Sedikit Membaca ‘Arkeologi Asmara’
Sebagai makhluk visual yang setiap hari nonton youtube, Tik-Tok, dan Instagram, secara tidak langsung bikin saya jadi menakar sesuatu dari luaran. Tidak berlaku lagi itu istilah, “jangan menilai sebuah buku dari cover,” sebab, belakangan ini, saya lebih suka pada buku-buku dengan kulit muka yang bagus. Ada cacat pada pemilihan font tulisan saja bahkan bisa bikin saya batal membeli buku itu. Persetan sama isi bukunya, kalau luarannya tak sedap mata, saya berat sekali buat baca. Jika ada kawan yang merekomendasikan sebuah buku, dan saya tidak suka covernya, biasanya akan saya skip. Seterkenal apa pun penulisnya, dan sebagus apa pun pembicaraan orang seputar materi bukunya. Pun juga pada postingan para pelapak buku, kan biasanya mereka suka kasih sedikit catatan di atas produk yang mereka jual, sebagus apa catatannya, kalau kulit mukanya jelek (menurut saya) saya akan menjauh dari postingan itu.
Pertanyaan lanjutan, dan sebetulnya sederhana, setelah kau beli sebuah buku, apakah buku itu langsung kau baca? Berapa lama buku yang kau beli itu bertahan di rak buku tanpa pernah kau sentuh lagi, – jangankan membacanya. Lain, ada berapa buku yang kau beli dengan jerih payah gajimu dan karena penulisnya adalah kawanmu, kau beli buku itu, dan tiada pernah melakukan apapun pada buku itu selain meminta tanda tangan penulisnya? Meminta berfoto buat selebrasi, dan mengucapkan selamat hingga 200x.
Lain, jika memang kau baca, apa yang terjadi dalam kehidupanmu sebelum dan sesudah kau membaca buku itu? Jika ada, apa? Jika tidak, pun apa. Jika tidak ada, tentu, kau termasuk ke dalam orang yang merugi. Bukankah tidak lebih baik, biaya beli buku itu untuk kau ganti dengan beli rokok, mentraktir pacar –jika ada, voucher internet, netflix, spotify, main slot, dan lain-lain, wkwk.
Saya memang jarang bikin catatan untuk buku yang saya baca, bukan karena saya malas, tapi saya orangnya cepat hilang mut, apa yang selama ini saya tulis, ya saya tulis sekenanya, jarang disertai riset mendalam, harus baca buku lagi untuk membahas satu buku, itu kerjaan siapa itu? Apa lagi ini mengetik, bak kata Sutardji dalam blurb buku cerpennya, “Mengetik bagi saya adalah aktivitas kurang menarik, sering banyak salah ketik.” Tumben-tumbenan saya bisa sepakat sama penyair tua ini, hehe
Selanjutnya, tanpa abcd lagi, mari kita ke buku Arkeologi Asmara, buku puisi ke-4 Deddy Arsya yang saya tahu. Pertama, penerbit. Saya bersyukur sekali buku ini diterbitkan penerbit Circa. Sebab, buku-buku terbitan mereka jarang sekali saya temukan berada di ‘lapak bazar buku berkualitas & MURAH’. Maksudnya, ya buku murah. Harga awal 80k, bertahun kemudian 10k. Artinya, harga bukunya kemungkinan besar tidak akan jatuh-jatuh amat. Mau bayar putus, mau royalti berkelanjutan, atau apapun soal keuntungan bagi si penulis, saya terkadang segan juga kalau harus beli buku sajak seharga 20k doang. Tidak etis. Ada berapa puisi di situ, ada berapa waktu yang dihabiskan si penyair untuk puisi-puisi itu, ada berapa orang yang ikut menyunting buku, lalu adilkah itu diganti hanya dengan sebungkus rokok? Wkwk. Marwah penulis tentu akan terangkat jika harga bukunya tinggi. Gitu ngga sih?
Kedua, cover. Bagi saya, cover buku ini sesuai dengan alur yang sedang tren di dunia buku belakangan. Tidak ada sekat lagi antara buku pop dan buku ‘nyastra’, tak seperti tahun 2000an awal di mana buku-buku sastra cenderung rada gelap, gambar batu, siluet manusia, alam raya gunung-gunung, atau kalau tidak gelap ya pakai foto penulisnya, wkwk, mereka tidak tergapai remaja belia. Hah? Buku apa tu? Bapakmu kerja di Balai Pustaka? Remaja yang dekat dengan percintaan tentu lebih senang dengan yang cerah ceria pula, dan jarang sekali yang ingin tahu siapa penulisnya, makanya tidak beli buku yang ada gambar orang di muka.
Buku ini, Arkeologi Asmara ini, covernya bagus. Disadari atau tidak, ini adalah cover buku ketiga Deddy yang ada kudanya. Buku pertama, ‘Odong-Odong Fot De Kock’ menampilkan gambar odong-odong yang berkepala mirip kuda. Buku kedua ‘Penyair Revolusioner’ seonggok orang berkepala kuda. Buku ketiga, ayam. Buku keempat, ‘Arkeologi Asmara’ ini menyandingkan kuda dengan sapi (di pinggiran buku).
Secara visual, buku ini enak dilihat covernya. Latar merah dengan gambar dan tulisan putih cukup pas, tidak ada kesan ‘ingin lebih’ adem di mata. Yang patut kita pikir sekarang, kenapa binatang? Apa maksud Deddy menghadirkan ragam binatang di cover bukunya. Apa yang ingin dikejar Deddy? Ada apa dengan hewan-hewan ini, Mas Ded?
Ketiga, pemilihan judul.
Sebagai orang yang membaca Deddy jauh hari, saya sudah tidak akan tertipu lagi dengan ‘asmara’ di judul. Kata ‘asmara’ di judul buku hanyalah siasat (kenapa siasat, ya, karena Deddy ini kan selain sebagai penulis, beliau ini juga dikenal sebagai salah satu editor di penerbit buku yang setiap bulan menerbitkan buku, lho…, ya tidak mungkin kalau Mas Deddy ini tidak bisa menyentuh pasar), Deddy agar buku ia kali ini bisa menyentuh pembaca yang lebih luas. Semacam pertaruhan, dan menurut saya itu brilian. Deddy selalu berhasil memancing rasa ingin tahu. Lihat saja judul-judul bukunya, -kecuali buku ‘Celana Pendek dan Cerita Pendek’ keren semua. Btw, ini bukan pujian lho, mas. Menurut saya, ini cara Deddy/penerbit/editor atau pun siapa saja yang berada di belakang buku ini ingin menjumpai pembaca yang lebih jamak.
Dan anjim, ini kan buku puisi. Tentu, butuh strategi & marketing yang kudu ditajemin.
Membeli buku tanpa membuka dan membacanya hingga bertahun-tahun belum pernah saya lakukan untuk buku Deddy. Keseluruhan bukunya, faktanya, langsung saya buka plastiknya, dan saya baca. Meskipun lebih sering bosan ketika sudah terlalu banyak baca puisi, tapi keesokan harinya saya ambil lagi, dan lupa lagi, lalu saya baca lagi. Saya baca buku memang dengan jeda seperti ini, sulit sekali saya menyelesaikan sebuah buku dalam hitungan jam. Ya kalau bosan, ya ditinggal.
Keempat, isi buku.
Buku ini bergaya lama, terdiri dari beberapa bagian.
Hampir seluruhnya, membaca buku Deddy di buku ini masih terasa seperti membaca buku-buku Deddy sebelumnya. Kejelian Deddy terletak pada pemilihan diksi di teks puisinya yang seakan membenturkan apa yang lalu dengan apa yang sedang terjadi sekarang.
Penggunaan ‘toh’ dalam ‘Geserlah Kursimu Kemari’, ‘ah, bikin susah saja!’ dalam ‘Sepiun-Sepiun Melayu’ ‘Ah, pukimak’ dalam ‘Segobang-Duagobang’ dan lain-lain menebalkan anggapan saya itu. Sehingga memang timbullah kesan kalau puisi ini ditulis bukan oleh orang lama, memang sedang terjadi belakangan.
Saya malah menduga kalau beberapa puisi Deddy di awal bagian buku ini, barangkali ditulis ketika ia mendengar lagu Payungteduh. Penggunaan kata ‘resah’ di puisi kedua di buku ini, aku cari-cari kamu di puisi ketiga, menebalkan anggapan saya itu. Tapi bodomatlah, teksnya masih enak dibaca.
Bagian awal buku ini, di mana puisi-puisi yang dihadirkan dengan kesamaan tema ‘cinta’ rasanya, mirip dengan puisi yang tersebar di internet / puisi mutakhir di Indonesia. Hanya kembali lagi, kalau ini Deddy, ia punya cara memilih diksi yang pas, sehingga pembaca sadar kalau yang nulis adalah Deddy.
Takdir pemenggalan, bersitahan, pohon sangkis, ladang pembantaian, liontin retak
rubi, penolak cilaka, Melayu buruk menung, uang makan liwat, Kowe pekak!, Kerampang bininya, dan lain-lain akan membuat umat manusia yakin kalau puisi ini ditulis Deddy.
Beberapa puisi Deddy sudah lucu -atau kalian mungkin menyebutnya satir – sejak dari judul. Sepicis-Duapicis, Padri Masa Kini, Menjemput Engku Imam ke Bandara, Monyet dan Skuter Terbang, Masih Mengejar Modernitas? Kejadian-Kejadian di Hari Kiamat, Gambaran Lain Neraka, Berkuda-Kudaan dalam Hujan, Sampiran yang Berlantun-Lantun, Menjauh dari Isi, Di Belakang Kereta Nasib, Matrilini.
Sebagai mana biasa, setiap membaca Deddy, saya selalu berusaha mencari bagian lucunya. Bagian lucunya saya pertama kali saya temukan di puisi ‘Siapa Pembunuh Haji Mur?’ terasa sekali puisi ini bakal bikin pembaca dicurangi.
Puisi favorit saya dalam buku ini terletak pada ‘Daily History’ dan ‘Masih Mengejar Modernitas?’.
Padangpariaman, 2022
Maulidan Rahman Siregar, tinggal sendirian. Dapat ditemui di rumahnya ketika sedang tidak sibuk. (*)