Cerpen Indarka P.P
Tiada ada yang lebih genting melebihi perasaan Dr. Wakyat pagi ini yang sedang mengikuti jalannya sidang paripurna. Lelaki tambun berusia 58 tahun itu menyandarkan punggung pada kursi saf terakhir—meskipun saf-saf tengah tampak lengang—sambil tertunduk muram. Rupanya di bawah meja, tangannya sedang giat menggeser-geser smartphone, membangun koordinasi mahapenting dengan Rantedoda, staf khususnya, demi menjaga citra dan nama baik. Tiga puluh menit sebelum palu pembuka sidang dipukul, Rantedoda mengirim pesan melalui aplikasi Telegram kepada Dr. Wakyat. Pesan itulah yang membuat sang tuan pusing setengah mati alih-alih fokus bersidang dalam agenda pengesahan undang-undang baru investasi.
Hps semua berkas! Pokoknya jgn tinggalkan brg bukti! begitulah Dr. Wakyat membalas Telegram Rantedoda.
ah klo saya ditangkap gmn, pk?
asar bodoh! Awas kalau sebut nm2 saya!!!
Mengetik………..
Gmn ini, pak.
Sy takut.
Pak!
Pak Wakyat??
Ah keparat!
Dr. Wakyat buru-buru keluar dari Telegram, lalu menghapus aplikasi itu. Wajahnya kini mengencang, tegang mendadak menyergap. Kekalutan itu tak cuma terlihat dari sekujur wajah Dr. Wakyat; pandangan matanya juga mulai jelalatan, urat lehernya menjalar-jalar, pecinya tak lagi presisi, serta gelagat-gelagat ganjil yang tanpa sadar dilakukannya sambil menenggak dua botol air mineral.
Semua yang dialami Dr. Wakyat itu sebenarnya berkaitan dengan agenda serap aspirasi yang ia laksanakan bersama Rantedoda di Kabupaten X, sekitar dua bulan lalu. Waktu itu, usai kegiatan, Dr. Wakyat memenuhi janji untuk bertemu dengan seorang tender kenamaan di sebuah hotel bintang tiga. Di balkon lantai empat, Dr. Wakyat membikin secarik memorandum, lantas menyuruh Rantedoda membubuhinya dengan stempel khusus. Sebelum dikirim kepada sekretaris pribadi Bupati, Rantedoda mendokumentasikannya dalam beberapa bidikan foto. Pertemuan berlangsung tak lebih dari 17 menit. Dr. Wakyat bilang kalau ia harus segera bertolak ke wilayah lain. Dilanda senang bukan kepalang, si tender terlebih dahulu meminta foto bersama sebelum berpisah dengan Dr. Wakyat. Sudah barang tentu, Rantedoda-lah juru kameranya.
***
Rantedoda menandai seluruh berkas, foto, riwayat chat, riwayat telepon, beberapa aplikasi, dan segala yang berpotensi memperunyam masalah, kemudian menghapus semuanya serentak tanpa jejak. Pada layar ponsel cerdasnya muncul logo jam pasir berputar-putar: besaran ukuran sedang dikalkulasi untuk segera dikirim ke folder trash, tempat sampah sistem Android 11 pada Samsung Galaxy A32.
Rantedoda yang malang. Berjarak dua jam, petaka besar benar-benar menimpa dirinya. Tujuh orang penyidik masuk ke ruang kerja lelaki itu tanpa aba-aba. Kontan Rantedoda terkejut. Akan tetapi ia tak sanggup berbuat apa pun. Tubuhnya bergeming menghadap laptop HP yang tengah memutar live streaming sidang paripurna. Bahkan, sekadar pertanyaan “ada apa?” pun tak terucap dari mulut Rantedoda. Raut staf khusus Dr. Wakyat itu kini kusut laiknya kertas-kertas yang baru saja dipungut penyidik dari tempat sampah. Kemudian salah seorang penyidik mengambil alih laptop. Live streaming dijeda. Chrome ditutup. Ia mengarahkan kursor ke windows, lalu menekan tombol shut down. Detik itu juga, Rantedoda digelandang ke luar ruangan tanpa perlawanan. Atmosfer kantor berubah mencekam. Pegawai-pegawai lain melongo melihat kawan mereka tertangkap tangan. Antara tak percaya, atau justru waswas nasib serupa bakal menimpa. Entah. Yang jelas, hari-hari ke depan Rantedoda akan sibuk mengingat sejumlah kronologi peristiwa sebagai jawabannya di kantor pusat penyidikan.
Setibanya di tempat tujuan, barang-barang mulai digelar. Laptop HP Pavilion, Flashdisk Toshiba 32GB, sampah kertas, dan tak lupa Android Samsung Galaxy A32 milik Rantedoda. Satu per satu barang diteliti. Tiga jam berlalu, Rantedoda sedikit lega karena di laptop, flashdisk, dan sampah kertas tidak ada temuan mencurigakan kecuali empat judul video berformat .3gp di partisi (D:) berdurasi dua menitan.
Kini jatuh giliran pemeriksaan Android Samsung Galaxy A32. Rantedoda masih optimis kalau ponsel tersebut bakal aman lantaran sudah ia bersihkan. Penyidik menyisir lebih saksama. Ponsel cerdas kekinian memang punya segudang fitur yang mampu menjaga rahasia pengguna. Ratusan folder tersembunyi berserak di dalam file manager. Penyidik berganti dari satu orang ke orang lain, memastikan tingkat ketelitian diverifikasi banyak mata. Dalam keadaan itu, Rantedoda mulai pesimis. Menguak bayangan dalam otaknya soal kertas-kertas kusut yang tadi dipungut dari tempat sampah. Ia juga baru teringat, ketika menghapus banyak item di Android Samsung Galaxy A32, ia menemukan beberapa biji foto yang ia yakini sudah terhapus beberapa waktu silam.
“Cari folder trash.” Pinta seorang penyidik pada penyidik lain. Mata Rantedoda kini mendelik, sejurus jemari penyidik yang menari-nari di atas layar LCD seluas 6,4 inci.
***
Keributan terjadi antara empat orang perempuan di folder trash: Rini, Yuni, Siska, dan Hilma. Karena kelemahan enskripsi Android 11, sistem mengalami gagal pemusnahan terhadap foto-foto perempuan. Akibatnya keempat perempuan itu seakan menjelma virus mutakhir yang belum ada penawarnya. Mereka bernyawa dan mampu melakukan pemberontakan.
Muasal keberadaan Rini, Yuni, Siska, dan Hilma dapat ditelusuri melalui catatan otomatis kalender sistem operasi. Dua belas hari pertama terpenjara di folder trash, Rini menemukan perempuan terbuang dan tersungkur di antara onggokan pesan spam iklan LinkedIn.
“Berapa lama kau menjalin hubungan dengan Rantedoda?” tanya Rini pada perempuan yang mengaku bernama Yuni itu, setelah membawanya ke tempat yang aman.
“Empat bulan,” jawab Yuni, “setelah mendapatkan semuanya dari tubuhku, lelaki biadab itu lupa akan janji-janjinya,” tandas Yuni sinis tanpa setetes pun tangis. “Kau sendiri?” Yuni berbalik tanya.
“Kau tak sanggup mendengarnya,” jawab Rini. Perempuan itu enggan menceritakan sedikit pun kisahnya dengan Rantedoda. Sebab, pengingatan atas hal itu bisa-bisa melumpuhkan dendam yang mengeram dalam batinnya.
Rini dan Yuni akhirnya menjalani detik demi detik setabah mungkin. Hingga akhirnya mereka kedatangan penghuni baru bernama Siska dan Hilma dalam rentan waktu selisih tujuh jam. Sebagai penghuni terlama, sesungguhnya Rini muak atas sikap Yuni, Siska, dan Hilma. Semenjak mereka bertemu, perdebatan demi perdebatan mengucur nyaris setiap satuan waktu. Dan sekarang kekesalan Rini mencapai titik kulminasi. Keadaan pun kian kacau ketika kawasan folder trash kedatangan sampah-sampah baru.
“Berapa duit kalian dibayar lelaki jalang itu!?” sindir Yuni menyasar Siska dan Hilma.
“Kalau tidak kepepet, aku tidak sudi menemuinya!” Hilma mengajukan pembelaan.
“Sudahlah! Anggap saja kita ini sama-sama jalang! Sesama jalang tak usah saling mencibir!” ujar Rini, terdengar sumbang tapi bijaksana. Ketiga perempuan pun bungkam. Saat itu Rini memberi pengertian pada mereka kalau tidak semua manusia memiliki budi. Rini lantas mengajak Yuni, Siska, dan Hilma menyulam sebuah empati.
“Perempuan mana yang pantas diinjak-injak!? Kaliah tahu, meskipun banyak Rantedoda-Rantedoda lain di belahan semesta, kita hanya perlu menumpas satu di antaranya,” tegas Rini, suaranya meledak sampai perbatasan wilayah folder trash dan folder thumbnail. Merasa sudah berhasil menukam otak Yuni, Siksa, dan Hilma, Rini pun mengajak mereka memeriksa sampah-sampah yang baru saja berdatangan.
“Lihat ini!” teriak Hilma menemukan sesuatu. Rini, Yuni, dan Siksa berlari menghampiri. Selembar foto Dr. Wakyat dan si tender dengan pose jempol tegak, terpampang jelas di genggaman Hilma.
“Tidak ada Rantedoda.” Yuni memicingkan mata.
“Dia yang memotret,” Rini menanggapi, “cari yang lain!”
Keempat perempuan itu kian sibuk mencari sampah-sampah baru. Siska memungut sejumlah berkas, Yuni menghimpun sempalan digit-digit angka telepon, Hilma tak sengaja menginjak screenshoot invoice dan MoU, sementara Rini tekun menyusun reruntuhan pesan Telegram yang berserak di sebelah kiri bangkai MiChat.
“Laki-laki berengsek kita sedang dalam masalah besar,” terang Rini sambil mengedar senyum kecut kepada ketiga temannya. “Baca susunan pesan Telegram ini,” tunjuk Rini ke arah sampah yang ia temukan, “Rantedoda lebih mirip keledai daripada macan kelaparan seperti yang sering ia tunjukkan.” Seketika keempat perempuan itu tertawa lepas.
“Kemenangan kita segera datang, Sayang,” ucap Yuni menggoda.
“Apa lagi yang harus kita perbuat?” Siksa menyela.
“Susun kembali temuan ini serapi mungkin. Ganti namanya dengan huruf A. Setelah itu, kita jejerkan semuanya di depan gerbang utama folder trash,” Rini mengomando, “seribu persen yakin, Rantedoda akan tercerabut dari rasa aman!”
***
“Pak…” Seorang penyidik menunjukkan sesuatu kepada penyidik di sebelahnya.
“Saudara Rantedoda. Kapan terakhir Anda komunikasi dengan Bapak Wakyat?” Penyidik melempar pertanyaan usai membaca seluruh dokumen A.
Seperti terkena serangan ransomware, mulut Rantedoda mendadak kelu dan terkunci. Ia laiknya robot kehabisan baterai. Namun begitu, para penyidik tidak menyerah. Mereka terus mendesak Rantedoda supaya memberikan keterangan segamblang-gamblangnya.
Sementara di tempat yang lain, tiga kali pukulan palu menandai rampungnya sidang paripurna. Seluruh hadirin berangsur pergi, kecuali Dr. Wakyat. Lelaki itu tetap kukuh seraya melamunkan nasib. Firasat-firasat keji bahkan telah menyetubuhinya. Dua puluh menit berselang, saat Dr. Wakyat hendak berdiri, tiba-tiba ponsel cerdas miliknya berbunyi. Tatapan Dr. Wakyat curiga terhadap panggilan dari 021 255 .. … , namun sengaja ia enggan mengangkatnya. Rupanya, jika kita amati lebih jeli, Dr. Wakyat masih khidmat menikmati dering telepon yang bernada instrumen Indonesia Pusaka.
*Terinspirasi dari cerpen berjudul Wakyat karya Putu Wijaya*
Indarka P.P, lahir di Wonogiri (Jawa Tengah). Saat ini bermukim di Mamuju (Sulbar). Menulis buku “Penumpasan” (Sirus Media, 2021), dan bergiat di Komunitas Kamar Kata.