“Jangan kenalkan aku dengan lelaki kaya, Kev,” katanya setengah meminta.
Kevin terhenyak dengan kalimat yang baru saja didengarnya. Lama Kevin menatap mata Ranti.
“Aku tak mengerti maksudmu!”
Jam berdetak mendekati waktu makan siang. Mall mulai ramai. Ranti menelan ludahnya pahit. Memang susah rasanya menjelaskan segalanya. Namun ia tak menyalahkan pertanyaan Kevin.
“Jangan kenalkan aku dengan teman lelakimu yang kaya!” ulangnya lagi.
Kevin tak percaya dengan kalimat yang baru saja didengarnya. Ia mengenal Ranti sebagai sosok yang selalu tampil glamour, meski Kevin tahu orang tua Ranti sangat sederhana. Kehidupan sederhana itu tak seharusnya diiringi dengan keglamouran yang ia tunjukkan. Dan kalimat Ranti yang baru saja didengarnya seolah menghanguskan semua anggapan yang telah dikenalnya.
“Ini tak seperti bayanganmu. Aku lelah dengan semua ini, Kev.” Ranti tahu pikiran Kevin. Nada pertanyaan Kevin membuatnya tersudut pada anggapan “matre”. Diam-diam ada yang menyodok ulu hatinya. Sebuah sesal yang terlambat disadari. Kesalahan yang tak ingin lagi ia tutupi. Ia tak tahu seberapa tinggi lagi ia harus mempertahankan harga dirinya.
*
Ranti memasukkan make up kit-nya ke dalam tas. Sekali lagi dipatutnya lipstik dan eyeshadow di mukanya. Ia telah bersiap berangkat ke kantor. Sebagai pegawai yang baru menghabiskan dua bulan magang, ia tak mau terlambat. Kantor tempatnya bekerja menghargai asas-asas ketepatan dan disiplin tinggi. Ia bekerja di sebuah bursa saham yang menggunakan prinsip kerja tepat waktu yang ketat.
Ia termasuk satu di antara sedikit sarjana yang beruntung. Begitu lulus dan wisuda, ia langsung mendapatkan pekerjaan. Sering ia berpikir semua itu berkat nilai-nilainya yang hampir mendekati cumlaude. Meski pekerjaan itu masih belum membuatnya bergaji tinggi, namun ia percaya tempat itu adalah awal karirnya. Setidaknya ia bisa membanggakan pekerjaan dengan mengenakan blazer yang sekaligus menjadikannya tampak sebagai pekerja kantoran bergengsi. Gedung kantor yang mewah dianggapnya sebagai prestise yang tak bisa dicecap oleh semua orang. Ia merasa menjadi orang terpilih. Diunggahnya beberapa foto di laman jejaring sosialnya, mengabarkan kepada seluruh dunia bahwa ia mampu meraih semua itu dengan mudah. Bahwa ia telah memiliki dunia yang tak semua orang bisa mendapatkannya. Ia merasa beruntung mendapat pekerjaan itu sementara ratusan teman-temannya harus menunggu kesempatan yang entah kapan akan datang.
“Diin…diin….” Bunyi klakson membuatnya semakin bergegas. Suara mobil Andi, tepatnya Pak Andi, manajer di kantor sekaligus kekasihnya. Arah rumah mereka sejalur, Pak Andi biasa mengantar-jemputnya berangkat dan pulang kantor.
Semua berawal dari sore itu, ketika ia akan pulang dari kantor. Seperti biasa, ia menunggu hujan reda.
“Rumahmu di mana?”
“Rumah sakit mata.”
“Kita searah. Bareng saya saja. Saya tinggal di belakang terminal lama.”
“Bapak tidak apa-apa, bareng dengan saya?”
“Justru saya senang, ada teman ngobrol,” kata Andi lugas.
Usia Andi tak terpaut jauh dari usianya. Lima tahun di atasnya. Bermula dari sore itu, Andi mengantar-jemput ke kantor. Saat pulang, mereka tak langsung pulang. Andi biasa mengajaknya mampir makan atau belanja sesuatu ke mall. Sejak saat itu mereka semakin dekat.
“Apapun bisa saya lakukan untuk bisa pulang pergi dengan cewek secantik kamu,” kata Andi. Ranti merasa terpuja. Ia tak kuasa menolak tawaran Andi dan menerima pinangannya.
*
“Kamu trauma?” tanya Kevin pelan. Ranti menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Mungkin!” Ranti mengangguk gamang.
“Ranti, dengar kata-kataku. Satu, tidak semua lelaki memiliki sifat sama. Dua, pikirkan jangka panjang, dirimu sendiri. Sampai kapan kau akan seperti ini? Ini terdengar sama sekali bukan Ranti yang kukenal.”
Ranti memejamkan mata. Kevin tak pernah tahu betapa malu ia mengenang dirinya yang lalu, sebuah label yang tak layak dikenang namun jelas membayangi dirinya.
Riuh rendah suara musik di mall tak membuatnya gentar. Ia tetap merasa sepi. Lagi-lagi, ada saja yang hendak runtuh dari matanya ketika membicarakan hal ini. Sepenuhnya ia membenarkan ucapan Kevin, namun sepenuhnya pula ia menolak. Ia masih butuh waktu untuk menenangkan diri.
*
Banyak orang berpikir keduanya adalah dua orang yang berbeda. Sikap Ranti yang ceria dan supel sangat jauh berbeda dengan Andi yang ketus. Namun semua rumusan itu tak berlaku bagi Ranti. Ia merasa Andi adalah orang yang tepat untuknya. Andi adalah orang yang menjanjikan dan menjamin kehidupan rumah tangga yang bahagia. Sesungguhnya ia telah lelah dengan kesederhanaan hidupnya. Apa-apa yang seharusnya bisa ia lakukan, terhalang kondisi keuangan keluarganya. Warung orang tuanya dari tahun ke tahun dengan pelanggan yang itu-itu saja tak bisa dibanggakan, pun bukan pula usaha yang menarik untuk diwariskan.
Sesungguhnya ia masih ingin kuliah lagi. Ia berencana untuk kuliah sembari bekerja, namun lamaran Andi membuatnya tak sanggup menolak. Pesta pernikahan digelar sederhana. Ia keluar dari tempatnya bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Pernikahan dengan teman sekantor selalu rawan kasus dan menyalahi kode etik.
Menikah dengan Andi yang seorang manajer mau tak mau mengubah pula pola dan gaya hidupnya. Ia telah biasa dimanjakan dengan hal-hal baru. Ia sering jalan-jalan ke luar kota dilanjutkan menginap di beberapa tempat singgah. Semua itu adalah gaya hidup yang diidamkannya. Semua itu dianggapnya sebagai cita-cita di masa lalu. Mereka pun mewujudkan keluarga yang bahagia pada tahun pertama pernikahan dengan lahirnya bayi laki-laki, Azka.
*
“Aku merasa telah melakukan kesalahan yang fatal,” kata Ranti. Tangisnya kembali luruh mengingat semua hal yang terjadi padanya.
“Kau duduk di sini untuk maju atau mundur?” cecar Kevin.
“Aku tahu. Aku hanya merasa belum siap. Aku benar-benar trauma atas semua ini, Kev. Dan aku tidak bisa memaksa diriku.”
“Aku tak bisa memahami alasanmu menolak Seno. Dia sahabat terbaikku. Dan aku tahu, tak mungkin ia melakukan hal-hal buruk padamu seperti yang dilakukan Andi padamu. Mereka dua orang yang sama sekali berbeda. Seno memiliki hati selembut bolu. Menyakiti binatang saja ia tak mampu.”
“Aku tahu….” Air mata Ranti mengembang lagi. Ada yang meledak dalam hatinya mendengar semua deskripsi Kevin tentang Seno. Seno lelaki yang baik, dan ia memiliki segalanya.
“Aku tak bisa memaksa diriku, Kev.”
*
Pernikahan memang bukan hal mudah. Ranti merasa sikap Andi telah banyak berubah. Ia mulai suka pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Sering ia mendapat omelan dan pukulan Andi. Tak tahan dengan keadaan itu, Ranti menggugat cerai. Surat cerai telah berkali-kali dilayangkan. Permohonan maaf segera disampaikan namun dengan mudah Andi mengulanginya. Bagi Ranti rumah seolah berubah menjadi neraka yang menghanguskan dirinya.
Siang itu, ia telah benar-benar lelah. Kali ini ia tak akan mundur selangkah pun dari perceraian. Pipinya memar karena pukulan yang diperolehnya semalam.
*
“Aku hanya menginginkan anakku, Kev. Aku hanya menginginkan Azka.”
“Kau telah melakukan semuanya untuk memperjuangkan itu. Bahkan ketika kau benar-benar telah mapan bekerja dan berpenghasilan, Andi tak akan melepas Azka, sekalipun kau adalah ibunya. Kau tak bisa terus-menerus seperti ini. Berpikirlah untuk masa depanmu. Tak mungkin kau membuang waktu begini. Kamu masih muda, masih memiliki banyak harapan. Kamu masih cantik, cerdas, dan menarik. Dan kesempatan baik seperti ini tak datang setiap hari. Kalau Seno bukan orang baik-baik, tentu aku tak akan mengenalkannya kepadamu” Kevin menjelaskan. “Okelah, tak harus dengan Seno, dengan siapapun. Usir jauh-jauh pikiran dan keputusasaanmu. Aku percaya kau mampu.”
Ingatan Ranti terbang pada sebuah bayangan siang itu, siang ketika ia mendengar keputusan hakim dalam sidang perceraian mereka. Hak asuh Azka jatuh pada Andi. Ia menangis dan tak tahu kepada siapa harus menyalahkan. Ia tak memiliki pendapatan yang cukup untuk membesarkan Azka seorang diri, sementara Andi memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk perawatan kesehatan Azka. Azka divonis asma dan membutuhkan perawatan intensif.
Di sanalah pertama kali ia mendapati harga dirinya. Ia bukan lagi sosok yang mengenakan blazer di kantor mewah dan sepatu hak tinggi yang bermimpi mendapatkan kehidupan tinggi di mata semua orang. Ia hanyalah seorang yang bergaji pas-pasan, pekerja serabutan yang mencoba mewujudkan impian. Ia merasa dari sanalah kesalahannya bermula. Kehidupan mapan yang ia raih dengan instan. Saat ia merasa pernikahan dengan dasar kekayaan adalah pernikahan yang membahagiakan seperti dalam bayangannya selama ini.
Ranti menangis mengenang kebodohan yang ia lakukan, yang membuatnya kehilangan bertubi-tubi harga dirinya hingga tak lagi bersisa. Dan di depan Kevin siang ini, Kevin memintanya untuk tidak menyesal. Bahkan ia telah kehilangan hak asuh anaknya. Semua bayangan itu tak bisa mencegah aliran deras air matanya. Di tengah hingar bingar musik mall, ia menangis tergugu, mengabaikan pandangan orang-orang kepadanya. Kevin mengusap punggung tangannya, menenangkan.
“Jangan kenalkan aku dengan lelaki kaya, Kev!” Kata-katanya terdengar seolah meratapi harga dirinya yang kini menguap entah ke mana.
*
Kevin merutuk diri habis-habisan ketika melihat air mata Ranti menetes tanpa henti. Ia tak tahu apakah itu adalah satu-satunya kesempatan untuk menuangkan perasaan. Cinta yang ia simpan untuk perempuan itu masih utuh seperti dulu, saat pertama kali ia melihat Ranti mengikuti ospek di kampus. Ia tak tahu apakah kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Ranti adalah aba-aba agar dirinya maju ke dalam pertarungan perasaan itu. Telah lama ia mempersiapkan kalimat-kalimat itu tanpa tahu kapan ia akan mengucapkannya.
Telpon genggamnya bergetar, sebuah pesan pendek masuk. Ia harus segera membayar tunggakan SPP adiknya. Adiknya sekolah di sekolah bergengsi di kota ini. Sejak ayahnya meninggal, semua keuangan dan biaya hidup keluarga tertumpu di pundaknya. Untuk itulah ia harus bekerja keras.
Rutukan itu berlanjut saat ia harus menerabas derasnya hujan. Di tengah derasnya hujan, ia tak tahu mana yang harus dipikirkan, apakah Ratih dan perasaannya pada gadis itu, ataukah tunggakan SPP yang harus segera dibayarkan.
Surakarta, Desember 2015- Desember 2022