Cara terbaik menikmati hoklopan adalah dengan menyimpannya semalaman di lemari pendingin kemudian memakannya di pagi hari. Aku kurang menyukai cokelat lumer. Apalagi hoklopan terlalu berminyak dan legit bagiku. Aku selalu merinding saat melihat orang melahap hoklopan hangat dengan lelehan cokelat menetes di ujung bibirnya. Terlebih jika itu Didi. Aku akan segera melemparnya dengan segala macam benda di dekatku. Ia selalu dengan sengaja melahap hoklopan itu tepat di depan batang hidungku. Haiya!
Dulu Ama selalu menyisakan setengah loyang hoklopan di lemari pendingin agar aku bisa memakannya di pagi hari. Entahlah. Menikmati hoklopan dingin untuk sarapan rasanya sangat luar biasa. Cokelatnya sudah tak lagi melumer dan mulai mengeras. Tentu saja sudah tak terlalu berminyak. Dan menurutku adonannya sudah saling menyatu tanpa perlu susah payah memegangnya. Oh ya. Memakan hoklopan lebih nikmat menggunakan tangan kosong dari pada menggunakan sendok.
Haiya! Liurku menetes. Aku harus segera mengeluarkan seloyang penuh hoklopan dari lemari pendingin.
Pagi ini tak seperti pagi lainnya. Aku tak menyapu rumah. Kata orang menyapu rumah saat Kongian sama saja dengan menyapu rezeki. Walau aku tak benar-benar percaya dengan mitos semacam itu. Namun pagi ini sama saja seperti pagi lainnya. Sepi. Sunyi.
Tak ada lagi derap langkah Didi yang berlarian menuruni tangga untuk bergegas sarapan atau wangi fuyunghai yang kerap disajikan Amauntuk sarapan.
Dua tahun sudah aku ditinggal pergi Ama dan Didi, mereka meninggalkanku begitu saja saat Ama tahu aku hamil dengan kekasihku. Ama dan Didi memilih untuk tinggal di rumah Apho yang letaknya cukup jauh dari rumahku. Sesekali aku mencoba untuk menemui mereka, tetapi tetap saja hanya pintu tertutup yang kudapati. Mau sekeras apa pun aku memohon maaf dari Ama, tak ada satu pun yang terbalas.
Apho pernah mengahampiriku yang terduduk lesu di teras rumahnya.
“Jangan kau paksakan, Lin. Ama kau memang keras. Pulanglah. Kasihan kau berpanas-panasan di sini dengan perut yang besar. Istirahatlah,” ujar Apho sambil mengelus pundakku.
Pernah juga suatu pagi, aku membawa buah hatiku, Mei Hua, untuk berjumpa dengan Ama. Namun tetap saja, gadis mungil itu tak mendapat pelukan hangat dan harus puas menerima pintu yang tertutup napat. Walau kulihat Didi mengintai dari jendela demi melihat keponakan cantiknya.
Namun entah malang apa lagi yang menimpaku, Mei Hua meninggalkanku untuk selama-lamanya saat ia baru berusia 8 bulan 15 hari karena virus Dengue sialan itu menggerogoti sistem imun putri kecilku. Selama berbulan-bulan aku bagai mayat hidup. Terlebih mantan kekasihku yang bajingan itu tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya saat aku mengabari bahwa aku mengandung anaknya. Ia malah menuduhku telah tidur dengan lelaki lain.
Sialan! Aku tak mau terlalu memusingkannya, selagi bisnis daringku mampu mencukupi biaya kehidupanku dan Mei Hua. Namun pada akhirnya segala hal tentangku tak membekas bagi siapa pun. Kadang aku merasa aku pembawa sial bagi orang-orang terdekatku, namun kadang juga aku merasa hidupku dipenuhi kesialan yang hanya berporos padaku.
Entahlah. Segala macam penangkal dan jimat tak berlaku kemujuran bagiku. Sempat aku datang ke Taipak dan meminta berbagai jimat. Merah-kuning memenuhi sudut rumah. Namun tetap saja aku tak menemukan ketentraman. Mei Hua, belahan jiwaku pergi meninggalkanku di dunia pesakitan ini. Entah dunia atau aku yang pesakitan.
Apalah arti materi bagiku kini? Hidup serba berkecukupan di rumah sebesar ini malah menyiksaku. Aku hanya berteman sepi. Segala kemewahan tak lagi menyilaukan mata. Aku terkurung dalam kesunyian dan kehilangan.
Sialan! Aku terlalu banyak bersedih hari ini. Aku tak mau mengawali tahun ini dengan air mata.
Aku segera mengeluarkan seloyang penuh hoklopan dari lemari pendingin dan membawanya ke halaman depan.
Pagi ini terlalu sunyi. Bahkan tak kudengar sedikit pun kicauan burung atau gemerisik dedaunan. Ahh. Sudahlah. Aku sudah terlalu akrab dengan kesunyian. Mungkin saja telingaku sudah terlalu lama mati sehingga tak lagi peka terhadap segala macam bunyi. Atau mungkin saja aku sendiri yang menciptakan kesunyian ini. Entahlah, kini aku sulit memahami banyak hal.
Hoklopan dingin tak pernah gagal membuat kutergoda. Setiap gigitannya membawaku terbang ke kenangan-kenangan bersama Ama, Didi, dan Mei Hua..
Cokelatnya sudah mulai mengeras akan segera lumer tak kala menyentuh lidah dan langit-langit mulutku yang hangat. Sensasi yang selalu aku sukai.
Segigit. Dua gigit. Tiga gigit.
Rasanya seperti baru kemarin aku mencium wangi fuyunghai kesukaan Didi.
Rasanya seperti baru kemarin aku memakan hoklopan dingin yang sengaja disiapkan Ama untukku.
Rasanya seperti baru kemarin aku menggenggam tangan mungil belahan jiwaku, Mei Hua.
Hingga masih tersisa potongan terakhir. Aku mengambilnya dengan penuh kehati-hatian. Setidaknya ini lah potongan hoklopan terakhirku di tahun ini.
Aku ingin mengakhiri tahun baru ini dengan nikmat.
Hoklopan itu kulahap dengan perasaan yang aneh. Kosong.
Mataku terasa panas karena menahan air mata. Kurasa hoklopan kali ini tak cukup ampuh untuk menambal kesedihan dan kesunyian yang membunuh jiwaku secara perlahan.
Bersamaan dengan hoklopan terakhir ini, aku tersedu sedan.
Aku terkenang dengan Ama, Didi, dan Mei Hua. Belum cukup banyak aku membahagiakan mereka. Belum kuterima maaf dari Ama. Namun apa lah daya, nyatanya tanganku terlalu kecil untuk merengkuh mereka. Mungkin memang aku tak pantas untuk membersamai mereka di dunia ini. Mungkin juga aku memang sudah digariskan untuk tenggelam dalam kubangan kesunyian.
Aku masuk ke kembali setelah membuang kotak hoklopan, dan membersihkan tanganku yang berminyak.
Berkeliling sebentar. Foto-foto Ama, Didi, dan Mei Hua masih tergantung di sudut-sudut rumah.
Bahkan piagam Didi saat memenangkan pertandingan Taekwondo masih tergantung di ruang tamu, bersebelahan dengan piagam penghargaanku sebagai pegawai terbaik di perusahaan tempatku bekerja, tentu saja sebelum aku mengundurkan diri karena tak tahan mendengar cemoohan orang perihal kehamilanku.
“Kau tahu? Kudengar katanya Jie Lin hamil di luar nikah!”
“Ia hamil dengan lelaki lain, bukan pacarnya!”
Gosip mulai menyebar ke penjuru lantai tempatku bekerja. Entah siapa yang memulai, namun tetap saja bisikan-bisikan itu pada akhirnya terdengar juga hingga ke telingaku. Aku sadar tatapan mereka bukanlah lagi tatapan ramah, melainkan tatapan penuh selidik. Perutku kian membesar. Aku tak tahan lagi menjadi bahan pergunjingan. Aku memilih untuk melepaskan posisi yang kuperjuangkan selama ini.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah memiliki anak tanpa pernikahan semenjijikan itu sampai aku harus diusir dan dicemooh sedemikian rupa oleh dunia? Bukankah aku juga manusia yang layak dimanusiakan? Lagipula aku tak pernahmenelantarkan anakku. Harusnya lelaki sialan itu yang merasakan segala kehancuran ini.
Melalui cermin, aku melihat pantulan diriku sendiri.Tak tampak secuil pun kebahagiaantertoreh di sana. Riasan wajahku yang sudah berantakan karena air mata. Aku rapikan. Aku memoles wajahku kembali.
Bedak padat. Lipstik. Pemerah pipi.
Aku tampak sempurna di sana. Baju cheongsam merah melekat sempurna ditubuh mungilku. Aku mengingat-ngingat. Sudah 29 tahun aku hidup di dunia ini. Setidaknya aku sudah mengecap kebahagiaan di sini. Kebahagian bersama Ama, Didi, dan Mei Hua. Walau tetap saja aku memiliki penyesalan karena membuat Mei Hua tak merasakan kasih sayang dari neneknya.
Aku harus bergegas pergi. Entah ke mana. Asalkan aku tak lagi mendengar ujaran kebencian dari Ama yang mengusirku untuk pergi.
Baiklah, Ama. Aku akan pergi seperti pintamu.
Aku mengambil surat yang kutulis semalam dan meletakkanya di atas meja riasku. Bairlah ia dibaca oleh entah siapa, yang akan menemukanku nanti.
Aku memeluk baju Mei Hua. Aku merindukannya.Sungguh. Namun tak apa. Aku akan segera menemuinya. Setelah puas memeluknya, kuletakkan baju Mei Hua tepat di sebelah surat.
Yueliang yueliang ni bie shui
Mimang de ren ta yi jiu zui
Sinian de ren yijing buzai
Rensheng buguo yi dui dui de guinian
Aku bersenandung dengan suara yang tercekat di tenggorokan.
Bukankah orang-orang yang kucintai sudah meninggalkanku?
Aku mengambil tusuk konde sangjit milik Ama yang aku pakai untuk menggelung rambutku sejak pagi tadi. Rambutku jatuh tergerai menyentuh bahu.
Dengan segera aku menggoreskannya sekuattenaga di pergelangan tanganku. Darah terciprat kemudian terasa mengalir hangat.
Setetes. Dua tetes. Tiga tetes.
Hingga aku merasa darahku mengalir kian deras.
Haiya! Ternyata rasanya sakit sekali.
Pergelanganku rasanya nyeri dan terbakar.
Denyutnya merambat hingga ke puncak kepalaku.
Tak apa. Aku sudah terlampau sering menanggung sakit. Bukankah aku sudah terlalu lama dibiarkan mati?
Aku akan segera memeluk Mei Hua.
Aku akan segera mencium pipinya yang gembil.
Aku benar-benar merindukannya.
Pandanganku semakin kabur dan menggelap.
Aku jatuh tersungkur di lantai.
“Xin Nian Kuai Le,” ujarku entah untuk siapa.
Pangkalpinang, 31 Desember 2022
Catatan :