Saku Putih
Kerikil jalan basah sebab tangis
Sebab pula sesapan pedih pejalan letih
Mata menjelalat,
Mencari celah untuk istirahat
Mantra-mantra tak henti melantun
Sebagai bentuk utusan hidup
Lengkingnya begitu merdu
Dan pita suara tak mau ikut membantu
Kau tampak ramah,
Kau kais serpihan sayapmu
Dari saku putih yang kau sebar beberapa waktu lalu
Kembalilah kau terbang
Kau tak dicipta untuk berjalan
Apalagi tanpa alas diatas jalan keras
Pada Penghabisan Rembulan
Tepat pada penghabisan rembulan
Kau pasrahkan ayat pada kapuk lapuk
Segala jamuan langit,
Kau redam dalam sangkar lusuhmu
Ibu jari mengajak anak-anaknya
Memaksa benda mati bersuara
Harap-harap palsu,
Luruhan lara menjadi asa
Selesaikan,
Lantas rapatkan tirai mutiaramu
Kau hanya boleh membukanya kembali,
Ketika kupu-kupu berani hinggap pada melati
Kepada Peniti
Hujan enggan reda padanya
Namun debu masih memeluknya
Bekas goresan itu masih ada
Pisau tumpul yang diasah dengan tangan sendiri
Ia berselimut untaian doa ibu
Berdiri di belakang mesin penggiling sengsara
Yang menghasilkan bulir, yang tak bisa ditanak matang
Lantas mengapa?
Mengapa angin masih kau konsumsi?
Dan kau biarkan debu bergelantung bebas di tubuhmu?
Berbaliklah,
Biar ibu yang membasuh
Yang Diatas
Teruntuk yang di atas
Mohon ampun dengan segala hormat
Dari saya, tersembah sebuah surat
Persetan dengan segala,
Baginda tidak buta aksara
Kami di sini,
Tertunduk dan tersayati
Peri bumi pamit pergi
Mencari bulir untuk yang dikata abdi
Maha kuasa sang penguasa
Si kaya yang semena
Sedang si kecil menjadi kaki
Sucinya sumpah menjelma serapah
Kelingking manis menjadi sampah
Dan sekarang sudah sampai tahta
Tanpa hirau yang katanya dulu nyata
Tuan Puan kau bukan Tuhan
Tapi mengapa takdir peri ada ditanganmu
Tuan Puan menunduklah
Pintu-pintu merah menyambut pandanganmu
Pisau Ukir dari Surga
Jika Tuhan membuka pintu surga.
Tak akan aku berpacu untuk menetap disana.
Hanya akan kukunjungi sebentar,
dan kupinjam sebuah pisau ukir.
Akan kuukir sebuah akar rumput
dan menjadikannya peti
Lantas kuajukan pada Tuhan
Sebagai tempat tetapku nanti.
Dari Pembangkang Untuk Ibu
Bu,,
Pembangkangmu bertumbuh
Mulai keluar dari dekapmu
Membawa raga berjumpa makna
Ia hampir saja tuli
Kicauan burung tanah menyakiti
Ia hampir saja buta
Tak mampu lagi membeda keambangan fakta
Kini lantunannya meredu biru
Tak selantang ketika senandung padamu
Ia buntung,
Terlalu banyak yang musti diraup
Tangannya belum mampu memeluk
Terompahnya menjerit sepanjang hari
Berteriak, selalu ingin diganti
Sebab lintas yang penuh duri
Dan yaaa, Ibuu
Pembangkangmu tahu..
Tak sedikitpun hujan ingkar pada musim
Maka mohonkan padaNya
Ia menjadi replika atas dirimu
Pena
Hitam di atas putih
Bukan berupa nada, apalagi raungan
Ku dengar, sumber kasih adalah kisah
Maka kan kurangkum bersama nyanyian bulan purnama
Sengaja,.
Sangat sengaja
Tak sedikitpun kutambah majas disana
Supaya baik kau menangkapnya
Ku ciptakan kembali
Hitam di atas putih
Kali ini sebuah mantra
Yang bekerja hanya untuk dua hamba
Wahai sang maha segala
Sirami taman agar berbunga
Bawalah merpati sampai ke telinganya,
Bahwa mawar yang tak sengaja ditanam
Tumbuh dengan sempurna
Firnanda Dina Puspitasari, kerap disapa Momo. Lahir 1 Desember 2001 di Ponorgo Jawa Timur. Saya sedang menempuh pendidikan S1 Sastra Indonesia di Universitas Negeri yogyakarta, tepatnya semester 5. Memiliki hobi berkuliner dan menonton film horor.