Barangkali lelaki tua itu layak dimasukkan ke dalam senarai “50 Orang Paling Sabar di Dunia” pada masa kiwari ini. Seandainya saja terdapat penghargaan untuk mereka, maka ia pun layak memperoleh sebatas piagam atau medali. Apalagi sekiranya penghargaan tersebut berhadiah uang tunai, lelaki tua itu pasti sungguh bersukacita menerimanya. Pagi itu ia baru saja melakukan sesuatu atas inisiatifnya sendiri, tapi sang istri serta-merta memprotesnya dengan suara keras.
“Walah, Mas. Mbok kamu itu tidak usah neko-neko seperti itu!”
Si lelaki tua bergeming belaka dan langsung menghentikan kegiatannya. Ia memilih menjauhi perempuan yang menjadi ibu bagi sepasang anaknya yang sudah menikah semua. Begitu siang datang, sehabis melaksanakan kewajiban sesuai instruksi sang istri, ia pun beristirahat dengan santai seraya menikmati rokok kretek di teras rumahnya. Tak lupa ia membawa secangkir kopi pahit tanpa gula kesukaannya yang dibuat dengan tangannya sendiri. Ia memang tidak terlalu menyukai manisnya rasa minuman maupun makanan, kendati sesekali masih bisa menikmatinya. Eh, ternyata hal itu tak berkenan pula bagi istrinya.
“Walah, Mas. Jadi orang kok bisanya cuma duduk santai, merokok sambil minum kopi seperti itu. Mau apa-apa, ya mesti disuruh dulu.”
Tiada reaksi berarti. Rona wajahnya tetap tidak berubah sama sekali. Lelaki tua itu tenang belaka menanggapinya. Namun, tak lama kemudian ia bergegas pergi dengan sepeda motor tuanya. Demikianlah yang terjadi selama lebih dari tiga puluh tahun pernikahan si lelaki dengan istrinya yang dua belas tahun lebih muda. Ia telah berusia 34 tahun ketika menikahi gadis berusia 22 tahun yang dijodohkan dengannya waktu itu. Bisa jadi lantaran rasa cintanya yang terlampau dalam atau entah apa namanya, tapi kenyataannya dia mampu menjalani kehidupan bersama istrinya yang terkesan tidak menghormati suaminya dan kerap nian menyalahkan dirinya. Nyaris tidak pernah ia mendapatkan pujian dari sang istri selama puluhan tahun, tapi ia sama sekali tak merasa sakit hati. Yang penting, ia mengerti dan yakin sungguh bahwa perempuan itu sejatinya senantiasa mencintainya.
Sudah sekitar dua dekade terakhir, aktivitas rutinnya adalah membantu istrinya yang pandai memasak dan kerap menerima pesanan makanan. Biasanya ia mengawal sang istri berbelanja bahan masakannya di pasar, lantas mengantarkan pesanan makanannya ketika sudah jadi ke berbagai area. Sebelumnya ia sempat bekerja sebagai karyawan di sejumlah tempat sejak masih lajang hingga akhirnya berkeluarga. Terakhir kali ia dipecat karena tempat bekerjanya gulung tikar di masa krisis moneter melanda negeri ini, lantas ia memilih mendukung sepenuhnya usaha kuliner istrinya yang waktu itu baru mulai dirintis.
***
Ada satu malam tak terlupakan yang tidak biasa dialami si lelaki tua, pada suatu ketika. Sebuah ketidaklaziman yang menjadi pengalaman baru baginya. Waktu itu ia sedang melakukan sebuah perjalanan seorang diri melewati area persawahan di sebuah desa, sekitar 10 kilometer dari rumahnya yang berlokasi di pinggir kota. Ia baru saja mengantarkan pesanan makanan dari salah satu pelanggan masakan istrinya. Di tengah jalan, sepeda motor tua yang dikendarainya tiba-tiba bersenggolan dengan sepeda motor lainnya dan keduanya sama-sama jatuh setelah sempat melaju beberapa meter. Seorang lelaki muda lekas bangkit dari sepeda motornya menghampiri lelaki tua itu, lalu mengatakan sesuatu dengan begitu kasar.
“Heh, dasar bapak tua! Mbok kalau naik motor itu hati-hati, pakai matamu! Apa jangan-jangan mata kamu sudah rabun?”
Si lelaki tua pelan-pelan mengangkat motornya. Seperti biasanya ia tetap sabar dan tak peduli apa kata orang terhadap dirinya, sebagaimana ketika ia menghadapi istrinya. Tidak ada orang selain mereka berdua malam itu. Jalan kebetulan sedang senyap dan tak seberapa terang pula cahaya lampu. Suara guntur serta-merta menggelegar. Air mulai turun dari langit, lantas dalam sekejap hujan kian menderas. Lelaki tua itu bergeming belaka, tapi matanya memandang tajam si lelaki muda yang setelah berteriak kepadanya, lantas sedang bersiap-siap pergi. Ternyata ada sesuatu yang aneh kemudian terjadi.
“Aduh, ada apa ini? Kenapa tubuhku sakit sekali? Aduh! Aduh!” teriak lelaki muda serta-merta yang bergerak-gerak laksana cacing kepanasan. Ia menoleh ke arah lelaki tua itu, sepertinya mengerti apa yang membuatnya kesakitan. Untuk sesaat ia merasa ada yang memukuli dadanya.
“Aduh, maafkan saya. Tolong Pak, jangan sakiti saya!” katanya sambil berlari ke arah orang yang dimakinya tadi.
Lelaki tua itu menutup matanya sejenak dan membukanya kembali. Si lelaki muda masih bersimpuh di hadapannya.
“Sudahlah, saya yang minta maaf karena kurang waspada. Mungkin kamu benar, mata saya sudah mulai rabun. Maklumlah, bapak ini memang sudah tua,” ucapnya sembari mengajak berdiri lelaki muda itu.
“Eh iya, Pak. Saya anu… pasti akan lebih hati-hati. Permisi ya, Pak.”
Si lelaki tua tersenyum tipis semata menyaksikan pemuda itu meninggalkan dirinya yang berdiri terpaku dengan kondisi tubuh basah kuyup. Sejatinya ia pun baru mengerti bahwa pandangan matanya ternyata memiliki kekuatan tersendiri. Entah dari mana asalnya, yang jelas ia belum lama menyadarinya. Ia lantas mendongakkan kepalanya ke arah langit seraya berkata,
“Hujan, bisakah kau berhenti sejenak saat ini?”
Ajaib. Serta-merta air deras dari langit tidak turun lagi serta menyisakan gerimis belaka. Untuk kedua kalinya ia merasakan sebuah keanehan pada malam itu. Apakah sejatinya yang sedang terjadi? Si lelaki tua mencoba menganalisis dirinya dengan pikirannya yang bersahaja. Barangkali kekuatan tersebut hadir berkat kesabarannya menjalani hidup bersama istrinya selama lebih dari tiga dasa warsa. Menghadapi kemarahan orang lain-sebagaimana yang baru saja terjadi-jiwanya pun tidak bergejolak, tetap tenang belaka. Maka, sehabis malam itu ia tetap melangkah tanpa beban, bahkan lebih santai lagi menghadapi apa pun ocehan maupun hardikan sang istri laksana angin lalu. Lambat laun ia semakin menyadari berbagai potensi yang dimilikinya dan bahkan mengejawantahkan sebuah profesi baru dalam hidupnya : menjadi pawang hujan.
[]