Tenggelam
Rumahku tenggelam. Di tengah-tengah lautan yang mulai meninggi. Sampai ke permukaan gedung. Tak ada lagi awan-awan yang terlihat di atas sana. Tak ada lagi matahari yang menerangi kamar kecilku. Orang-orang pun tenggelam. Aku juga.
Kuburan Kakek
aku pulang ke kampung halaman untuk mengunjungi kakek di rumahnya
air dalam cerek kami bawa dari perjalanan kota menuju kampung ini; Enrekeng
anak-anak sebayaku sudah mulai sibuk dengan handphone di genggamannya, sibuk mengurus istri dan anaknya, selebihnya keluar massompe entah di mana
aku pulang ke kampung halaman untuk mengunjungi kakek di rumahnya
menyiram setiap ujung-ujung usianya yang mulai layu dan semakin tua
ingin kuceritakan setiap detik yang kulalui di hidupku bahwa aku melewati banyak hal untuk bertumbuh
sedang dia tak mampu menceritakan padaku soal alam baka dan siksa kubur itu
aku pulang untuk memungut setiap taburan rinduku yang tersisa di setiap perjalanan pulang menuju ke sekolahku
hari itu aku mengunjugi kakek di rumahnya; di kuburannya
Krisis Pangan
Kompor gas. Botol minuman. Panci. Wajan. Teplon. Piring. Gelas-gelas. Sodet. Kursi. Meja makan. Tupperware. Tutupan panci. Kulkas. Semunya menggantung di tengah-tengah dapur. Tak ada makanan di sana. Namun, anak-anakmu kelaparan. “Kau makankan apa mereka?”, kata Indoq. “Tak ada uang untuk beli songkolo’…”, ucap Amboq. Anak-anak itu terus menatap peralatan dapur itu yang menggelantung di atas kepalanya.
Kabar Duka
aku teringat ketika kakek memanggil-manggilku sebelum kepulangannya
di malam hari, beliau menyebut-nyebut namaku,
namun tak ada yang tampak di bawah lampu
bagai angin yang menembus tengkuk
seakan ingin memberitahuku tentang ketiadaannya sesegera mungkin
ah, bukan!
bukan dia yang bersuara
halusinasilah yang sedang melandaku dalam insomnia yang menyerang
ketika ia berselimut dalam kelambunya yang menerawang,
saat ku hendak ke sekolah pagi itu
tak ada salaman
tak ada kecupan
tak ada senyuman
tak ada salam perpisahan
aku meninggalkannya dengan kekhawatiran yang kubawa di dalam tas sekolahku
sepulangku ada kabar duka membahana
Kematian
kematian adalah mengumpulkan rasa sedih setiap orang dalam satu ruang untuk merelakan kepergian
kematian membiarkan roh-roh menjadi angin-angin yang melewati pintu-pintumu, jendela-jendela rumahmu, dan bunga-bunga di pekaranganmu
kau akan tumbuh bersama kesedihan, duka, dan luka yang menyayatmu saat berita duka itu datang menghampiri
kematian pun akan kembali padamu, lalu menghisap seluruh sendi-sendimu
mungkin akan sakit bagai sengat suntikan atau sesakit kulit-kulitmu melepaskan dirinya, mungkin juga tidak–tidak sesakit apapun
kematian mungkin tidak memburumu, namun ia akan selalu mengintaimu
kematian adalah harapan besar menuju kekekalan
Nelayan yang Jobless
Tak ada lagi nelayan yang mampu menyeberangi lautan ombak. Mereka telah mati diantara koral-koral yang layu di dasar lautan itu. Tak ada lagi ikan-ikan yang mampu menelusuri puncak lautan, sebab terperangkap jaring dan menghilang di antara senjata yang menggema.
Pantai Marbo
Pantai. Lautan. Lepa-lepa. Penyu. Sunset. Para ikan. Matahari. Biru. Karang. Koral. Langit. Hilang entah kemana.
Hujan Pembawa Kematian
sore itu hujan melanda kampung halaman nenek
namun anehnya matahari tetap menampakkan dirinya dan tak ada mendung sama sekali
aku tetap memercayai bahwa hujan turun sebab seorang gadis menangis di atas sana dan tak ada yang mampu menghentikannya bahkan Tuhan
aku terus terpikir oleh pikiranku sendiri, mengapa Tuhan tak memberikan anak gadisnya itu sebuah permen atau es krim saja agar ia berhenti tersedu-sedu di waktu-waktu jangggal ini
orang-orang terdengar berbisik-bisik, “engka kapa’ tau lo’ mate na bosi mappakusi he!”
aku mengerti apa yang dikatakannya, namun aku tak paham maksudnya
mengapa mereka mengaitkan hujan seperti ini mampu membawa kabar duka
tiba-tiba dari kejauhan, aku mendengar orang-orang menyeru-nyerukan kata ‘allahu akbar’, apa benar kematian sedang melanda kampung ini, ucapku dalam hati
terdengar sayup-sayup orang-orang menyebut -nyebut bahwa Puang Matoa Bissu berpulang ke sisi Tuhan
Reklamasi
Lepa-lepa menepi di pinggiran pantai. Tak mampu lagi berkelana di bawah langit-langit yang biru itu. Hanya tersisa tanah dan gedung-gedung tinggi yang angkuh.
________
Faika Alhabsyie, seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin, yang sedang menempuh studi akhir prodi Sastra Bugis-Makassar di Kota Makassar. Hobinya membaca buku, menulis puisi di waktu senggang, journaling, volunteering dan nonton film/serial di waktu luang.