak setan, bi-biadab!”

Seketika tawa kami pecah di udara yang berbau tembakau bercampur bau bir juga bau ikan julung asar, Kong pun turut terbahak-bahak, kami gembira, Kong juga gembira. Hal itu bisa kulihat dari matanya yang berpijar seperti Philips empat puluh watt yang tergantung di langit-langit. Selepas tawa kami mereda, Kong lantas menjelaskan alasannya mengapa ia memilih meletakkan mata ketiga itu di telunjuknya. Katanya, supaya gampang kalau mau ngintip perempuan mandi.

***

Siang ini Bula benar-benar panas; matahari seperti sengaja mengerahkan seluruh kemampuannya memanggang bumi, padahal kemarin hujan turun sangat deras dan membuat beberapa tempat tergenang banjir. Kota kecil kami berada di pesisir Utara Pulau Seram, dekat laut tentu saja, belum lagi adanya kandungan minyak dalam perut bumi Ita Wotu Nusa ini membuat cuaca panas adalah lumrah. Siapa pun yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini niscaya akan mengeluhkan betapa  meyengatnya panas di siang hari.

Aku tengah fokus menyetir saat tiba-tiba kawanku berkata dengan sangat pelan—bahkan nyaris menyerupai desisan—bahwa Kong meninggal, di Surabaya. Pria  Cina sepuh itu kini benar-benar telah sepenuhnya kehilangan pendar matanya.

Sebenarnya—setidaknya menurutku—Kong telah lama kehilangan separuh pendar di matanya. Sejak putri bungsunya kawin lari serta menjadi mualaf demi seorang Briptu polisi, pendar di mata Kong pergi. Sejak itu ia jadi lebih sering mabuk-mabukan bersama kawanku yang hitam, pendek, dan keriting.

Kelahiran anak putri bungsunya sekira delapan tahun silam memang sempat membuat pendar di mata Kong sedikit terang, tetapi tetap saja aku kehilangan Kong yang dulu. Kong yang jenaka, Kong yang sering dengan begitu bangga menceritakan masa mudanya, berapi-api. Apalagi ketika menceritakan bagaimana ia sukses menaklukan hati seorang gadis—yang kemudian memberinya dua putra dan dua putri—padahal  saat itu Kong masihlah seorang Cina miskin. Katanya selalu, be-beta dulu ini gaga hebat!

Menurut cerita Kong, ketika ia muda, laut pesisir Pulau Seram sudah seperti taman bermainnya. Bisa dikata ia mengenal semua buaya penghuni muara sungai yang ada di sepanjang garis pantai. Hampir semua kampung telah dijajaki,  ia terkenal sebagai pengepul kopra dan cengkih yang dermawan. Bahkan, masih menurut ceritanya, ia cukup disegani oleh raja-raja di pesisir Seram, dan itu memang terbukti bukan isapan jempol semata.

***

Sirene ambulan meraung-raung, terdengar pilu dan menyayat. Aliran kesedihan yang kurasakan dari suara itu membuat gendang telingaku seperti ditusuk-tusuk. Aku berduka, kawan-kawanku tentu saja juga berduka, pelayat yang mengekor di belakang ambulan pun pasti berduka. Bagaimana tidak? Kami kehilangan seorang pria Cina sepuh yang pernah mewarnai hari-hari kami dengan segala kejenakaan, segala kegagapan bicara, dan segala makian yang tumpah ruah begitu saja dari mulutnya yang lebih sering berbau bir.

Namun, yang lebih menyedihkah, aku tidak pernah bisa menyempatkan diri untuk sekadar mampir ke rumah duka. Tidak pernah bisa memberikan penghormatan terakhir pada Kong, padahal tadi dan kemarin aku sempat lewat sana, dan  itu dikarenakan oleh perut semata. Brengsek bukan?

Bahkan, saat ini, saat Kong akan dikuburkan pun aku hanya bisa menatap iring-iringan pelayat dari kejauhan. Aku seolah-olah merasakan mata ketiga Kong—yang ia letakkan di telunjuknya—menatapku dengan kekecewaan yang teramat dahsyat. Dari mata itu melesat sebutir pelor senapan angin; senyap, cepat, dan dengan sangat bengis menembus dadaku lantas bersarang di dalam sana. Di dalam sana pelor itu membesar, membesar, membesar, dan makin membesar kemudian pecah berhamburan. Pecah berhamburan dan menjebol dadaku setelah menjelma menjadi penyesalan yang teramat sangat.

Sekali lagi perut mengalahkanku. Sekali lagi perut mengalahkanku! Perut yang pernah Kong kasih kenyang. Perut yang pernah Kong isi dengan roti, nasi, susu, bahkan daging terbaik seperti  yang ia makan. Ya, perut ini yang sekali lagi menahanku hingga tidak bisa untuk sekadar menghadiri pemakamannya. Semoga Tuhanku mengampuniku. Semoga Tuhan pria Cina  itu mengampuniku, juga perutku.

Apa yang pernah Kong katakan bertahun-tahun lampau akhirnya terbukti. Bahwa terkadang perutlah yang akan membuat dua orang bahkan sekelompok sahabat menjadi jauh. Bahwa perutlah yang akan membuat orang menjadi lebih binatang dari binatang. Bahwa perutlah yang akan membuat setiap orang  harus memilih meskipun terkadang pilihan-pilihan yang ada tidak cukup baik untuk dipilih. Bahwa perutlah akan menciptakan satu momen paling brengsek bagi setiap orang.

Sore ini Bula murung—semurung seorang ibu yang ditinggal mati putra semata wayangnya setelah terlebih dahulu ditinggal mati sang suami—, dan langit di atas sana jauh lebih murung, seakan-akan para malaikat bersepakat untuk bermuram durja. Segerombol mendung berkerumun di atas bukit tempat Kong akan ditidurkan untuk selamanya. Tidur yang panjang, gelap, senyap, dan semoga saja bukan tidur yang murung.

Selamat jalan, Kong. Semoga kau masuk ke surga Tuhanmu, semoga di sana kau dapat minum bir sesuka hati, dan semoga di sana kau masih akan bisa mengintip bidadari yang mandi dengan mata ketiga yang ada di telunjukmu, dan jangan lupa kabari kami tentang kemolekan bidadari-bidari itu, lewat mimpi tentu saja. (*)

Rayi El Fatih, Sopir truk penyuka biru dan Manchester United. Saat ini berteduh di akun Facebook dengan nama yang sama dan di akun IG @rayi.ef

Artikel ini telah dibaca 63 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Pelajaran Menjahit

9 February 2025 - 16:16 WIB

Wikiart.org

Bulu

31 December 2024 - 16:53 WIB

Norval Morrisseau, Two Owls and Two Chicks, via WikiArt.org

Catatan Akhir Tahun yang Tidak Kutulis Saat Akhir Tahun Tapi Tetap Saja Akan Kutulis Karena Sebenarnya Tidak Ada yang Benar-benar Berakhir.

30 December 2024 - 19:38 WIB

Ilustrasi: Ahmad Redho Nugraha

Finus Jadi Sarjana

15 December 2024 - 20:01 WIB

Kent Monkman, The Three Bachelors, via WikiArt.org

Ssst!

1 December 2024 - 06:22 WIB

WikiArt.org

Hal-hal yang Baik

1 December 2024 - 05:24 WIB

Trending di Cerpen