Aku tidak pernah menyangka akan pindah kemari. Tempat di mana mayoritas orang-orang di sini adalah etnis Tionghoa. Kudengar, setiap akan mendekati Tahun Baru Imlek, hampir semua warga di Gang Warung ini menjadi penjaja aneka makanan. Sebelum kepindahanku kemari, bapak sempat berpesan agar jangan terlalu dekat dengan Meimei. Entah apa sebabnya. Aku hanya mendengarkan sambil lalu, sebab sebenarnya aku tidak suka jika harus hidup nomaden seperti ini.
Bapak segera memanggilku untuk turun dari mobil dan menyuruh menata barang-barang ke dalam rumah. Mobil yang kutumpangi dari Solo ke Semarang itu langsung melesat dan meninggalkan kami. Semua fasilitas kepindahan adalah dari kawan bapak di Solo, termasuk mobil sewaan tersebut. Syukurnya, kami tidak dimintai biaya sewa. Jadilah kami hanya menyiapkan dana untuk membeli bensin.
Rumah yang aku dan bapak tempati ini terletak di ujung gang. Cukup luas dengan bentuk khas rumah zaman dulu. Ada tingkat di atas. Ketika kulihat di seberang agak serong, ada rumah yang bentuknya hampir mirip 99% dengan rumah ini. Mungkinkah itu rumah Meimei? Aku hanya membatin sambil memanggul kardus berisi pakaian ke dalam rumah. Aku takut jika bertanya kepada bapak. Untuk itulah lebih baik diam.
Malam sekira pukul tujuh, bapak ketiduran di ruang tamu. Beberapa barang belum selesai diletakkan pada tempatnya. Ah, seandainya masih ada ibu, pekerjaan semacam ini pasti akan lebih cepat selesai. Namun, aku kembali berpikir, jika ibu masih ada di dunia ini, tak mungkin aku dan bapak pindah kemari. Ya, rumah bapak di Solo hanyalah rumah kontrakan. Sementara ini adalah sebuah rumah warisan atas nama ibu. Awalnya memang bapak menolak pindah kemari, tetapi apa boleh buat, daripada harus hidup mengontrak terus menerus. Setidaknya kami bisa bertahan hidup tanpa harus membayar uang kontrakan rumah.
Kembali kulihat bapak yang sedang tidur. Keadaan itu menggugah rasa keinginanku untuk mencari di mana rumah Meimei. Kupikir, tidak ada salahnya keluar sebentar. Paling lama sampai pukul sembilan malam.
Baru saja keluar dari rumah, seseorang menyapaku dengan ramah dan bertanya. Pria berusia sekira sama dengan usia bapak, yakni 40 tahun. Wajahnya sangat menyiratkan kalau dia etnis Tionghoa.
“Kau baru pindah, ya? Ini rumah Hamidah. Apa kau benar anaknya?”
Aku sedikit tersentak atas pertanyaannya. Apa ibu seterkenal itu, sampai-sampai pria tua ini tahu nama ibu, batinku. Maka daripada berlama-lama dalam kebisuan, kujawab pertanyaannya dengan apa adanya.
“Benar, Hamidah adalah ibuku. Ibu sudah meninggal seminggu yang lalu, untuk itulah aku dan bapak pindah ke sini.”
Air muka pria itu tiba-tiba berubah setelah mendengar penjelasanku. Sedikit murung, tetapi hanya sebentar. Kemudian dia justru mengajakku ke rumahnya yang ternyata rumah yang bentuknya paling mirip dengan rumah ini.
Sesampai di rumah pria itu, aku disuguhi beberapa kue dan segelas teh hangat. Aku segera melahap kue itu karena memang perutku sudah keroncongan dari tadi lantaran belum terisi barang nasi sesuap. Ketika sedang asyik-asyiknya makan, tiba-tiba seorang anak perempuan turun dari tingkat rumah. Dia memakai kacamata dan berkepang dua. Apakah dia Meimei, batinku. Pria itu pun mengenalkan anak perempuan itu padaku.
“Aku Meimei.”
“Aku Zainal.”
Kami saling berjabat tangan. Sedikit gemetar ketika menyambut tangannya. Sebab bapak sudah mengingatkan, jangan terlalu dekat dengan Meimei, tetapi aku tidak peduli. Meimei kelihatan anak yang manis. Kenapa harus dijauhi?
Setelah menghabiskan beberapa potong kue dan menandaskan segelas teh hangat, aku bermaksud pamit kepada pria yang kuketahui bernama Anming itu. Juga pada Meimei tentunya.
“Besok main-mainlah ke sini lagi, Nal. Biar Meimei ada teman,” kata Anming seraya menepuk-nepuk pundakku.
“Saya tidak janji, Pak. Banyak yang harus saya bereskan di rumah.”
“Terima kasih sudah main kemari, Nal.”
“Sama-sama, Mei.”
Aku melambaikan tangan kepada Anming dan Meimei. Setelah itu segera berlari menuju rumah. Sebab takut jika bapak sudah bangun dan tidak mendapatiku di rumah. Beruntunglah ketika sampai di rumah, tepat bapak terbangun dari tidurnya. Lekas aku berpura-pura memegang sesuatu. Dia menanyaiku kenapa masih berantakan. Kujawab bahwa aku pun ketiduran dan setengah jam yang lalu baru bangun. Bapak percaya begitu saja dan mengajakku untuk mencari makan malam.
Sudah hampir dua pekan aku dan bapak menempati rumah warisan ini. Selama itu pula pertemananku dengan Meimei tidak terendus oleh bapak. Aku merasa senang karena Meimei mengundang ke rumah untuk perayaan ulang tahunnya yang jatuh dua hari lagi. Tentu ulang tahun yang hanya dibuat sederhana, tidak mengundang teman-teman satu gang, melainkan hanya aku. Aku pun berusaha menyusun rencana seperti hari-hari sebelumnya—pergi ketika bapak sedang tidur. Waktu dan kondisi seolah berpihak, rencanaku selalu berhasil.
Ulang tahun Meimei pun tiba. Aku sudah tidak sabar ingin main ke rumahnya dan bercengkerama dengan Anming. Apalagi mereka berjanji akan mengajakku menyalakan lentera dan membiarkannya terbang ke langit. Itulah ritual khusus yang dilakukan setiap kali Meimei ulang tahun. Seperti perayaan Cap Go Meh pada umumnya. Sebelum pergi, aku kembali memastikan kalau bapak sudah tidur. Sekarang pukul delapan malam. Jika pun main ke rumah Meimei satu jam saja pasti masih cukup, pikirku.
Namun, ketika sampai di rumah Meimei, aku terkejut karena rumah Meimei gelap. Tidak ada satu pun lampu yang menyala. Ke manakah Anming dan Meimei pergi? Refleks, aku berlarian ke sana kemari mencari mereka di sekitar rumah. Namun, keduanya tetap tidak kutemukan.
Saat berada di titik keputusasaan paling puncak, di antara riuh para warga Gang Warung yang lalu lalang, kendaraan di sana sini, aku melihat bapak berjalan ke arahku dengan mata penuh amarah. Dia menatap tajam ketika sudah berhadapan denganku.
“Bapak sudah bilang, jangan dekat-dekat dengan Meimei, apalagi Anming!”
“Tapi, Pak. Apa salah mereka sehingga aku harus menjauhi mereka?”
“Kau ini masih saja bertanya!”
Mendengar ucapan bapak yang nadanya menggelegar bagai petir itu, membuatku enggan berkata lagi. Lalu bapak berlalu begitu saja dari hadapanku. Entah dari mana datangnya, sesuatu mendadak menyerang tubuh. Kepalaku terasa berputar, semakin cepat hingga suara-suara di sekitar perlahan mulai hilang. Keadaan itu berganti dengan kegelapan luar biasa yang menyergap, seolah tidak ada titik terang sama sekali. Keesokan paginya, tahu-tahu aku sudah ada di dalam kamar. Tubuhku masih terbalut selimut dari dada hingga kaki. Di sebelah ranjang ada segelas teh di atas meja kecil. Pasti itu bapak yang membuatkan. Kuseruput teh itu beberapa kali. Mendadak aku kembali teringat kepada Anming dan Meimei. Di mana mereka?
Segera kusingkap selimut dan beranjak menuju ke kamar mandi. Setelah ini, aku akan mencari Anming dan Meimei lagi. Dengan langkah sedikit terhuyung lantaran masih tersisa sedikit rasa pusing di kepala, tanganku merayap pada dinding agar tak terjatuh. Samar-samar, terdengar suara orang sibuk di dapur. Harum masakan menggelitik indra penciuman. Siapa yang sedang memasak, pikirku. Tak mungkin bapak melakukan itu. Setahuku, sejak ibu masih ada hingga meninggal, ia tidak pernah memasak. Mungkin memang tidak bisa.
Namun, ternyata aku salah. Bapak benar-benar sedang memasak. Terlihat ia baru saja mematikan kompor dan menciduk masakan berkuah buatannya. Dari aroma yang menguar, sepertinya sedap sekali. Aku mematung beberapa saat sampai suara bapak membuyarkan lamunanku.
“Kenapa kau masih saja berdiri di sana? Cepat cuci muka dan makan bersama bapak.”
“Sejak kapan Bapak bisa memasak?”
“Ibumu kan pintar memasak, bapak sering melihat. Bukan berarti bapak tidak bisa melakukannya.”
Aku tak lagi membalas perkataan bapak dan segera mencuci muka di kamar mandi, sesuai dengan perintahnya. Selepas itu, aku duduk menghadapnya dan bersiap menyantap masakannya. Tiba-tiba bayangan Anming dan Meimei seolah melayang-layang di atas kepalaku. Ya, seharusnya kami sudah merayakan ulang tahun Meimei. Namun, sekarang aku malah terpaksa di sini untuk menemani bapak. Sial! Sial!
“Kenapa melamun terus? Cepatlah makan. Setelah ini temani bapak.”
“Bapak tak ikut makan?”
“Bapak masih kenyang. Lagi pula ini khusus bapak buatkan untukmu.”
“Memangnya kita mau ke mana, Pak?”
“Sudah, pokoknya ikut saja. Selesaikan makanmu. Bapak siap-siap dulu di kamar.”
Bapak menekan meja dan berlalu. Aku buru-buru menyelesaikan makan. Takut jika ia lebih marah, sebab sepertinya ia sedang dalam suasana hati yang buruk. Maka itulah, aku tak ingin memperkeruh keadaan. Lima menit kemudian, makanku sudah tandas. Mencuci piring bekas makan sebentar, kemudian menyusul bapak ke kamar. Entah kenapa aku merasa curiga dengan gelagatnya yang tak seperti biasa. Ke mana ia akan mengajakku pergi? Aku mengintip dari lubang kunci. Ia terlihat memasukkan sesuatu ke dalam karung sembari menyelimuti dengan kertas yang sudah dihancurkan mesin penghancur kertas. Terakhir, ia mengangkat dua buah benda, bentuknya bulat dan berambut.
Betapa kagetnya aku ketika mengerjap-ngerjap—berusaha lebih keras memerhatikan benda-benda itu. Ternyata, dua benda tersebut adalah kepala manusia. Kepala-kepala dengan raut muka begitu mirip Anming dan Meimei.
Semarang, Mei-Juni 2022
Reni Asih Widiyastuti kelahiran Semarang, 17 Oktober 1990. Karya-karya alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini telah dimuat di berbagai media, seperti: Kompas Klasika, Suara Merdeka, Republika, Padang Ekspres, Solopos, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Kabar Madura, Tribun Jateng, Harian Singgalang, Harian Analisa Medan, Medan Pos, Harian Waspada, Harian Sinar Indonesia Baru, Bali Post, Radar Mojokerto, Radar Cirebon, Radar Bromo, Radar Kediri, Radar Madiun, Tanjungpinang Pos, Bangka Pos, Pontianak Post, Majalah JAYA BAYA, Majalah UTUSAN, Majalah Djaka Lodang, Majalah Bobo, Utusan Borneo Malaysia, Magrib.id, Ceritanet.com, Harakatuna.com, Maarif NU Jateng, Barisan.co, dan modepesawat.wordpress.com. Buku tunggalnya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam (Stiletto Indie Book, Juni 2019) dan Pijar (LovRinz Publishing, Maret 2022).