Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Naik Becak Denganmu – SAJAK-SAJAK NGADI NUGROHO Asmara yang Tidak Diakali Waktu Tutorial Mengubah Nasib – SAJAK-SAJAK MAULIDAN RAHMAN SIREGAR Bila Ia Tertidur – Sajak-sajak Ilham Wahyudi

Esai · 31 Jan 2023 14:21 WIB ·

Penyuntingan: Pekerjaan Sulit yang Sering Disepelekan


 Penyuntingan: Pekerjaan Sulit yang Sering Disepelekan Perbesar

Dalam cerita jungkir balik penerbitan sebuah buku, agaknya yang selalu mendapat sorotan adalah penulis. Sisanya dianggap sebagai pelengkap, tak seberapa penting, hanya sebagai ‘peramai’ halaman depan agar tak terkesan sepi. Padahal sesuatu yang liyan⸻selain penulis⸻itu juga memiliki peranan penting dalam membawa sebuah karya ke tahap siap cetak.  The others itu adalah penyunting, sosok yang bertugas di belakang layar untuk membantu seorang penulis menemukan ‘kekuatan’ terbaiknya. Masih banyak yang menganggap bahwa sosok penyunting hanyalah tokoh figuran yang tak terlalu berperan penting dalam sebuah ‘pertunjukan’ penerbitan buku, padahal keberadaan tokoh figuran lah yang membuat eksistensi tokoh utama terkonstruksi dengan jelas. Tokoh figuran seolah menjelma lilin untuk seorang pangeran yang sedang menghadapi gelap dan pekatnya jalanan hutan, untuk membawa pangeran segera sampai ke kerajaan.

Arif Fitra Kurniawan dalam Jalan Tengah: Catatan Penyuntingan dengan gamblang menyebut bahwa keengganan menceritakan proses penyuntingan bisa saja disebabkan oleh kekhawatiran-kekhawatiran tak jantan seperti takut tak ada hal yang menarik untuk diceritakan selama proses penyuntingan, khawatir akan menurunkan nilai penjualan ketika rahasia di balik layar diketahui oleh para pembaca yang budiman, hingga takut menjatuhkan ketenaran penulis karena anggapan sebagai karya yang tak murni⸻dibantu oleh orang lain (halaman 3). Agaknya hal yang perlu ditepis dari pandangan seseorang pada proses penyuntingan adalah menganggap kegiatan menyunting adalah hal yang biasa-biasa saja, tak ada menarik-menariknya. Padahal, banyak hal menarik yang akan ditemui selama proses penyuntingan. Sebut saja seperti proses menyelami makna dari setiap baris kalimat yang disajikan oleh penulis, yang menuntut penyunting untuk menemukan keserasian; keajegan; dan keseimbangan. Saat itulah imajinasi penyunting dan imajinasi penulis seolah saling berhadapan dalam dimensi lain, saling beradu untuk menuju yang lebih padu. Juga kekhawatiran tentang penurunan nilai jual juga perlu dihapuskan, karena hal-hal yang jarang dibicarakan biasanya justru memicu rasa penasaran.

Lewat buku dengan ketipisan 18 halaman ini, Arif Fitra Kurniawan ingin merobohkan stigma negatif tersebut. Arif Fitra Kurniawan ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa menyunting sama sulitnya dengan menulis dan penulis tak akan kehilangan muruahnya gegera tulisannya disunting. Jika menulis berarti membutuhkan ide-ide yang segar sekaligus benar dan perlu membaca pelbagai bacaan sebagai referensi, maka menyunting juga berarti membaca dan berpikir lebih banyak dari menulis karena pengoreksi sudah seyogianya lebih menguasai. Jika menyunting berarti menampilkan kemampuan terbaik dalam mengevaluasi, maka kelebihan sebuah tulisan akan semakin tampak sebab proses penyuntingan. Oleh sebab itu, Arif Fitra Kurniawan menyebutnya dengan istilah ‘Jalan Tengah’: setiap penulis perlu menghormati peran penyunting dan setiap penyunting harus memahami keinginan penulis (halaman 1).

Kendala utama dalam proses penyuntingan menurut Arif Fitra Kurniawan adalah ketika suara lantang pengarang ingin bernyanyi secara terang-terangan, sedangkan bisikan lembut penyunting menghendaki berlari dalam sunyi. Hal semacam inilah yang lazim disebut ego, baik ego pengarang maupun ego penyunting. Sebuah persoalan pelik yang terjadi saat dua kepala beradu, tak ada yang mau menunduk. Arif Fitra Kurniawan menyadari permasalahan pelik ini saat menyunting kumpulan cerpen Striptis di Jendela karya Saroni Asikin. Pernah suatu waktu antara Arif dan Saroni terjadi perbedaan pendapat saat Arif memutuskan menambahkan sebuah kata pada dialog tokoh pada salah satu cerpen Saroni (halaman 14). Ada ketaksetujuan dari Saroni ihwal penambahan kata tersebut, padahal Arif juga memiliki argumen yang kuat tentang debu pembeda tipis yang berhasil dilihat penyunting dan tak disadari oleh pengarang. Namun argumen itu sengaja oleh Arif tak disampaikan pada Saroni. Arif memilih mengendapkannya berminggu-minggu, hingga akhirnya ia memahami bahwa hal seperti itu lebih baik disampaikan dalam perjumpaan, bukan dalam pengiriman pesan.

Dalam proses pengendapan itu juga, Arif menyadari tentang batasan-batasan dalam penyuntingan. Terkadang beberapa hal perlu mengendap cukup lama seolah tak berguna untuk mendapatkan panggung termanisnya. Satu hal yang pasti: dalam dimensi apapun, ego adalah satu di antara hal yang tidak boleh lepas kendali.

Artikel ini telah dibaca 210 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Forgot Password Hindia dan Representasi Gen Z

13 September 2024 - 22:42 WIB

Sumber Foto: Kapanlagi(dot)com

Pembaca: Keluarga dan Negara

8 September 2024 - 05:33 WIB

Portrait of Frida's Family, Frida Kahlo via wikiart

KONFIGURASI PERSONAL DAN INTERPERSONAL DALAM KUMPULAN CERITA DAMAHUM

13 April 2023 - 23:42 WIB

80 Tahun Marga T Novel: Pindah dan Berubah

5 February 2023 - 11:41 WIB

Mengais Musim dari Jejak Chairil Anwar

21 January 2023 - 13:26 WIB

Takjub…

11 October 2022 - 18:11 WIB

Trending di Budaya