RINDU
Kucari jejakmu di setiap asin aroma garam. Hanya desir yang kutemukan. Berlarian ombak-ombak kecil menuju pantai. Aku ingin tahu kabarmu di sana. Lambaian nyiur seperti jari-jariku memanggilmu. Pada sayup menungku. Pada kesunyian laut. Menunggu kau yang tengah mengarungi samudera. Menuju ke bentang cakrawala. Kapan hari-hari itu datang jua. Menancapkan sauh untuk kembali pulang. Dari sebuah letihnya perjalanan. Membongkar segala kenangan. Hingga pagi labuhkan senyummu. Bercengkrama dengan kehidupan.
Astana Kuntul Nglayang, 2023
PELUKANMU
Aku ini hanya bayang-bayang yang tenggelam. Pada seutas siang malam pagi yang gamang. Rupanya aku bukanlah siapa-siapa. Hanya sebutir ruh yang tertelungsup lupa jalan pulang.
Sebuah narasi panjang disandarkan di kedua pundakku. Aku yang diremuk matahari. Aku yang diselimuti bulan gigil sendiri.
Tapi aku tak akan lupa. Jiwa pernah tercacah oh betapa nyeri. Di rahim ibu kuingin daur ulang mimpi. Hingga air mata ibupun kuyup memelukku. Lantas takdir menuliskan misterinya kembali.
Astana Kuntul Nglayang, 2023
NAIK BECAK DENGANMU
Aku ingin memutar kembali kenangan itu. Saat kita naik becak bersama. Bercerita tentang segala hal. Langkahmu yang mulai tertatih. Mengisyaratkan tubuh yang mulai meletih. Kenangan-kenangan ini mulai berhamburan, saat aku menuju ke sebuah kantor pos di perempatan jalan. Rupanya awan di atas kepalaku masih menyimpannya. Hingga kupunguti lagi remah jejak itu.
Di derit suara roda becak yang berputar. Selalu saja aku teringat sisa keluhmu. Menukik sampai ke ujung jantungku. Apakah ini akan aku bawa sampai mati. Di tengah sibuk jejak nasibku. Menuju ke kota seberang menancapkan sunyi untuk tak segera pulang.
Lalu aku mulai mengerti. Tentang derit perih suara kayuh becak itu. Dari letih yang mengertap. Membingkai wajahmu dari bayang-bayang gelap. Sungguh ingin kutulis lagi tentangmu dengan warna tinta yang berbeda. Agar tak terlihat bahwa hidup seperti perjalanan luka.
Astana Kuntul Nglayang, 2023
MEREKATKAN MIMPI
Nyeri itu seperti lolong terperangkap dalam bayang-bayang. Dan jejak yang meringkuk di kedalaman waktu. Oh betapa napas menyumpal di dada. Apakah doa-doa tak pernah sampai. Hanya melintas seperti bintang terjatuh dan kandas.
Pada serpihan jejak patah aku rekatkan dengan doa. Namun tak kunjung kutemukan Engkau. Mataku mengajak pucuk-pucuk tusam menangis. Dengan ujung jarinya dia melambaikan mimpi. Berharap embun dingin muncul di pagi nanti.
Astana Kuntul Nglayang, 2023
SURAT UNTUK TUHAN
Kukabarkan jejak pada Desember yang lembab. Di antara bangku-bangku kosong tempat ku menunggu. Menjahit langkah lalu. Rupanya sayap-sayap mimpi mulai merapuh. Harus bagaimana kukatakan. Bukankah kita sedang menunggu sebenarnya. Langit mulai menggulung awannya perlahan. Menuju negeri yang jauh.
Dengan doa-doa ingin kukabarkan kepadaMu. Tentang anak kecil itu. Yang pernah menyusu payudara ibunya. Yang pernah merengek ingin jumpa bianglala. Yang menangis ketika ayahnya tiada. Yang kehilangan ketika ibunya akhirnya pulang.
Jalan ini seperti labirin di tengah samudera. Adakah kapal yang sampai ke negeri yang jauh itu? Ataukah karam dihantam gelombang. Ataukah menjadi perahu-perahu yang terdampar, kembali ke daratan. Tanpa kelasi. Kehilangan kemudi.
Aku dan mereka akhirnya tak bisa lagi berjumpa. Diam-diam tak saling mengenal. Pada dunia yang lebih asing lagi. Ke mana mau pulang bila sebuah alamat aku lupa jalannya. Walau setiap kali aku telanjang aku selalu meminta selembar peta dan sepercik cahaya untuk menyelimuti tubuhku. Hingga aku melihatnya berjalan di kepalaku. Tanpa perlu arah angin menerbangkannya.
Astana Kuntul Nglayang, 2023
NGADI NUGROHO
Lahir di Semarang Juni 28. Sekarang ini sering kali beraktivitas di Kota Kaliwungu. Seseorang yang menyukai sajak/puisi dan juga suka menulis sajak/puisi. Beberapa sajaknya pernah dimuat di media massa online, koran dan majalah. Juga beberapa buku antologi bersama. Bisa disapa lewat email : ng.adinugroho81@gmail.com