Jasad Mayor Fransico Soledad sudah diturunkan dari tiang gantungan. Namun bayangan jasadnya yang berayun-ayun layaknya kantong pasir itu masih terekam jelas di mata Kolonel Armando Diaz. Kendati dia yang memerintahkan sahabatnya itu dieksekusi, terbit rasa ngeri dalam relung hatinya tatkala melihat bola mata yang pupilnya terangkat ke atas sehingga tersisa bagian putih.
Di kedua mata yang tampak putih sepenuhnya itu, Kolonel Armando Diaz melihat api dendam yang membara. Sesaat sebelum mata Mayor Franciso Soledad ditutup oleh usapan tangan anak buahnya, nyala api dendam itu masih terlihat. Terpatri nyata di benak sang kolonel.
***
Tiga hari setelah pemakaman Mayor Fransisco Soledad, bayangan jasadnya dan mata penuh dendamnya masih terbayang di kepala Kolonel Armando Diaz. Dia duduk termangu di singgasananya. Keheranan terhadap dirinya sendiri yang menaruh simpati terhadap kematian seseorang.
Sudah sering dirinya mengeksekusi orang-orang yang dia anggap bersalah. Mulai dari para penjahat, hingga orang terdekatnya. Namun efeknya tak seburuk ini. Terbayang kembali dalam kepalanya ingatan beberapa puluh tahun lalu saat terbangun di sebuah ranjang besi berseprai putih di kamar sebuah rumah sakit. Dia keheranan mengapa dia ada di ruangan itu.
“Soledad yang mambawamu kemari, telat sedikit saja mungkin kau sudah berubah menjadi hantu,” ucap dokter Emanuel yang melihatnya kebingungan.
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam kala itu, matanya kemudian menyapu seisi ruangan dan terlihat di pojokan Fransisco Soledad sedang tertidur dengan posisi duduk. Dengan kepala yang masih sedikit nyeri dia mengingat peristiwa beberapa jam lalu, ketika dengan congkak dia duduk di atas alpaca tanpa tahu hewan itu akan bereaksi secara tiba-tiba dan membuatnya terpental dan jatuh dengan posisi kepala terlebih dahulu. Setelah itu semuanya gelap.
Mata Kolonel Armando Diaz memerah mengingat kesetiaan sahabat yang telah menyelamatkan hidupnya. Orang yang sama dengan yang dia lihat di tiang gantungan tiga hari lalu. Sejurus kemudian dia teringat malam nahas itu. Malam ketika dirinya terbakar api emosi dan ego yang menyebabkan sahabatnya meregang nyawa.
Kolonel Armando Diaz memerintahkan Mayor Fransisco Soledad untuk melucuti dirinya sendiri karena menolak rencana penyerangan sebuah desa saat rapat strategi.
“Tidak ada untungnya bagi pasukan kita untuk menyerang desa ini,” kata Mayor Fransisco Soledad kala itu.
Kolonel Armando Diaz langsung naik pitam. Dalam benaknya penolakan itu adalah sebuah bentuk makar. Dia merasa posisinya terancam oleh sahabatnya sendiri. Vonis mati ditetapkan saat itu juga. Sebelum digelandang ke ruangan penjara, mata mereka berdua saling bertemu. Mata Mayor Fransisco Soledad menampakkan kekecewaan yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Pikirannya kemudian kembali terbang ke masa tiga hari yang lalu. Dia melihat dengan angkuh langkah demi langkah Mayor Fransisco Soledad menuju tiang gantungan. Dia sangat menikmati momen itu, sahabatnya yang berbuat makar sebentar lagi akan menjadi seonggok daging dan tulang tak bernyawa.
Setelah tali mengalungi lehernya, Mayor Fransisco Soledad melihat ke bawah, tepat ke arah Kolonel Armando Diaz sedang duduk dengan angkuh di singgasananya. Pandangan mereka bertemu.
“Brengsek kau Armando Diaz,” ucap Mayor Fransisco Soledad sebelum papan kayu di bawah kakinya terbuka dan tambang menjerat lehernya.
Teriakan itu menyentak Kolonel Armando Diaz dari lamunannya. Nafasnya memburu, teriakan itu terasa nyata seakan baru saja diteriakkan tepat di telinganya. Pandangannya lalu tertuju ke sebuah lorong yang tepat berada di hadapan pintu ruangannya. Mayor FraNsisco Soledad berdiri di tengah lorong itu. Masih tampak di lehernya bekas jeratan tambang yang menyebabkan dia meregang nyawa. Hantu itu hanya diam mematung, berdiri di antara cahaya lampu dan gelapnya lorong. Menatap tepat ke arah Kolonel Armando Diaz dengan matanya yang putih sepenuhnya.
Kolonel Armando Diaz tertegun melihat hantu sahabatnya itu. Selama beberapa saat mereka saling tukar pandangan tanpa ada pergerakan sedikit pun. Sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar dari ruangan Kolonel Armando Diaz dan bergema merayapi lorong.
Hantu Mayor Fransisco Soledad kemudian mengangkat telunjuk kanannya. Diarahkan ke arah Kolonel Armando Diaz yang masih terpaku dengan keringat dingin menetes membasahi pelipisnya. Telunjuk Mayor Fransisco Diaz kemudian berganti arah, menunjuk ke arah luar ke tiang gantungan yang menjadi tempat terakhirnya menghirup udara. Hantu itu kemudian melayang, menuju tiang gantungan itu, menjerat lehernya sendiri lalu berayun-ayun menirukan adegan terakhir dalam hidupnya.
Adegan itu memantik rasa sesal yang sejak tadi ada di hati Kolonel Armando Diaz, penyesalan itu semakin dalam dan tak tertanggungkan. Tanpa sadar tangan kanannya membuka laci di depannya, meraih sebuah pistol pemberian Mayor Fransisco Soledad, hadiah kenaikan pangkat menjadi kolonel. Tangannya merogoh pistol itu, mengeluarkannya dari dalam laci. Diamati pistol yang masih mengkilat itu.
Langit-langit mulutnya terasa dingin saat ujung pistol menyentuhnya. Jari telunjuk Kolonel Armando Diaz secara perlahan merayap ke arah pemicu. Adegan selanjutnya tentu sudah dapat tuan-tuan dan puan-puan bayangkan sendiri. Cerita ini tidak akan menjadi cerita ngeri dengan cipratan darah dimana-mana, cukup sekian, kisah ini berakhir.
Jember, 15 Februari 2023