Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Naik Becak Denganmu – SAJAK-SAJAK NGADI NUGROHO Asmara yang Tidak Diakali Waktu Tutorial Mengubah Nasib – SAJAK-SAJAK MAULIDAN RAHMAN SIREGAR Bila Ia Tertidur – Sajak-sajak Ilham Wahyudi

Puisi · 1 Oct 2023 16:22 WIB ·

Nelayan yang Jobless – SAJAK-SAJAK FAIKA ALHABSYIE


 Nelayan yang Jobless – SAJAK-SAJAK FAIKA ALHABSYIE Perbesar

Tenggelam

Rumahku tenggelam. Di tengah-tengah lautan yang mulai meninggi. Sampai ke permukaan gedung. Tak ada lagi awan-awan yang terlihat di atas sana. Tak ada lagi matahari yang menerangi kamar kecilku. Orang-orang pun tenggelam. Aku juga.

 

Kuburan Kakek

aku pulang ke kampung halaman untuk mengunjungi kakek di rumahnya

air dalam cerek kami bawa dari perjalanan kota menuju kampung ini; Enrekeng

anak-anak sebayaku sudah mulai sibuk dengan handphone di genggamannya, sibuk mengurus istri dan anaknya, selebihnya keluar massompe entah di mana

aku pulang ke kampung halaman untuk mengunjungi kakek di rumahnya

menyiram setiap ujung-ujung usianya yang mulai layu dan semakin tua

ingin kuceritakan setiap detik yang kulalui di hidupku bahwa aku melewati banyak hal untuk bertumbuh

sedang dia tak mampu menceritakan padaku soal alam baka dan siksa kubur itu

aku pulang untuk memungut setiap taburan rinduku yang tersisa di setiap perjalanan pulang menuju ke sekolahku

hari itu aku mengunjugi kakek di rumahnya; di kuburannya

 

Krisis Pangan

Kompor gas. Botol minuman. Panci. Wajan. Teplon. Piring. Gelas-gelas. Sodet. Kursi. Meja makan. Tupperware. Tutupan panci. Kulkas. Semunya menggantung di tengah-tengah dapur. Tak ada makanan di sana. Namun, anak-anakmu kelaparan. “Kau makankan apa mereka?”, kata Indoq. “Tak ada uang untuk beli songkolo’…”, ucap Amboq. Anak-anak itu terus menatap peralatan dapur itu yang menggelantung di atas kepalanya.

 

Kabar Duka

aku teringat ketika kakek memanggil-manggilku sebelum kepulangannya

di malam hari, beliau menyebut-nyebut namaku,

namun tak ada yang tampak di bawah lampu

bagai angin yang menembus tengkuk

seakan ingin memberitahuku tentang ketiadaannya sesegera mungkin

ah, bukan!

bukan dia yang bersuara

halusinasilah yang sedang melandaku dalam insomnia yang menyerang

ketika ia berselimut dalam kelambunya yang menerawang,

saat ku hendak ke sekolah pagi itu

tak ada salaman

tak ada kecupan

tak ada senyuman

tak ada salam perpisahan

aku meninggalkannya dengan kekhawatiran yang kubawa di dalam tas sekolahku

sepulangku ada kabar duka membahana

 

Kematian

kematian adalah mengumpulkan rasa sedih setiap orang dalam satu ruang untuk merelakan kepergian

kematian membiarkan roh-roh menjadi angin-angin yang melewati pintu-pintumu, jendela-jendela rumahmu, dan bunga-bunga di pekaranganmu

kau akan tumbuh bersama kesedihan, duka, dan luka yang menyayatmu saat berita duka itu datang menghampiri

kematian pun akan kembali padamu, lalu menghisap seluruh sendi-sendimu

mungkin akan sakit bagai sengat suntikan atau sesakit kulit-kulitmu melepaskan dirinya, mungkin juga tidak–tidak sesakit apapun

kematian mungkin tidak memburumu, namun ia akan selalu mengintaimu

kematian adalah harapan besar menuju kekekalan

 

Nelayan yang Jobless

Tak ada lagi nelayan yang mampu menyeberangi lautan ombak. Mereka telah mati diantara koral-koral yang layu di dasar lautan itu. Tak ada lagi ikan-ikan yang mampu menelusuri puncak lautan, sebab terperangkap jaring dan menghilang di antara senjata yang menggema.

 

Pantai Marbo

Pantai. Lautan. Lepa-lepa. Penyu. Sunset. Para ikan. Matahari. Biru. Karang. Koral. Langit. Hilang entah kemana.

 

Hujan Pembawa Kematian

sore itu hujan melanda kampung halaman nenek

namun anehnya matahari tetap menampakkan dirinya dan tak ada mendung sama sekali

aku tetap memercayai bahwa hujan turun sebab seorang gadis menangis di atas sana dan tak ada yang mampu menghentikannya bahkan Tuhan

aku terus terpikir oleh pikiranku sendiri, mengapa Tuhan tak memberikan anak gadisnya itu sebuah permen atau es krim saja agar ia berhenti tersedu-sedu di waktu-waktu jangggal ini

orang-orang terdengar berbisik-bisik, “engka kapa’ tau lo’ mate na bosi mappakusi he!”

aku mengerti apa yang dikatakannya, namun aku tak paham maksudnya

mengapa mereka mengaitkan hujan seperti ini mampu membawa kabar duka

tiba-tiba dari kejauhan, aku mendengar orang-orang menyeru-nyerukan kata ‘allahu akbar’, apa benar kematian sedang melanda kampung ini, ucapku dalam hati

terdengar sayup-sayup orang-orang menyebut -nyebut bahwa Puang Matoa Bissu berpulang ke sisi Tuhan

 

Reklamasi

Lepa-lepa menepi di pinggiran pantai. Tak mampu lagi berkelana di bawah langit-langit yang biru itu. Hanya tersisa tanah dan gedung-gedung tinggi yang angkuh.

________

Faika Alhabsyie, seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin, yang sedang menempuh studi akhir prodi Sastra Bugis-Makassar di Kota Makassar. Hobinya membaca buku, menulis puisi di waktu senggang, journaling, volunteering dan nonton film/serial di waktu luang.

Artikel ini telah dibaca 151 kali

Baca Lainnya

Puisi Sus S. Hardjono

15 September 2024 - 06:37 WIB

William H. Johnson, Children at Ice Cream Stand via WikiArt.org

Puisi Lalik Kongkar

7 September 2024 - 20:29 WIB

Puisi Maulidan Rahman Siregar

26 August 2024 - 04:00 WIB

Pentecast by Emil Nolde via wikiart.org

Puisi Adit Febrian

26 August 2024 - 03:31 WIB

Sunday Afternoon on the Island of La Grande Jatte by Georges Seurat via wikiart.org

Puisi Maria Dominika Tyas Kinasih

1 July 2024 - 01:26 WIB

JANGAN KUNCI PINTU DARI DALAM – Puisi-puisi ALIZAR TANJUNG

23 June 2024 - 19:33 WIB

Trending di Puisi