Subjektivitas bagi setiap penulis dalam penciptaan karya merupakan keniscayaan yang memberi warna bagi proses kreatif. Sakai (tanpa tahun), secara ringkas memilih “tetap mencari” sebagai parang peneroka jalan agar ia terus berproses dalam penciptaan karya sastra. Penulis-penulis lain bisa saja mengajukan pilihan beragam untuk terus berproses, namun seluruh pilihan itu, pada dasarnya, senantiasa berada pada keterhubungan “pencarian” dalam bingkai realitas yang dihadapi penulis. Bahwa dalam bingkai realitas itulah penulis hidup dan melakukan pencarian secara reflektif sebagai bentuk penerimaan bahkan penolakan penulis terhadap gejala sosial di sekitarnya, baik itu yang bersumber dari ingatan, pengalaman atau peristiwa, hingga sesuatu yang sifatnya imajinatif. Namun yang pasti seluruh sumber itu tidak dapat sepenuhnya dilepaskan dari realita empiris si penulis. Kenyataan itu pula yang menjadi penanda, bahwa latar belakang penulis merupakan pembentuk motif dalam proses penciptaan karya sastra (Laksmi, 2020; 91).
Kecenderungan itu oleh Wiyatmi (2013; 35) dapat ditinjau, semisal, dari karya-karya Umar Kayam yang berkisar di antara masyarakat dan budaya priyayi Jawa. Karya-karya Kayam, khususnya Para Priyayi dan Jalan Menikung, secara jelas menggambarkan masyarakat Jawa sebagai pusat gejala sosial yang menghasilkan pola stratifikasi berikut isu-isu yang menjadi kandung dengannya. Gagasan sama diutarakan oleh Sutejo dan Kasnadi (2016; 6) yang mengetengahkan latar belakang penulis, berikut keadaan sosial, budaya dan agama di dalamnya, memberi bentuk pada karya sastra hingga pada taraf psikologis.
Fenomena itu secara ringkas dapat ditarik menjadi kesimpulan bahwa manusia, dengan segala kompleksitas dan dinamikanya, merupakan objek karya sastra yang memosisikan penulis sebagai peranti reflektif. Dari fenomena itu, Ratna (2004; 62) bahkan mengindikasikan karya sastra sebagai salah satu gejala kejiwaan. Pengamatan Ratna dapat dihubungkan dengan posisi penulis sebagai peranti reflektif yang menciptakan refleksi atas gejala sosial, di mana proses itu, secara sadar ataupun tidak, meniscayakan penulis menjadi pengamat gejala psikologis masyarakat di mana ia bernaung.
Seluruh pengamatan itu dapat dijadikan pisau analisis bagi Damahum karya Benny Arnas (Diva Press, Maret 2023). Dari segi judul, Beny cukup lihai dengan memilih nama tokoh yang memperhubungkan cerita-cerita yang terbentang dalam 189 halaman. Bila ditinjau ulang, Damahum secara genit merupakan pembalikan nama Muham(m)ad yang merupakan tokoh sentral dalam kehidupan umat Islam. Strategi itu juga terjadi pada karakter tokoh yang dapat dikategorikan sebagai kebalikan karakter Muhammad yang terjadi secara hampir merata pada semua cerita, terutama pada cerpen berjudul Menjadi Mercusuar. Keterlepasan tokoh Damahum terjadi pada cerita Parang Patah yang mengentalkan imaji Lubuklinggau dengan segala gejala sosial yang terjadi di sekitarnya. Hal ini cukup mengagetkan mengingat cerita Parang Patah berada di posisi kedua setelah Menjadi Mercusuar yang menjadi Menyusun perkakas utama dalam pembangunan imajinasi identitas Damahum.
Secara kesuluruhan buku ini diorganisasikan melalui 14 cerpen yang menyusun komposisi kumpulan cerita, di mana seluruhnya memperlihatkan kecenderungan karya yang merupakan hasil konfigurasi personal dan interpersonal penulis. Dari dua sumber konfiguratif tersebut, rangsangan interpersonal menempati posisi dominan yang secara paradoks menyisipkan rangsangan personal. Rangsangan personal itu terlihat dari beragam refleksi, misalnya pemilihan nama tokoh yang tidak variatif, isu yang dekat dengan penulis, serta yang paling kentara adalah pereduksian sebagian pengalaman personal penulis melalui tokoh Venn yang muncul di tiga cerita (Lebaran Haji Neknang, Panggung Paramitha Rusady, dan Saudara yang Sempurna). Dari ketidakseragaman penamaan tokoh, hal itu merupakan dua sisi mata pisau yang bisa menguntungkan atau bahkan rentan mengakibatkan karya terjebak pada satu imaji yang berujung pada pendiktean imajinasi pembaca. Sementara dari sisi positif, pembatasan variasi nama tokoh sebenarnya bisa melindungi keterhubungan satu cerita dengan cerita lainnya, dan hal ini secara kentara diterapkan oleh penulis pada tokoh Damahum yang identik dengan isu agama dan politik yang muncul hampir di semua cerita.
Sementara penyusunan porsi dominan penulis yang duduk dalam bangunan utama cerita dapat terlihat dari pencitraan latar belakang tokoh yang memiliki kesamaan subjektif dengan penulis, terutama pada Lebaran Haji Neknang yang jelas diperuntukan penulis bagi kakeknya (?). Pilihan itu, secara sadar atau tidak, memperlihatkan upaya penulis untuk tampil dominan dalam pemberian bentuk bagi keseluruhan cerita maupun dari sisi buku secara utuh. Bahwa penulis memilih untuk tidak lepas ataupun terlepaskan seutuhnya dari karya yang dihasilkan.
Strategi ini sejatinya cukup rentan mengakibatkan pemaknaan cerita terkurung dalam bingkai imajinasi penulis, terlebih bagi pembaca yang mengenal penulis secara personal. Cerita Panggung Paramitha Rusady dapat ditarik pada pengamatan ini. Akan tetapi bagi pembaca yang tidak mengenal penulis secara personal, bila dihubungkan dengan pembangunan karakter Venn yang kuat, rentan mengakibatkan pembaca menarik kesimpulan keliru (?) atas kehidupan pribadi penulis.
Sampai di sini, Damahum merupakan refleksi atas pencarian penulis melalui bangunan cerita yang merupakan hasil penggalian atas rangsangan personal dan interpersonal, sekaligus memperlihatkan motif penceritaan yang berupaya memperhubungkan rangsangan personal dan interpersonal. Di mana Lubuklinggau, yang oleh penulis, telah ditarik sedemikian rupa menjadi salah satu objek yang ditemukan pada hampir seluruh cerita, sehingga Damahum secara kompleks turut memperlihatkan karya sebagai citraan psikologis Benny Arnas atas gejala sosial yang ia rekam melalui karya.
Dari struktur penceritaan yang dibangun Benny, karya ini secara diakronis memperlihatkan adanya dua semesta yang berpotensi besar dapat dibangun ulang di kemudian hari, atau bahkan dibangun menjadi semesta terpisah yang mampu berdiri sendiri, di mana Damahum (buku) merupakan rahim dari dua semesta tersebut. Pertama, semesta Damahum (tokoh) yang telah cukup mapan dibangun di sepanjang penceritaan buku dengan segala lanskapnya, baik itu agama, politik hingga sosial. Kedua, Lubuklinggau. Kota di Provinsi Sumatera Selatan ini tidak mungkin dipisahkan, bahkan sekadar dipinggirkan, dari Damahum (buku). Sebab Lubuklinggau dengan segala jejak rangsang personalnya bagi Benny, secara mengagetkan dan bahkan begitu kentara, selalu disisipkan dalam setiap cerpen. Bahkan penyebutan kota seluas 401,50 km² itu kerap terjadi di latar penceritaan yang tidak terduga, di lokasi yang secara geografis berjarak sekian ribu kilometer jauhnya dari Lubuklinggau, atau tema penceritaan yang bahkan terasa jauh dari aroma kota itu. Namun pada langgam penceritaan itulah Benny mempertegas konfiguasi personal dan interpersonalnya pada Lubuklinggau. Terlepas dari motif yang tersimpan di baliknya, strategi penyisipan kota itu secara nyata berpotensi membuahkan semesta sendiri yang, secara sadar atau tidak, telah dimulai Benny Arnas melalui karyanya yang ke-30 ini.
Sebagai penutup, dua semesta yang entah disengaja atau tidak ini, bila ditarik kepada Teori Nebula sebagai salah satu teori pembentukan alam semesta, tak ubahnya Damahum (tokoh) dan Lubuklinggau telah melalui proses pembentukan kabut pekat yang besar dan berputar-pilin untuk kemudian (bisa saja) bakal terpadatkan menjadi tata surya baru. Bukan tidak mungkin produktivitas Benny Arnas bakal berujung pada selesainya proses Nebula tersebut dan berujung pada karya berikutnya. Scripta manent, Ban Ben!
[1]Ilhamdi Putra lahir di Padang, Sumatera Barat. Selain mengabdi sebagai pengajar di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, ia juga bergiat sebagai Peneliti di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan Manajer Riset LBH Pers Padang. Ia juga aktif sebagai Peneliti di ruang riset sastra dan humaniora, Lab. Pauh9.