Judul : Cara Terbaik Menulis Kitab Suci
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Banana
Cetak : November 2021
Tebal : 232 halaman
ISBN : 978 623 9672 9 3
Cerita tak mencantumkan masa bisa terlacak di kalender. Tempat-tempat diceritakan tak tercantum di peta dunia. Pencerita memberi ketakjuban-ketakjuban, mengajak pembaca berkelana kata-kata. Sejak halaman awal sampai akhir, pembaca Cara Terbaik Menulis Kitab Suci bakal terlena berkepanjangan. Cerita gubahan Yudhi Herwibowo terbaca bergelimang ketakjuban.
Pembahasaan tempat-tempat berselera dongeng lama. Kita membaca berpasrah untuk gambaran terimajinasi mata. Kita berhadapan paragraf melenakan: “Pagi di Kota Kamatrapada selalu tampak seperti sebuah jeruk matang. Langitnya yang mambang kuning memantul di atap-atap rumah serta di jalanan berbatu yang basah karena embun sehingga semuanya terlihat lembayung.” Pembuka sudah membujuk pembaca mengikuti jalan tak berujung.
Yudhi mengenalkan Guru Arangkasadra sebagai penulis ternama. Pengenalan memerlukan penjelasan agak rinci: “Pada masa itu, semua orang masih menyebarkan cerita dari mulut ke mulut, tak banyak yang bisa menulis secara langsung. Orang-orang terpelajar dan kaya mulai menyadari bahwa tulisan adalah sesuatu yang bisa diwariskan untuk masa depan. Maka, mereka mencari seorang penulis untuk menuliskan apa yang mereka inginkan.” Yudhi memberi sebutan penulis, bukan juru tulis.
Para pembaca mungkin lekas teringat penjelasan-penjelasan terberikan Walter J Ong dalam buku berjudul Kelisanan dan Keaksaraan (2013). Yudhi mungkin tak menjadikan buku itu referensi tapi kita menemukan ada jalinan penjelasan dan pengisahan. “Keaksaraan membukakan berbagai peluang bagi kata dan bagi eksistensi manusia yang tak terbayangkan tanpa tulisan,” penjelasan Ong. Keaksaraan memiliki keunggulan dalam “pengawetan” atau “pelestarian” cerita-cerita meski mengandung kelemahan “pesona”. Di buku gubahan Yudhi, pengisahan lisan oleh orang-orang ditemui di pelbagai tempat memberi ketakjuban, berbeda derajat takjub saat menjadi tulisan.
Ong mengungkapkan: “Tetapi, di luar segala dunia menakjubkan yang dibukakan oleh tulisan, kata yang terucap masih ada dan hidup. Semua teks tertulis harus terhubung, secara langsung atau tak langsung, dengan dunia suara, habitat alamiah bahasa, untuk mendapatkan makna.” Kita membuktikan dengan membaca halaman-halaman buku berjudul Cara Terbaik Menulis Kitab Suci. Buku terbaca bersanding penjelasan-penjelasan Ong: membuka lagi masa lalu dan situasi mutakhir.
Guru Arangkasadra kadang merasa bersalah selaku penulis. Ia sadar watak para manusia dan segala pamrih. Ia berhadapan dengan orang-orang kadang jahat, serakah, tulus, lugu, dan luhur. Bersalah itu susah ditebus. Guru Arangkasadra ternama dan menguasai beragam bahasa. Kemonceran dibarengi ketulusan merawat dua anak kembar terbuang, diasuh dan diajari menjadi penulis. Menulis dan mengasuh dua anak (Sinduralutta dan Kantarapajja) dalam ikhtiar menjadi manusia.
Pada suatu hari, Guru Arangkasadra mati, meninggalkan wasiat keaksaraan. Sinduralutta mendapat warisan berupa kitab tebal masih kosong. Keinginan diharapkan dipenuhi: “Pergilah mengikuti matahari yang terbenam! Di sana, ia meninggalkan jejak-jejak yang misterius. Bertualanglah dan tulislah kisah-kisah menakjubkan di luar sana. Penuhi lembar-lembar kitab ini dengan kisah-kisah.” Sinduralutta mematuhi dan bergerak ke arah Barat. Ia bermisi menulis segala kisah menakjubkan, berpisah dari Kantarapajja diminta meneruskan pekerjaan Guru Arangkasadra di rumah.
Yudhi menjadikan Guru Arangkasadra sebagai juru bicara keampuhan aksara. Kisah-kisah ditulis dianggap bakal menjadi abadi. Petuah teringat: “Bisa jadi, kitab ini akan menjadi kitab suci bagi siapa pun yang percaya bahwa di alam semesta yang mahaluas ini, ada zat yang mahakuasa yang mampu menciptakan semuanya.” Kita membaca ada pesan-pesan religius.
Sinduralutta menempuhi perjalanan jauh: melelahkan dan menakjubkan. Ia berhasil bertemu orang-orang berbagi cerita-cerita menakjubkan. Sekian cerita ditulis dalam kitab. Penulisan dengan ketulusan dan pengharapan. Yudhi menginginkan pembaca turut bermufakat dengan kemauan penulisan oleh Sinduralutta melulu ketakjuban.
Cerita demi cerita “terabadikan”. Di waktu jeda atau malam, Sinduralutta biasa bermimpi bertemu Kantarapajja. Di mimpi, mereka bercakap untuk mengetahui nasib masing-masing. Nasib di rumah. Nasib di perjalanan. Percakapan memusat cerita-cerita terperoleh dan tertuliskan. Yudhi menjadikan pertemuan dalam mimpi menambahi bobot cerita menakjubkan dan misi ditanggungkan penulis. Di situ, ada masalah bahasa, kebenaran, rahasia, dilema, dan lain-lain.
Pembaca berulang menemukan peristiwa penulisan cerita, bermimpi, merenung, dan melanjutkan perjalanan. Kita merasa dalam alur dongeng tak mau segera tamat. Sinduralutta merasa kisah-kisah sudah dituliskan dalam kitab tak sememikat bila ditulis Guru Arangkasadra: “Itulah yang membuatku sekali waktu, membacakan kusah-kisah yang sudah kutulis padanya di malam-malam paling hening. Biarlah Guru Arangkasadra, yang entah di mana, mendengarkannya. Aku yakin angin malam pastilah mengantarkan suara-suaraku kepadanya.”
Pengalaman di pengembaraan berkaitan dengan penjelasan-penjelasan Erich Fromm dalam buku berjudul Bahasa Yang Terlupakan: Pengantar Tafsir Mimpi, Dongeng, dan Mitos (2020). Sinduralutta berkutat dalam cerita menakjubkan dan mimpi. Fromm menjelaskan bahwa mimpi dianggap bermakna bila orang memiliki kunci dalam menerjemahkan. Perkara itu menjadi studi serius pada abad XX.
Interpretasi atau tafsir mimpi turut menentukan peradaban abad XX dengan segala girang dan petaka. Tokoh-tokoh dalam buku gubahan Yudhi di persoalan mimpi dan tafsir. Di luar mimpi, Sinduralutta mencari dan menuliskan cerita-cerita menakjubkan kadang menggunakan bahasa simbolis. Fromm mengungkap simbol-simbol itu pembuka pengalaman batin dan memungkinkan mimpi atau dongeng perlahan dimengerti. Begitu.(*)
Bandung Mawardi
Penulis Selingan dan Nukilan (2022)