Bimo berencana menikahi Ajeng. Bimo yakin, Ajeng adalah perempuan yang selama ini dia cari, perempuan yang akan mendampingi sepanjang hidupnta. Bimo merasa cocok dengan kepribadian Ajeng, yang menurutnya penyabar dan sopan. Meski pendidikan Ajeng tergolong tinggi, tapi tidak lantas menganggap sepele perihal kodratnya sebagai perempuan. Terlebih ketika kedua orangtua mereka telah merestui, yang tentu saja hal itu akan menjadi penyempurna kebahagiaan mereka.
Namun, sejak kemarin hati Bimo terhadap Ajeng rupanya tidak seyakin sebelumnya, dan berkurangnya keyakinan itu usai mengikuti acara wisata ke Candi Sukuh yang diadakan oleh kelompok pemuda di daerahnya. Wisata itu memang sudah menjadi agenda rutin sebagai bagian dari ujian bagi anggota dan pasangannya yang akan mengakhiri masa lajang. Pasangan kekasih akan melakukan dua hal. Pertama,menyikapi perihal mitos tes keperawanan dan keperjakaan di Candi Sukuh. Bagi yang perempuan ketika melangkahi pahatan lingga dan yoni jariknya terlepas, artinya perempuan itu sudah tidak perawan, dan jika yang laki-laki melangkahi relief tersebut merasa terkencing-kencing, artinya sudah tidak perjaka. Sementara, ujian yang kedua menghadapi guyonan di antara anggota kelompok perihal hubungan mereka.
Terkait mitos tes keperawanan dan keperjakaan mutlak pilihan pasangan kekasih itu, artinya ketika sudah di Candi Sukuh tapi tidak ingin melakukan tes tersebut tetap diperbolehkan. Intinya mereka hanya harus mengikuti wisata. Namun terkait dengan guyonan teman, mereka harus melewatinya. Sebenarnya dari awal Bimo tidak ingin ambil pusing terhadap mitos itu, bahkan dia dan Ajeng sudah sepakat tidak akan melakukannya. Namun ketika mereka sampai di Candi Sukuh, Bimo tidak bisa menahan penasarannya, lantas menyarankan kepada Ajeng untuk lebih dulu melakukan. Namun, saat itu Ajeng ngotot tidak bersedia karena dia memegang kesepakatan yang mereka buat sebelumnya. Ketika Ajeng tidak mau melakukan tes itu, Bimo merasa tersinggung hingga terjadi pertengkaran.
Bimo menceritakan kejengkelannya itu kepada teman-temannya, dan Bimo lupa bahwa hal itu justru bisa menjadi bahan teman-temannya untuk mencobai Bimo, Berikut adalah sebagian penyataan teman-temannya itu.
“Kalau gitu Ajeng perlu kau coba dulu.”
“Iya tuh, rugi kalau belakangan kau tahu dia sudah tidak perawan.”
“Jangan sampai menyesal, kau.”
Ketika Bimo mendengar perkataan mereka, sebenarnya dia masih tetap kukuh tidak ingin mempermasalahkan, bahkan ketika dia bertemu dengan Ajeng pun tidak tebersit keinginan untuk membicarakannya. Namun, bermula dari iseng, suatu kali Bimo justru mengajak Ajeng melakukan hubungan badan. Bimo mengatakan, jika Ajeng mau melakukan, hal itu tidak akan mempengaruhi niatnya untuk menikahinya. Pada saat itu Ajeng justru bertanya balik kepada Bimo, apakah keinginan itu untuk meyakinkan dirinya masih perawan. Sebelum Bimo menjawab, Ajeng sudah lebih dulu menambahkan bahwa dirinya sudah tidak perawan.
“Dengan siapa kamu melakukannya?”
“Kalau masalah itu, hakku untuk tidak mengatakan.”
“Tapi aku ingin tahu?”
“Kupikir sudah tidak ada gunanya, toh apa yang sesungguhnya ingin kamu tahu sudah kukatakan.”
“Jika kamu tak ingin menjawab, justru aku tak akan menikahimu.”
Mendengar perkataan Bimo, Ajeng menatap Bimo dengan nanar, mungkin dia tidak percaya Bimo mengatakan seperti itu. “Oh, kamu pikir aku mau menikah dengan orang yang merasa terpaksa?” sahut Ajeng dengan perasaan kesal, sebelum kemudian berlalu dari hadapan Bimo.
Sejak itu Ajeng tak sudi bertemu Bimo. Setiap Bimo menghubungi, Ajeng selalu punya alasan untuk menolak. Bahkan di sebuah kesempatan, Ajeng justru bilanh kepada Bimo bahwa di antara mereka sudah tidak ada hubungan lagi.
Ketika mendengar pernyataan Ajeng, Bimo menyesal karena dia merasa tidak bisa menahan ego terkait keinginanannya saat itu agar Ajeng menuruti kehendaknya. Meski begitu, Bimo sudah tidak bisa apa-apa untuk menyelamatkan hubungan itu. Kebahagiaan yang sebelumnya Bimo bayangkan, seketika sirna.
Lebih celaka lagi, tidak lama dari perpisahan itu, Bimo mendengar Ajeng telah menjalin hubungan dengan lelaki lain. Ketika Bimo tahu bahwa kekasih baru Ajeng ternyata Cakra, teman dekat di kelompok, Bimo merasa: sudah jatuh, tertimpa tangga. Perasaan Bimo meradang hingga dia tak bisa menahan untuk menemui temannya itu.
“Kau buta, Ajeng itu siapa?” semprot Bimo begitu mereka bertemu.
“Ada apa ini?” tanya Cakra.
“Jangan berlagak bego kau.”
“Maksudnya tentang hubunganku dengan Ajeng? Memangnya ada larangan?”
“Ya tidak, tapi jaga perasaan temanlah.”
Cakra lantas menjelaskan, sebenarnya pemikiran dia sebelumnya sama seperti yang Bimo pikirkan, namun setelah dia mendengar cerita Ajeng tentang penyebab perpisahan Ajeng dan Bimo, justru di hati Cakra muncul keinginan untuk menjalin hubungan serius dengan Ajeng.
“Maksudmu?” tanya Bimo.
“Maksudku sama dengan apa yang kau bilang tadi. Apakah selama ini kau menjaga perasaan Ajeng?”
“Itu karena Ajeng lebih dulu tidak menjaga perasaanku.”
“Bagian mana Ajeng tidak menghargaimu?”
“Dia bilang sudah tidak perawan.”
“Sudahlah, kau tidak paham. Aku tidak mau berdebat,” sahut Cakra sebelum berlalu.
“Oh, aku tahu. Jangan-jangan selama ini kau belum tahu kalau Ajeng tidak perawan?” teriak Bimo.
Mendengar perkataan itu Cakra menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Bimo. “Itulah bedanya kita,” katanya kemudian.
“Maksudmu apa?”
“Terkhusus hal itu, aku lebih memilih tidak mempercayai perkataan Ajeng.”
“Oh, rupanya niatmu busuk juga!”
“Ah, ternyata kau benar-benar goblok!”
“Maksudmu apa, hah?”
“Maksudku, aku tidak sebusuk kamu!” sahut Cakra sebelum berar-benar berlalu.
Karena Bimo merasa dicurangi, dia tak mau menunda, detik itu juga menghubungi Ajeng melalui telepon. Bimo mengatakan pada Ajeng bahwa menurutnya, Cakra punya niat jahat padanya, dan perkataan Bimo itu disertai dengan bukti pernyataan Cakra, bahwa Cakra tidak mempercayainya. Menurut Bimo, hubungan mereka sudah tidak sehat karena dibangun atas dasar ketidakpercayaan. Mendengar penjelasan Bimo, Ajeng langsung menutup telepon tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Rasain!” gumam Bimo.
Tak berselang lama, usai Ajeng mendapat telepon dari Bimo, Cakra datang menemuinya. Kini mereka sudah berada di kamar berdua. Mereka saling pandang dengan wajah yang keduanya sama-sama cerah berseri. Lantas duduk mereka berdekatan.
“Aku tahu apa yang ingin kamu katakan,” ucap Cakra.
“Aku juga tahu apa yang ingin kamu bilang,” sahut Ajeng.
“Bimo?” ucap mereka hampir bersamaan, lantas mereka tertawa kecil.
“Lalu?” tanya Ajeng.
“Aku tak ingin mempermasalahkan, dan jika sudah waktunya kita wisata ke Candi Sukuh, aku akan memberi kebebasan kepadamu. Jika kamu tidak ingin melakukannya, aku nurut saja,” terang Cakra.
“Aku juga memberi kebebasan kepadamu tentang bagaimana kamu akan menyikapi godaan teman-teman,” sahut Ajeng.
Keduanya tersenyum, dan sebentar saja mereka telah larut dalam pelukan. Lantas berjanjut bercinta dengan dahsyatnya. Setelah selesai, sejenak hening, Cakra kemudian bertanya kepada Ajeng. “Kamu tidak menyesal?”
“Aku juga menghendaki, mengapa harus menyesal?” sahut Ajeng dengan senyum menawan.
Waktu berlalu dan mereka berencana menikah, yang sebelumnya harus melewati acara berwisata bersama. Beberapa waktu setelah sampai di Candi Sukuh, Ajeng mendekati Cakra dan mengatakan bahwa dia ingin melakukan uji keperawanan. Refleks Cakra melihat ke arah Ajeng.” Tapi kamu tidak apa-apa, jika mereka tahu kamu sudah tidak perawan?”***